Bung Karno dan Sate Sebagai Penyambung Lidah Rakyat Asia-Afrika

By Mahandis Yoanata Thamrin, Kamis, 6 Juni 2019 | 11:47 WIB
Peci hitam, yang dikenakan Soekarno dalam setiap kemunculannya di ruang publik, menjadi simbol nasional. (Helen dan Frank Schreider/ National Geographic)

“Kalau begitu engkau adalah Marhaen,” ujarnya sembari menunjuk ke arah tukang sate. “Engkau tidak punya pembantu, tidak punya majikan… Engkau adalah Marhaen.”

“Adakalanya aku berhenti dan membeli sate di pinggiran jalan. Kududuk seorang diri di pinggir trotoar dan menikmati jajanku dari bungkus daun pisang,” kenang Bung Karno. “Sungguh saat-saat yang menyenangkan.”

Ketika menjabat sebagi Presiden Republik Indonesia, si Bung masih kerap blusukan di sudut-sudut Jakarta. Berlagak menyamar, dia bisa mendengarkan rakyat yang bercakap, berdebatan, berkelakar, hingga bercumbu kasih. Rakyat adalah “roti-kehidupan” baginya.  “Aku ingin bercampur dengan rakyat,” ungkapnya. “Itulah yang menjadi kebiasaanku.”