Bung Karno dan Sate Sebagai Penyambung Lidah Rakyat Asia-Afrika

By Mahandis Yoanata Thamrin, Kamis, 6 Juni 2019 | 11:47 WIB
Peci hitam, yang dikenakan Soekarno dalam setiap kemunculannya di ruang publik, menjadi simbol nasional. (Helen dan Frank Schreider/ National Geographic)

“Kalau begitu engkau adalah Marhaen,” ujarnya sembari menunjuk ke arah tukang sate. “Engkau tidak punya pembantu, tidak punya majikan… Engkau adalah Marhaen.”

“Adakalanya aku berhenti dan membeli sate di pinggiran jalan. Kududuk seorang diri di pinggir trotoar dan menikmati jajanku dari bungkus daun pisang,” kenang Bung Karno. “Sungguh saat-saat yang menyenangkan.”

Ketika menjabat sebagi Presiden Republik Indonesia, si Bung masih kerap blusukan di sudut-sudut Jakarta. Berlagak menyamar, dia bisa mendengarkan rakyat yang bercakap, berdebatan, berkelakar, hingga bercumbu kasih. Rakyat adalah “roti-kehidupan” baginya.  “Aku ingin bercampur dengan rakyat,” ungkapnya. “Itulah yang menjadi kebiasaanku.”

Bersama seorang pengemudi istana, Bung Karno keluyuran dengan mobil kecil tanpa tanda pengenal kepresidenan. Mereka menyusuri jalanan ibu kota, dan sesekali singgah sejenak mencicipi menu jalanan. “Adakalanya aku berhenti dan membeli sate di pinggiran jalan. Kududuk seorang diri di pinggir trotoar dan menikmati jajanku dari bungkus daun pisang,” kenangnya. “Sungguh saat-saat yang menyenangkan.”

Kendati penampilannya sudah tersamar, ada kalanya misi rahasia Bung Karno terbongkar karena rakyat begitu mengenali cengkok dan warna suara presidennya. Jika perkara ini terjadi, Bung Karno buru-buru masuk mobil kecilnya dan segera tancap gas.

Lukisan 'Pendjual Sate' karya Lee Man Fong, 1958. Lukisan ini koleksi Bung Karno, yang kini bagian dari Koleksi Lukisan Istana Presiden Republik Indonesia. (Lee Man Fong/Istana Presiden RI)

Betapa sate telah hadir sebagai santapan diplomasi yang menyatukan selera dan kesetaraan nasib negara sedang berkembang di dua benua.

Kegemaran Bung Karno menyantap sate telah menjadikan hidangan ini sebagai salah satu menu adirasa yang hadir di Konperensi Asia Afrika pada 1955. Betapa sate telah hadir sebagai santapan diplomasi yang menyatukan selera dan kesetaraan nasib negara sedang berkembang di dua benua. Kita pun teringat kembali ketika sate menjadi alat pelentur diskusi bagi Bung Karno dan Roestam sekitar tiga dekade sebelumnya. 

Bung Karno menjamu para delegasi untuk mencecapi kelezatan sate, tusuk demi tusuk, pada jamuan resmi pada konferensi akbar tadi. Bahkan, si Bung berkesempatan mengajak Perdana Menteri India dan sederet delegasi negara Afrika untuk singgah dan bersantap di kedai peraciknya.

Kedai peracik sate nan sohor itu bernama Rumah Makan Madrawi "Madura"—yang lebih sohor dengan sebutan Sate Madrawi. Pemiliknya adalah keluarga asal Madura asli yang mengadu nasib di Bandung. Selain menyajikan sate, kedai ini juga menghidangkan soto madura, gulai kambing, dan rawon. Dahulu, kedai ini berlokasi di dekat Masjid Agung Bandung. Apesnya, salah satu tengara pusaka kota itu gulung tikar pada pertengahan 1980-an.

Bukan suatu kebetulan apabila sate telah akrab di lidah orang-orang Asia Tenggara hingga Afrika. Orang Indonesia dan Malaysia biasa menyebutnya dengan sate, saté, atau satai.  Tampaknya, sebutan itu berasal dari bahasa Tamil, yakni “sathai” yang bermakna makanan dari daging. Sementara itu orang Thailand dan Vietnam menyebut satay. Muslim di Filipina selatan lebih akrab menyebutnya dengan sattii. Sementara, sebutan sosatie menandai menu ini untuk orang Afrika Selatan.

Lukisan 'Pendjual Sate' karya Lee Man Fong, yang berada di Balai Lelang Christie's. (Lee Man Fong)
 

“Jamuan mereka seringkali begitu bersahaja,” ungkap Goens, “terdiri atas domba, kambing, seperempat sapi atau kerbau panggang.”

Itulah serangkaian alasan mengapa di tanah bertudung hutan hujan tropis ini, perkara menyantap daging merupakan sesuatu yang istimewa. Daging yang dipanggang di atas jilatan api dan bara memiliki riwayat panjang di Nusantara. Kita pun memiliki catatan atas santapan hewani mereka.

Saya berbincang dengan Lien Dwiari Ratnawati di ruangan kerjanya, Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan. Sebagai seorang ahli arkeologi, Lien pernah meneliti menu makanan zaman Majapahit, yang dijumpainya dari sisa tulang, peralatan makan, relief candi, dan prasasti semasa soal peresmian daerah perdikan. Dalam acara peresmian itu lauk pauknya berupa daging kerbau, sapi, kijang, babi, ayam, angsa, dan berbagai jenis ikan. Lien mengungkapkan bahwa cara pengolahan santapan sekitar abad ke-14 pun beragam, salah satunya dipanggang.

Catatan lain soal daging panggang juga diungkapkan oleh Rijklof van Goens dalam De Samenvattende Gesschriften. Pejabat VOC itu mengunjungi takhta Sultan Mataram pada 1648 hingga 1654. “Jamuan mereka seringkali begitu bersahaja,” ungkap Goens, “terdiri atas domba, kambing, seperempat sapi atau kerbau panggang.”

Rijklof van Goens (1619-1782) dalam buku Froncois Valentijn yang terbit pada 1726. (Francois Valentijn)

Cerita dari Lien dan Goens tadi hanya merujuk pada kegemaran leluhur kita menyantap daging panggang ketika pesta, bukan sate yang tersaji seperti dalam bayangan kita. Sejak kapan santapan penggoda itu mulai mencumbu lidah orang Nusantara?

Kabarnya, sate berkembang di Nusantara sekitar abad ke-19. Asal usulnya dari racikan pedagang jalanan yang terinspirasi kebab—kuliner asal India berupa daging cencang panggang yang disajikan bersama sayuran. Sate mulai menjadi bagian menu bersantap yang diracik dari dapur hotel papan atas di Hindia Belanda pada awal abad ke-20. Sebagai contoh, setiap Minggu siang, Hotel des Indes dan Savoy Homann menyajikan Rijsttafel mewah yang setiap menu lauknya dibawakan oleh satu pelayan.

Meski tersebar di Asia Tenggara, tampaknya sate bermula di Indonesia, demikian ungkap Jennifer Brennan dalam Encyclopedia of Chinese and Oriental Cookery, yang terbit di London pada 1988. "Kendati Thailand dan Malaysia menganggap hidangan ini adalah milik mereka, sesungguhnya asal mula sate yang berkembang di Asia Tenggara adalah Jawa, Indonesia,” ungkap Jennifer yang pakar sejarah kuliner Asia. “Di sini sate dikembangkan melalui adaptasi kebab India yang dibawa para pedagang Muslim ke Jawa. Bahkan, India tidak bisa mengakuinya sebagai negeri asal mula sate karena hidangan ini mendapat pengaruh Timur Tengah."

Kartu pos awal abad ke-20 tentang tukang sate, yang dibuat berdasarkan foto yang diwarnai dengan tangan. (Koleksi Olivier Johannes Raap)

"Kendati Thailand dan Malaysia menganggap hidangan ini adalah milik mereka, sesungguhnya asal mula sate yang berkembang di Asia Tenggara adalah Jawa, Indonesia,” ungkap Jennifer Brennan.

Resep sate pun turut dibeberkan dalam Mustika Rasa. Bagian keenam buku itu berisi 70 menu dalam kategori Lauk Pauk Bakaran, yang sepertiganya adalah santapan bernama “sate”.   

Sate ayam, sebagai contoh dalam buku itu, membutuhkan bahan seekor ayam dan tusuk sate sebagai alatnya. Sementara, kelengkapan bumbunya adalah tujuh biji cabai rawit, satu ons kacang goreng, lima lembar daun jeruk purut, empat siung bawang merah, dua sendok teh terasi, dua sendok makan minyak goreng, dan garam cukup satu setengah sendok teh.

Sebuah model penjual sate yang terbuat dari kayu, 1919. (Tropenmuseum)

Cumbuan pedas dari cabai dan bawang merah, yang datang mengiringi sate, mampu meningkatkan hormon endorphin dan serotonin. Hormon itu bekerja memberi perasaan senang dan nyaman.

Manisnya kecap juga bisa memberikan rasa euforia untuk memperbaiki hati yang luka. Ketika suasana tertekan membuat sanubari melapar, tubuh secara alami menggerakkan naluri kita untuk membidik santapan manis.

Gurihnya bumbu kacang yang membaluri sate juga bisa menerbitkan hormon serotonin dan vitamin E yang mengurangi rasa payah.

Mungkin, sensasi aroma dan rasa itulah yang menyebabkan Bung Karno mencari puncak ketenangan dan kedamaian saat menyikat sate.

Selain sate ayam, Mustika Rasa masih menyajikan 22 menu sate lainnya yang menghasut selera kita: sate ayam rendang, sate asam manis, sate bandeng khas Tegal, sate bumbu dendeng, sate gapit, sate gurih, sate kerang, sate lidah, sate manis, sate manis tempe, sate madura, sate mangut khas Banten, sate padang khas Sumatra Barat, sate prentul, sate cirebon, sate udang khas Jawa Timur, sate udang manado, sate usus. Dan, tampaknya, Bali menyumbang menu sate terbanyak dibanding provinsi lain: sate babi, sate lilit, sate pusut, sate penyu.

Sate ayam berbumbu kacang. Kendati sajian ini telah menyebar ke seantero Asia Tenggara, sate dengan daging ditusuk bambu atau lidi diduga berasal dari Jawa. (Thinkstock)

“Aku jongkok di sana dekat selokan dan kotoran,” ungkap Bung Karno kepada Cindy Adams. “Kumakan sateku dengan lahap dan inilah seluruh pesta atas pengangkatan sebagai kepala negara.”

Berbicara soal kemerdekaan, ada anekdot tentang Bung Karno ketika sehari setelah proklamasi.

Sabtu pagi, 18 Agustus 1945, Bung Karno berangkat dari kediamannya di Pegangsaan Timur menuju Pejambon. Hari itu, Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia menggelar rapat. Lewat tengah hari, para pemimpin—yang mewakili golongan agama, masyarakat, suku di Indonesia—bertekad bulat memilih Bung Karno sebagai Presiden Republik Indonesia dan Bung Hatta sebagai wakilnya. Hari itu sekaligus menandai kata “presiden” yang baru resmi digunakan dalam ejaan bahasa Indonesia. Suasana rapat tanpa perayaan itu pun berakhir jelang sore.

Peci hitam, yang dikenakan Soekarno dalam setiap kemunculannya di ruang publik, menjadi simbol nasional. (Helen dan Frank Schreider/ National Geographic)

Dalam kondisi malaria yang belum pulih benar, Paduka Yang Mulia Presiden Republik Indonesia berjalan kaki menuju rumahnya, yang berjarak sekitar empat kilometer. Pastinya, dia juga ditemani bersama beberapa kawan pengawalnya.

Di tengah perjalanan, Bung Karno berpapasan dengan tukang sate pikulan yang bertelanjang dada dan tak beralas kaki. Inilah hari yang bersejarah bagi Bung Karno dan rakyat Indonesia karena untuk pertama kalinya sebuah lembing perintah Presiden Republik Indonesia meluncur: “Sate ayam lima puluh tusuk.”

Saat itu bulan Ramadhan. Bung Karno menggelar santap malam bersama secara bersahaja ala anak jalanan. Mungkin, inilah jamuan kenegaran pertama bagi Republik Indonesia. “Aku jongkok di sana dekat selokan dan kotoran,” ungkap Bung Karno kepada Cindy Adams. “Kumakan sateku dengan lahap dan inilah seluruh pesta atas pengangkatan sebagai kepala negara.”

Ketika kita berbicara soal santapan boleh jadi kita sedang memperbincangkan soal cerita sebuah bangsa. Sate turut membumbui perjalanan peradaban dan revolusi Indonesia.

Mari, bersama merayakan suka cita kehidupan Republik ini dengan menyantap sate—seperti Bung Karno!

(Artikel ini pernah terbit dalam judul "Sate Penyambung Lidah Rakyat pada September 2017)