Bung Karno dan Sate Sebagai Penyambung Lidah Rakyat Asia-Afrika

By Mahandis Yoanata Thamrin, Kamis, 6 Juni 2019 | 11:47 WIB
Peci hitam, yang dikenakan Soekarno dalam setiap kemunculannya di ruang publik, menjadi simbol nasional. (Helen dan Frank Schreider/ National Geographic)

Lukisan 'Pendjual Sate' karya Lee Man Fong, yang berada di Balai Lelang Christie's. (Lee Man Fong)
 

“Jamuan mereka seringkali begitu bersahaja,” ungkap Goens, “terdiri atas domba, kambing, seperempat sapi atau kerbau panggang.”

Itulah serangkaian alasan mengapa di tanah bertudung hutan hujan tropis ini, perkara menyantap daging merupakan sesuatu yang istimewa. Daging yang dipanggang di atas jilatan api dan bara memiliki riwayat panjang di Nusantara. Kita pun memiliki catatan atas santapan hewani mereka.

Saya berbincang dengan Lien Dwiari Ratnawati di ruangan kerjanya, Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan. Sebagai seorang ahli arkeologi, Lien pernah meneliti menu makanan zaman Majapahit, yang dijumpainya dari sisa tulang, peralatan makan, relief candi, dan prasasti semasa soal peresmian daerah perdikan. Dalam acara peresmian itu lauk pauknya berupa daging kerbau, sapi, kijang, babi, ayam, angsa, dan berbagai jenis ikan. Lien mengungkapkan bahwa cara pengolahan santapan sekitar abad ke-14 pun beragam, salah satunya dipanggang.

Catatan lain soal daging panggang juga diungkapkan oleh Rijklof van Goens dalam De Samenvattende Gesschriften. Pejabat VOC itu mengunjungi takhta Sultan Mataram pada 1648 hingga 1654. “Jamuan mereka seringkali begitu bersahaja,” ungkap Goens, “terdiri atas domba, kambing, seperempat sapi atau kerbau panggang.”

Rijklof van Goens (1619-1782) dalam buku Froncois Valentijn yang terbit pada 1726. (Francois Valentijn)

Cerita dari Lien dan Goens tadi hanya merujuk pada kegemaran leluhur kita menyantap daging panggang ketika pesta, bukan sate yang tersaji seperti dalam bayangan kita. Sejak kapan santapan penggoda itu mulai mencumbu lidah orang Nusantara?

Kabarnya, sate berkembang di Nusantara sekitar abad ke-19. Asal usulnya dari racikan pedagang jalanan yang terinspirasi kebab—kuliner asal India berupa daging cencang panggang yang disajikan bersama sayuran. Sate mulai menjadi bagian menu bersantap yang diracik dari dapur hotel papan atas di Hindia Belanda pada awal abad ke-20. Sebagai contoh, setiap Minggu siang, Hotel des Indes dan Savoy Homann menyajikan Rijsttafel mewah yang setiap menu lauknya dibawakan oleh satu pelayan.

Meski tersebar di Asia Tenggara, tampaknya sate bermula di Indonesia, demikian ungkap Jennifer Brennan dalam Encyclopedia of Chinese and Oriental Cookery, yang terbit di London pada 1988. "Kendati Thailand dan Malaysia menganggap hidangan ini adalah milik mereka, sesungguhnya asal mula sate yang berkembang di Asia Tenggara adalah Jawa, Indonesia,” ungkap Jennifer yang pakar sejarah kuliner Asia. “Di sini sate dikembangkan melalui adaptasi kebab India yang dibawa para pedagang Muslim ke Jawa. Bahkan, India tidak bisa mengakuinya sebagai negeri asal mula sate karena hidangan ini mendapat pengaruh Timur Tengah."

Kartu pos awal abad ke-20 tentang tukang sate, yang dibuat berdasarkan foto yang diwarnai dengan tangan. (Koleksi Olivier Johannes Raap)

"Kendati Thailand dan Malaysia menganggap hidangan ini adalah milik mereka, sesungguhnya asal mula sate yang berkembang di Asia Tenggara adalah Jawa, Indonesia,” ungkap Jennifer Brennan.

Resep sate pun turut dibeberkan dalam Mustika Rasa. Bagian keenam buku itu berisi 70 menu dalam kategori Lauk Pauk Bakaran, yang sepertiganya adalah santapan bernama “sate”.