Bung Karno dan Sate Sebagai Penyambung Lidah Rakyat Asia-Afrika

By Mahandis Yoanata Thamrin, Kamis, 6 Juni 2019 | 11:47 WIB
Peci hitam, yang dikenakan Soekarno dalam setiap kemunculannya di ruang publik, menjadi simbol nasional. (Helen dan Frank Schreider/ National Geographic)

Sate ayam, sebagai contoh dalam buku itu, membutuhkan bahan seekor ayam dan tusuk sate sebagai alatnya. Sementara, kelengkapan bumbunya adalah tujuh biji cabai rawit, satu ons kacang goreng, lima lembar daun jeruk purut, empat siung bawang merah, dua sendok teh terasi, dua sendok makan minyak goreng, dan garam cukup satu setengah sendok teh.

Sebuah model penjual sate yang terbuat dari kayu, 1919. (Tropenmuseum)

Cumbuan pedas dari cabai dan bawang merah, yang datang mengiringi sate, mampu meningkatkan hormon endorphin dan serotonin. Hormon itu bekerja memberi perasaan senang dan nyaman.

Manisnya kecap juga bisa memberikan rasa euforia untuk memperbaiki hati yang luka. Ketika suasana tertekan membuat sanubari melapar, tubuh secara alami menggerakkan naluri kita untuk membidik santapan manis.

Gurihnya bumbu kacang yang membaluri sate juga bisa menerbitkan hormon serotonin dan vitamin E yang mengurangi rasa payah.

Mungkin, sensasi aroma dan rasa itulah yang menyebabkan Bung Karno mencari puncak ketenangan dan kedamaian saat menyikat sate.

Selain sate ayam, Mustika Rasa masih menyajikan 22 menu sate lainnya yang menghasut selera kita: sate ayam rendang, sate asam manis, sate bandeng khas Tegal, sate bumbu dendeng, sate gapit, sate gurih, sate kerang, sate lidah, sate manis, sate manis tempe, sate madura, sate mangut khas Banten, sate padang khas Sumatra Barat, sate prentul, sate cirebon, sate udang khas Jawa Timur, sate udang manado, sate usus. Dan, tampaknya, Bali menyumbang menu sate terbanyak dibanding provinsi lain: sate babi, sate lilit, sate pusut, sate penyu.

Sate ayam berbumbu kacang. Kendati sajian ini telah menyebar ke seantero Asia Tenggara, sate dengan daging ditusuk bambu atau lidi diduga berasal dari Jawa. (Thinkstock)

“Aku jongkok di sana dekat selokan dan kotoran,” ungkap Bung Karno kepada Cindy Adams. “Kumakan sateku dengan lahap dan inilah seluruh pesta atas pengangkatan sebagai kepala negara.”

Berbicara soal kemerdekaan, ada anekdot tentang Bung Karno ketika sehari setelah proklamasi.

Sabtu pagi, 18 Agustus 1945, Bung Karno berangkat dari kediamannya di Pegangsaan Timur menuju Pejambon. Hari itu, Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia menggelar rapat. Lewat tengah hari, para pemimpin—yang mewakili golongan agama, masyarakat, suku di Indonesia—bertekad bulat memilih Bung Karno sebagai Presiden Republik Indonesia dan Bung Hatta sebagai wakilnya. Hari itu sekaligus menandai kata “presiden” yang baru resmi digunakan dalam ejaan bahasa Indonesia. Suasana rapat tanpa perayaan itu pun berakhir jelang sore.

Peci hitam, yang dikenakan Soekarno dalam setiap kemunculannya di ruang publik, menjadi simbol nasional. (Helen dan Frank Schreider/ National Geographic)

Dalam kondisi malaria yang belum pulih benar, Paduka Yang Mulia Presiden Republik Indonesia berjalan kaki menuju rumahnya, yang berjarak sekitar empat kilometer. Pastinya, dia juga ditemani bersama beberapa kawan pengawalnya.

Di tengah perjalanan, Bung Karno berpapasan dengan tukang sate pikulan yang bertelanjang dada dan tak beralas kaki. Inilah hari yang bersejarah bagi Bung Karno dan rakyat Indonesia karena untuk pertama kalinya sebuah lembing perintah Presiden Republik Indonesia meluncur: “Sate ayam lima puluh tusuk.”

Saat itu bulan Ramadhan. Bung Karno menggelar santap malam bersama secara bersahaja ala anak jalanan. Mungkin, inilah jamuan kenegaran pertama bagi Republik Indonesia. “Aku jongkok di sana dekat selokan dan kotoran,” ungkap Bung Karno kepada Cindy Adams. “Kumakan sateku dengan lahap dan inilah seluruh pesta atas pengangkatan sebagai kepala negara.”

Ketika kita berbicara soal santapan boleh jadi kita sedang memperbincangkan soal cerita sebuah bangsa. Sate turut membumbui perjalanan peradaban dan revolusi Indonesia.

Mari, bersama merayakan suka cita kehidupan Republik ini dengan menyantap sate—seperti Bung Karno!

(Artikel ini pernah terbit dalam judul "Sate Penyambung Lidah Rakyat pada September 2017)