Kang Emil, begitu ia biasa disapa, sudah membuat klarifikasi baik di Twitter maupun Instagram pribadi. Namun, ini kali pertamanya dia berbicara di forum terbuka.
Dalam pertemuan yang digelar di Pusat Dakwah Islam (Pusdai) Jawa Barat, Senin (10/6/2019) pagi itu, Ridwan Kamil bertemu langsung dengan Rahmat Baequni. Forum ini ditengahi oleh Ketua MUI Jawa Barat, Rachmat Syafei. Acara ini diikuti ratusan orang yang membludak ke luar ruangan karena kapasitas tempat diskusi tidak mencukupi.
Al Safar Terinspirasi Bentuk Alam
Kang Emil menjelaskan, desain Al Safar terinspirasi dari bentuk alam yang tidak beraturan. Untuk membangun bentuk tidak beraturan, dia menggunakan teknik lipatan seperti origami Jepang.
“Dengan melipat, kita bisa membentuk bentuk tidak beraturan jadi berdiri. Bentuk tidak beraturan ini secara alami membentuk segitiga dalam melipatnya supaya bisa berbelok,” tandasnya.
Dalam kesempatan itu, RK juga mencontohkan banyak masjid yang memiliki bentuk-bentuk segitiga dalam desainnya. Misalnya masjid Al Ukhuwah dekat Balaikota Bandung, Masjid Raya Jakarta, bahkan mihrab di Masjid Nabawi, Arab Saudi. Namun, masjid-masjid itu lepas dari kontroversi.
“Kenapa tidak heboh? Mungkin karena arsiteknya bukan pak Ridwan Kamil. Karena tidak akan jadi viral, tidak akan jadi ramai, tidak akan jadi sumber cemooh. Padahal banyak (yang lain),” ujarnya disambut tepuk tangan hadirin.
Pengamat: Isu Illuminati Digemari
Pengamat politik Jawa Barat Adiyana Slamet mengatakan, isu illuminati mudah berkembang di Jawa Barat karena kultur masyarakatnya yang religius. Apalagi, ujarnya, wacana ini dimulai oleh seorang yang dianggap memahami agama.
“Saya yakin, pada konteks tanda atau simbol yang terkandung dalam masjid Al Safar itu, sebenarnya kalau tidak dimunculkan oleh ustadz atau ulama itu tidak akan kontroversial,” ujar kandidat doktor komunikasi politik Universitas Padjadjaran ini.
Adiyana mengingatkan, isu-isu seperti ini kerap dimanfaatkan kelompok tertentu.
“Apalagi di Indonesia isu-isu politik identitas yang dimanfaatkan oleh kelompok-kelompok tertentu. Misalkan untuk coba men-downgrade elektabilitas pesaing. Itu pasti akan digunakan oleh kelompok-kelompok yang mempunyai kepentingan yang sangat besar.
Dia mengatakan, politik identitas akan merusak tatanan demokrasi karena ‘menggiring irasionalitas pemilih’.