Makna Arsitektur Masjid Al Safar Karya Ridwan Kamil yang Dapat Penghargaan Dunia

By , Selasa, 11 Juni 2019 | 17:51 WIB
Tampak atas. Masjid Al Safar merupakan karya Ridwan Kamil bersama firma arsiteknya Urbane Indonesia. Masjid itu masuk ke nominasi Abdullatif Al Fozan Award. (dok. Jasa Marga)

Nationalgeographic.co.id - Masjid Al Safar ternyata diapresiasi dunia internasional. Masjid Al Safar merupakan karya Ridwan Kamil bersama firma arsiteknya Urbane Indonesia. Masjid itu masuk ke nominasi Abdullatif Al Fozan Award, ajang penghargaan yang menampilkan desain dan karya masjid di negara-negara berpenduduk muslim dunia.

Ada tiga masjid karya Emil yang masuk ke nominasi itu, yakni Masjid Al Irsyad di Kota Baru Parahyangan; Masjid Al Safar di rest area KM 88 ruas jalan tol Purbaleunyi dan; Masjid Raya Sumatera Barat di Padang.

Principal Urbane Indonesia, Reza Achmed Nurtjahja mengatakan, pihaknya dihubungi oleh panitia dari Abdullatif Al Fozan Award dan diminta untuk mengirimkan desain masjid yang telah dibangun dari tahun 2010.

Baca Juga: Melacak Jejak Peristirahatan Sang Arsitek Masjid Jami Sumenep

Tampak luar Masjid Al Safar yang merupakan karya Ridwan Kamil bersama firma arsiteknya Urbane Indonesia. Masjid itu masuk ke nominasi Abdullatif Al Fozan Award (dok. Jasa Marga)

“Kami dikontak oleh panitia dan diminta menyerahkan desain Masjid dari tahun 2010. Mungkin mereka pernah melihat artikel yang membahas masjid Al Irsyad di sebuah majalah arsitektur Asia,” lanjut Reza.

Tim dari Abdullatif Al Fozan Award ikut berkomentar soal kontroversi Masjid Al Safar karya Gubernur Jawa Barat Ridwan Kamil. Technical Reviewer Al Fozan, Fuad H Mallick, mengatakan, desain masjid Al Safar tak bertentangan dengan nilai-nilai Islam.

Hal itu ia sampaikan seusai mewawancarai Ridwan Kamil dan tim dari firma arsitek Urbane di Gedung Pakuan, Jalan Cicendo, Kota Bandung, Minggu (2/6/2019).

Baca Juga: Kisah Friedrich Silaban, Anak Pendeta yang Rancang Masjid Istiqlal

Bagian dalam dari Masjid Al Safar yang merupakan karya Ridwan Kamil bersama firma arsiteknya Urbane Indonesia. Masjid itu masuk ke nominasi Abdullatif Al Fozan Award (dok. Jasa Marga)

"Ini tidak bertentangan dengan Islam. Tidak ada rumus baku mengenai bentuk masjid. Tiap arsitek bisa merepresentasikan dan interpretasi baru diperbolehkan," ujar Fuad.

Dirinya menilai, kontroversi dalam dunia desain hal biasa. Interpretasi yang keliru semacam itu hanya perlu diluruskan agar tak menjadi polemik berkepanjangan di masyarakat.

Saat meresmikan masjid itu pada 19 Mei 2017, PT Jasa Marga menjabarkan konsep rancang bangun tempat ibadah seluas 1.411 m2 ini dengan rinci.

Baca Juga: Saat Gereja Notre Dame Dilalap Api, Masjid Al-Aqsa Juga Alami Kebakaran

Masjid Al Safar merupakan karya Ridwan Kamil bersama firma arsiteknya Urbane Indonesia. Masjid itu masuk ke nominasi Abdullatif Al Fozan Award. (dok. Jasa Marga)

Masjid yang dapat menampung sekitar 1.200 jemaah ini disebut "mengadaptasi bentuk topi adat (Iket Sunda)."

Gubernur Jawa Barat, Ridwan Kamil, selaku arsitek di balik rancangan masjid tersebut pun berupaya menjelaskan kepada publik terkait polemik desain masjid itu dengan mengikuti diskusi umum di Bale Asri Pusdai Jabar, Kota Bandung, pada Senin (10/06).

Bagian dalam Masjid Al Safar yang merupakan karya Ridwan Kamil bersama firma arsiteknya Urbane Indonesia. Masjid itu masuk ke nominasi Abdullatif Al Fozan Award (dok. Jasa Marga)

Turut hadir dalam diskusi itu adalah Rahmat Baequni, seorang ustad yang mempersoalkan desain Masjid Al Safar lantaran dianggap mirip simbol illuminati atau Dajjal, yaitu segitiga dan mata satu.

Dalam diskusi Senin (10/06), Ridwan Kamil menjelaskan, Masjid Al Safar dibangun dengan konsep tidak beraturan dengan tujuan agar menyatu dengan alam. Konsep tidak beraturan itu sarat dengan bentuk segitiga seperti lipatan dalam origami.

"Segitiga ini bisa memeluk bentuk apapun yang tidak teratur," kata Ridwan sebagaimana dilaporkan wartawan di Bandung, Julia Alazka untuk BBC News Indonesia.

Bagian dalam dari Bagian dalam Masjid Al Safar yang merupakan karya Ridwan Kamil bersama firma arsiteknya Urbane Indonesia. Masjid itu masuk ke nominasi Abdullatif Al Fozan Award (dok. Jasa Marga)
 

Ridwan Kamil menampik tuduhan itu dan mengatakan Al Safar dirancang dengan inspirasi geometri. Seni geometri sendiri, ujarnya, adalah kekhasan seni dalam peradaban Islam.

“Tidak bisa dihindari yang namanya bentuk segitiga, yang namanya bentuk jajaran genjang, yang namanya lingkaran. Ini keindahan arsitektur Islam. Sampai ada tutorial membentuk kaligrafi Islam,” ujarnya ketika bicara dalam diskusi di Bandung.

Kang Emil, begitu ia biasa disapa, sudah membuat klarifikasi baik di Twitter maupun Instagram pribadi. Namun, ini kali pertamanya dia berbicara di forum terbuka.

Tampak atas dari Bagian dalam Masjid Al Safar yang merupakan karya Ridwan Kamil bersama firma arsiteknya Urbane Indonesia. Masjid itu masuk ke nominasi Abdullatif Al Fozan Award (dok. Jasa Marga)

Dalam pertemuan yang digelar di Pusat Dakwah Islam (Pusdai) Jawa Barat, Senin (10/6/2019) pagi itu, Ridwan Kamil bertemu langsung dengan Rahmat Baequni. Forum ini ditengahi oleh Ketua MUI Jawa Barat, Rachmat Syafei. Acara ini diikuti ratusan orang yang membludak ke luar ruangan karena kapasitas tempat diskusi tidak mencukupi.

Al Safar Terinspirasi Bentuk Alam

Kang Emil menjelaskan, desain Al Safar terinspirasi dari bentuk alam yang tidak beraturan. Untuk membangun bentuk tidak beraturan, dia menggunakan teknik lipatan seperti origami Jepang.

“Dengan melipat, kita bisa membentuk bentuk tidak beraturan jadi berdiri. Bentuk tidak beraturan ini secara alami membentuk segitiga dalam melipatnya supaya bisa berbelok,” tandasnya.

Dalam kesempatan itu, RK juga mencontohkan banyak masjid yang memiliki bentuk-bentuk segitiga dalam desainnya. Misalnya masjid Al Ukhuwah dekat Balaikota Bandung, Masjid Raya Jakarta, bahkan mihrab di Masjid Nabawi, Arab Saudi. Namun, masjid-masjid itu lepas dari kontroversi.

Masjid Al Safar merupakan karya Ridwan Kamil bersama firma arsiteknya Urbane Indonesia. Masjid itu masuk ke nominasi Abdullatif Al Fozan Award. (dok. Jasa Marga)

“Kenapa tidak heboh? Mungkin karena arsiteknya bukan pak Ridwan Kamil. Karena tidak akan jadi viral, tidak akan jadi ramai, tidak akan jadi sumber cemooh. Padahal banyak (yang lain),” ujarnya disambut tepuk tangan hadirin.

Pengamat: Isu Illuminati Digemari

Pengamat politik Jawa Barat Adiyana Slamet mengatakan, isu illuminati mudah berkembang di Jawa Barat karena kultur masyarakatnya yang religius. Apalagi, ujarnya, wacana ini dimulai oleh seorang yang dianggap memahami agama.

“Saya yakin, pada konteks tanda atau simbol yang terkandung dalam masjid Al Safar itu, sebenarnya kalau tidak dimunculkan oleh ustadz atau ulama itu tidak akan kontroversial,” ujar kandidat doktor komunikasi politik Universitas Padjadjaran ini.

Adiyana mengingatkan, isu-isu seperti ini kerap dimanfaatkan kelompok tertentu.

“Apalagi di Indonesia isu-isu politik identitas yang dimanfaatkan oleh kelompok-kelompok tertentu. Misalkan untuk coba men-downgrade elektabilitas pesaing. Itu pasti akan digunakan oleh kelompok-kelompok yang mempunyai kepentingan yang sangat besar.

Dia mengatakan, politik identitas akan merusak tatanan demokrasi karena ‘menggiring irasionalitas pemilih’.