Perjalanan Migrasi Manusia dan Sekaratnya Bahasa Daerah di Nusantara

By Mahandis Yoanata Thamrin, Jumat, 21 Juni 2019 | 10:30 WIB
Erik Rumfabe, asal Manokwari, Papua Barat, bersiap mementaskan tarian tradisi sukunya di Festival Budaya Melanesia yang digelar di Kupang pada 2015. (Mahandis Yoanata/National Geographic Indonesia)

Nationalgeographic.co.id— “Artefak, [jika] orangnya mati, masih ada artefaknya,” ujar Multamia Mulder. Namun, “bahasa, [jika] orangnya mati, bahasanya ikut mati.”

Multamia merupakan seorang guru besar bidang geografi linguistik dari Departemen Linguistik di Universitas Indonesia. Dia telah meneliti bahasa-bahasa yang berkembang di kawasan Melanesia—mencakup kepulauan Indonesia hingga Pasifik dan Oseania.

Berdasar peta migrasi manusia dari daratan Asia hingga kepulauan pasifik, ternyata kita berasal dan menggunkan akar bahasa yang sama. Pola migrasi manusia memang kompleks, namun memiliki gambaran yang jelas, yaitu dari barat ke timur.

Baca juga: Benarkah Alien Memiliki Bahasa Universal Seperti yang Ada di Bumi?

Kayang Ule (67) terlihat gagah memakai pakaian adat suku Dayak saat berpose untuk difoto di kediamannya. (Rahmad Azhar Hutomo/National Geographic Indonesia)

 “Tidak ada bahasa yang asli atau murni,” ungkap Multamia. “Semua pinjam-meminjam.” Kemudian, dia melanjutkan, “Tidak ada bahasa yang lebih baik karena setiap bahasa merupakan tinggalan terbaik para penuturnya.”

Bumi memiliki 17 rumpun bahasa, dan dua dari rumpun itu terdapat di Indonesia—rumpun bahasa Austronesia dan rumpun bahasa Papua. Migrasi manusia telah membawa manusia tersebar hingga ke tempat terpencil. “Setiap pecahan kelompok migrasi akan membangun kosa kata sesuai tempatnya masing-masing,” demikian kata Multamia. “Namun, secara linguistik memiliki persamaan.”

Ciri khas bahasa Austronesia, menurut Multamia, adalah adanya reduplikasi (anak-anak, rumah-rumah); inklusif-eksklusif (kita-kami); morfologi kausatif (melakukan sesuatu untuk orang lain: membukakan, membelikan); berkonstruksi subjek-kata kerja-objek (saya makan nasi).

Multamia juga memerikan ciri khas bahasa Non-Austronesia atau Papua. Berkonstruksi subjek-objek-kata kerja (saya nasi makan); penggunaan penanda untuk gender dan sistem hitungan (“tangan-kaki” untuk menyebut bilangan dua puluh); penutur bahasa Papua jumlahnya sedikit dan tersebar di wilayah terpencil sehingga membangun kosa kata sendiri-sendiri.

Menurut persebaran, bahasa berakar dari Taiwan, menjamah Filipina, Borneo, dan Sulawesi. Bahkan, menurut Multamia, kita masih menjumpai kosa kata Madagaskar yang berakar dari bahasa di Borneo—proto-Austronesia. “Di manakah akar bahasa Indonesia: Sumatra atau Borneo?” tanya Multamia. “Ahli linguistik masih berbeda pendapat soal ini.”

Baca juga: Migrasi Manusia dan Perjalanan Sejarah Melanesia di Indonesia

Murid-murid SD Negeri Tuasay, Bintuni - Papua Barat. (Feri Latief/National Geographic Indonesia)

Kemudian Multamia memaparkan sebaran bahasa Austronesia yang berkembang di kawasan Melanesia.  Fiji (dari 10 bahasa, 8 adalah Austronesia); Vanuatu  (110 bahasa, 198 adalah Austronesia); Kepulauan Solomon (71 bahasa, 68 adalah Austronesia); Kaledonia Baru (36 bahasa, 36 Austronesia); Papua (839 bahasa, 240 adalah Austronesia), Timor-Leste (20 bahasa, 15 adalah Austronesia); dan Indonesia (706 bahasa, 453 adalah Austronesia).

Multamia menunjukkan bahwa dua bahasa tersebut hidup berdampingan dalam damai, seperti di kawasan Maluku yang separuh rumpun Austronesia, separuhnya lagi adalah rumpun Melanesia. Pulau Yapen di Papua memiliki rumpun bahasa Non-Austronesia atau Papua, namun dikitari oleh bahasa Austronesia.

Interaksi yang kian terjalin antar bangsa di kawasan Indonesia dan Oseania, menyebabkan terjadinya perbenturan bahasa. Salah satu akibatnya, demikian ungkap Multamia, bahasa-bahasa kecil yang terancam punah.

“Gejala ini antara lain terjadi di Fiji, Vanuatu, Kepulauan Solomon, Kaledonia Baru, Papua Nugini, Timor Leste, dan sekian banyak bahasa di Indonesia,” ungkap Multamia. Bahasa di Indonesia yang terancam punah berada di kawasan timur. “Beberapa bahasa di Maluku dan Papua boleh dikatakan telah punah.”

Baca juga: Mengapa Bahasa Latin Dianggap Sebagai Bahasa yang Mati?

Mahasiswa Fakultas Bahasa dan Seni Universitas Negeri Yogyakarta mengikuti kirab budaya yang digelar di kampus mereka. (Kompas.com/Ferganata Indra Riatmoko)

Semua bahasa di kawasan ini berawal dari protobahasa yang sama, dan menghadapi ancaman yang sama pula. Fiji (1 bahasa bermasalah); Vanuatu (44 bermasalah, 11 sekarat); Kepulauan Solomon (8 bermasalah, 8 sekarat); Kaledonia Baru (24 bermasalah, 8 sekarat); Papua Nugini (109 bermasalah, 37 sekarat). Timor-Leste (5 bermasalah, 1 sekarat). Indonesia (dari 706, sebanyak 266 bermasalah, 75 sekarat). “Indonesia paling parah,” ujar Multamia.

“Kita berasal dari protobahasa yang sama Austronesia dan Papua,” kata Multamia. Secara geografi, dia melanjutkan, pada umumnya distribusi dari barat ke timur, dan timur sebagai kelanjutan migrasi dengan segala modifikasinya. Di Indonesia cukup banyak wilayah yang memiliki percampuran dua rumpun bahasa itu, demikian simpulannya.

“Sekarang kita betul-betul bisa mengetahui bahwa kita hidup bersaudara,berasal dari rumpun yang sama,” ujar Multamia di akhir pemaparannya. “Marilah kita bekerja sama untuk kemaslahatan bersama—melestarikan bahasa dan kebudayaan kita.”

Multamia memberikan pemaparannya dalam forum Festival Budaya Melanesia (Melanesia Cultural Festival) yang digelar di Kupang, Nusa Tenggara Timur pada 26-30 Oktober 2015.