Lebih dari satu dekade lalu, Webster sedang memotret untuk proyek PBB di sebuah kamp pengungsi di Kenya ketika seorang pria mengatakan bahwa ia tidak memiliki satu pun foto dengan keluarganya.
Webster kemudian teringat foto dirinya bersama dengan kakek, nenek, dan ibunya. Foto tersebut diambil di sebuah studio sebelum Webster dan keluarganya bermigrasi dari Yunani ke Afrika Selatan.
“Itu adalah foto yang paling berharga karena bisa mengingatkan asal usul saya,” ujarnya.
Webster sadar bahwa selama ini subjek fotonya kebanyakan adalah korban perang. Mereka melarikan diri dan berusaha bertahan hidup hingga meninggalkan arsip pribadi di rumahnya. Wajar jika mereka tidak memiliki foto sama sekali.
Oleh sebab itu, Webster ingin memberikan mereka satu foto untuk menyemangati mereka dalam membangun hidupnya kembali.
Baca Juga: Kisah Dari Storm Lake, Kota Kecil yang Merangkul Perbedaan Warganya
Pada 2011, dengan sebuah printer dan studio mini di sudut Cape Town, Webster mengundang beberapa orang untuk dipotret gratis. Ia mencetak foto mereka langsung di tempat.
Setelahnya, Webster mulai mendirikan studio di berbagai wilayah. Mulai dari jalanan Mumbai, India, hingga kamp pengungsian di Sudan Selatan.
“Gagasan dari proyek ini adalah agar para migran bisa membangun kembali hidup mereka dengan foto dan arsip baru, serta menegaskan kembali identitas mereka,” ungkap Webster.
“Saya biasanya membiarkan mereka menentukan sendiri fotonya ingin seperti apa. Saya akan bertanya: ‘Bagaimana Anda ingin terlihat?’,” pungkasnya.