Selanjutnya masalah menempa pada penerus masa depan mereka: anak-anak. Seorang peneliti mengatakan anak-anak pengungsi Rohingya akan menghadapi masa depan yang suram bila tidak mendapatkan sekolah.
Pemerintah Bangladesh belum memberikan status resmi pada pengungsi Rohingya dan menganggap mereka sebagai "warga negara Myanmar yang dipindahkan secara paksa". Karena itulah sekitar 500.000 anak-anak Rohingya di Bangladesh tidak memiliki akses ke pendidikan formal.
Bersama segenap mitranya, UNICEF memberikan kebutuhan belajar 2 jam sehari kepada anak-anak pengungsi Rohingya usia 4 hingga 14 tahun. Mereka mendapatkan pelajaran bahasa Inggris, matematika dan keterampilan lainya di 1.600 learning center yang terletak di kamp-kamp tersebut.
Baca Juga: Kisah dari Tijuana, Ketika Studio Foto Jalanan Menarik Perhatian Para Migran dan Pengungsi
Mirisnya, kamp pengungsian tidak menawarkan sekolah sama sekali bagi remaja pengungsi Rohingya yang berusia 15 hingga 18 tahun.
Sehingga beberapa dari mereka -yang mayoritas laki-laki- pergi ke madrasah untuk mendapatkan pendidikan Agama Islam.
sedangkan anak-anak lainya yang tidak mengikuti kelas UNICEF atau madrasah mengisi hari-hari mereka dengan berbagai macam kegiatan seperti, bekerja di toko-toko, bermain kartu atau hanya duduk dan melamun sepanjang hari.
"Ketika saya bertanya kepada Mohammad apa yang dia lakukan ketika dia tidak bersekolah." Ujar Rubayat.
"Menjaga keluarga saya." Jawab Mohammed.
Baca Juga: Demam Piala Dunia Masih Bergema di Kamp Pengungsian Rohignya
"Aku juga bermain dengan anak-anak lain," tambahnya sambil tersenyum.
Sedih memang, di negara mereka sendiri -Myanmar- mereka di anggap orang asing, di tempat pencarian suaka -Bangladesh- pun tidak diakui statusnya. Muslim Rohingya adalah orang-orang tanpa kewarganegaraan terbesar di dunia.
Entah sampai kapan mereka begini. Dan satu generasi anak-anak Rohingya terus mempertanyakan masa depannya!