Membakar Sampah Dinilai Lebih Praktis, Tapi Ternyata Lebih Berbahaya

By Mahmud Zulfikar, Rabu, 31 Juli 2019 | 06:49 WIB
ilustrasi pembakaran sampah (pinnsdaddy)

Nationalgeographic.co.id - Menghadapi masalah sampah memang tidak ada habisnya. Selain karena setiap hari kita hidup memproduksi sampah, dihasilkan secara masal, dan yang selalu membuat kewalahan adalah mengolahnya.

Kita selalu berpikiran, mengatasi sampah dirumah adalah kumpulkan-angkut-buang. Tanpa memilah-lagi mana organik dan non-organik.

Cara ini saja sudah salah, ditambah lagi dengan proses akhirnya membakar. Jadi salah kaprah.

Membakar sampah memang terkesan praktis dan mudah dilakukan. Terutama bila tinggal di daerah yang tidak ada petugas sampah keliling. Tentu, membakar adalah cara yang efektif.

Baca Juga: Bersama Ciptakan Kebaikan Untuk Bumi, Kolaborasi untuk Atasi Masalah Sampah di Indonesia

Tapi, apakah kita pernah berpikir efek dari membakar sampah? Ternyata malah memberi masalah baru yang tidak kalah bahayanya loh!

Ketika kita berpikiran dengan membakar sampah, bisa menyelesaikan sekelumit gunungan sampah, ternyata zat berbahaya yang dihasilkannya berpindah ke udara dan kita menghirupnya.

Pembakaran yang bersih hanya bisa dilakukan dalam api panas dan suplai oksigen yang cukup.

Padahal, pada pembakaran sampah yang umum dilakukan, yakni sampah dalam tumpukan, hanya bagian luar yang mendapat cukup oksigen untuk menghasilkan CO2. Sementara bagian dalam, karena kekurangan suplai O2, akan menghasilkan karbonmonoksida (CO).

Baca Juga: Hidup di Tengah Polusi Udara Kota, Adakah Cara untuk Tetap Sehat?

Pembakaran sampah menghasilkan karbonmonoksida. Apa sih bahayanya?

Menurut IDN Times, gas ini tidak berwarna dan kehadirannya sulit dideteksi. Padahal gas ini sangat berbahaya bagi kesehatan.

Bila kita menghirupnya dalam kadar rendah saja bisa membuat kita sesak napas. Pada kadar tinggi kita bisa pingsan dan bahkan mati.

Ketika Karbonmonoksida terhirup, dia akan masuk ke dalam paru-paru dan mengikat hemoglobin sel darah. Akibatnya, hemoglobin yang semestinya mengangkut dan mengedarkan oksigen ke seluruh tubuh akan terganggu. Tubuh akan kekurangan O2 dan bisa menyebabkan kematian.

Melansir dari Hellosehat.com, ketika napas tersendat, kerja paru-paru pun terhambat dalam mengalirkan oksigen. Hal ini bisa menggangu fungsi kerja organ-organ tubuh vital dan bisa berakibat fatal.

Daripada membakarnya, sebisa mungkin kita hidup hemat sampah.

Ini yang dimaksud dengan life cycle thinking, sebelum kita membeli sesuatu, kita harus tahu fungsi dan umur kegunaannya. Dengan cara ini kita bisa hidup hemat sampah.

“Kita mesti tahu dari awal sampai akhirnya akan jadi apa. Dengan begitu, kita jadi berpikir perlu beli barang yang berpotensi menjadi sampah tersebut atau tidak. Yang pasti, harus dipikirkan dari produksi, distribusi, dan akhir hidupnya bagaimana,” Jelas Jessica Hanafi pada Nationalgeographic.co.id.

Kemudian, kurangi –bahkan kalau bisa sudahi– penggunaan plastik sekali pakai. Manfaatkanlah plastik untuk waktu yang lama dan terus-menerus.

Baca Juga: Polusi Jakarta Terburuk Sedunia, Ternyata Kendaraan Penyebab Utamanya

Bila memiliki sampah organik, buanglah di satu tempat untuk kemudian diolah menjadi pupuk kompos.

Ketimbang kita bingung mau diapakan sampah kita ketika menggunung. Berikan pada petugas kebersihan setempat, untuk selanjutnya mereka daur ulang.

Tapi, yang lebih penting dari banyak langkah menangani sampah adalah “mengurangi”. Mengurangi kebiasaan konsumtif.

Semakin sedikit kita belanja, semakin sedikit kita menyampah.