Nationalgeographic.co.id - Fenomena konflik satwa liar antara gajah dengan manusia tak kunjung usai dan masih sering terjadi hingga saat ini. Menurut data dari Balai Konservasi Sumber Daya Alam (BKSDA) Aceh, dalam sepekan terakhir, ditemukan lima kasus konflik gajah liar dengan manusia di Kabupaten Aceh Timur, Pidie, Nagan Raya, dan Bener Meriah.
Kepala BKSDA Aceh, Sapto Aji Prabowo mengatakan kepada VOA konflik gajah liar dengan manusia merupakan fenomena rutin tahunan. Terjadinya konflik satwa liar dengan manusia terjadi karena banyak habitat satwa liar yang berubah menjadi lahan perkebunan dan permukiman masyarakat.
"Ada yang berubah jadi kebun, dan permukiman. Di Aceh sekitar 85 persen habitat gajah ada di luar kawasan konservasi. Bahkan 60 persen di luar kawasan hutan. Ada di Arel Penggunaan Lain (APL) bukan di hutan. Itu dulu habitatnya, begitu berubah dan jenis tanaman yang ditanam disukai gajah senang sekali mereka (terjadi konflik)," kata Sapto, Senin (26/8).
Baca Juga: Kepunahan Biodiversitas Tertinggi, Indonesia Peringkat Ke-6
Akibat dari konflik gajah liar dengan manusia ternyata bukan main-main, bahkan sampai memakan korban jiwa. Menurut BKSDA Aceh, tahun ini saja hingga Agustus 2019, sedikitnya satu orang meninggal dunia akibat konflik gajah liar dengan manusia.
"Tahun ini dari sisi gajah belum ada laporan. Kalau dari sisi manusia tahun ini ada dua korban, satu luka berat patah tulang di Pidie Jaya, dan seorang lagi meninggal dunia," sebut Sapto.
BKSDA Aceh menyiapkan beberapa langkah untuk menangani konflik satwa liar dengan manusia untuk meninimalisir jatuhnya korban. Penanganan konflik antara satwa liar dengan manusia terbagi menjadi jangka pendek dan panjang.
Menurut keterangan Sapto, BKSDA Aceh membentuk kelompok masyarakat peduli konflik dibantu dari pihak lain. Masyarakat nantinya akan dilatih bagaimana cara menghalau gajah liat yang menyerbu ke permukiman atau perkebunan milik warga.
"Kita bekali masyarakat dengan pengetahuan, itu (penanganan) jangka pendek. Jangka panjangnya, kami dengan pemerintah Aceh dan pegiat konservasi sedang menyusun Kawasan Ekosistem Esensial (KEE). Ini adalah di luar kawasan konservasi yang memiliki nilai konservasi penting sehingga perlu untuk dilindungi. Artinya, kita akan buat aturan-aturan yang harus dilakukan sehingga antara kepentingan manusia bisa berdampingan dengan satwa liar yang ada di situ," jelas Sapto.
"KEE nanti dalam waktu dekat akan diluncurkan di Aceh dan dikelola secara kolaboratif. KEE tidak akan mengubah fungsi kawasan," tambahnya.