Habitat Berkurang, Konflik Gajah-Manusia Terus Terjadi di Aceh

By National Geographic Indonesia, Jumat, 30 Agustus 2019 | 11:40 WIB
Gajah sumatera yang berada di CRU Sampoiniet, Kabupaten Aceh Jaya. (Junaidi Hanafiah/Mongabay Indonesia)

Nationalgeographic.co.id - Fenomena konflik satwa liar antara gajah dengan manusia tak kunjung usai dan masih sering terjadi hingga saat ini. Menurut data dari Balai Konservasi Sumber Daya Alam (BKSDA) Aceh, dalam sepekan terakhir, ditemukan lima kasus konflik gajah liar dengan manusia di Kabupaten Aceh Timur, Pidie, Nagan Raya, dan Bener Meriah.

Kepala BKSDA Aceh, Sapto Aji Prabowo mengatakan kepada VOA konflik gajah liar dengan manusia merupakan fenomena rutin tahunan. Terjadinya konflik satwa liar dengan manusia terjadi karena banyak habitat satwa liar yang berubah menjadi lahan perkebunan dan permukiman masyarakat.

"Ada yang berubah jadi kebun, dan permukiman. Di Aceh sekitar 85 persen habitat gajah ada di luar kawasan konservasi. Bahkan 60 persen di luar kawasan hutan. Ada di Arel Penggunaan Lain (APL) bukan di hutan. Itu dulu habitatnya, begitu berubah dan jenis tanaman yang ditanam disukai gajah senang sekali mereka (terjadi konflik)," kata Sapto, Senin (26/8).

Baca Juga: Kepunahan Biodiversitas Tertinggi, Indonesia Peringkat Ke-6  

Akibat dari konflik gajah liar dengan manusia ternyata bukan main-main, bahkan sampai memakan korban jiwa. Menurut BKSDA Aceh, tahun ini saja hingga Agustus 2019, sedikitnya satu orang meninggal dunia akibat konflik gajah liar dengan manusia.

"Tahun ini dari sisi gajah belum ada laporan. Kalau dari sisi manusia tahun ini ada dua korban, satu luka berat patah tulang di Pidie Jaya, dan seorang lagi meninggal dunia," sebut Sapto.

Kehilangan habitat membuat gajah-gajah berkeliaran di permukiman warga. Ini juga terjadi di India. (Manjunath Kiran/AFP)

BKSDA Aceh menyiapkan beberapa langkah untuk menangani konflik satwa liar dengan manusia untuk meninimalisir jatuhnya korban. Penanganan konflik antara satwa liar dengan manusia terbagi menjadi jangka pendek dan panjang.

Menurut keterangan Sapto, BKSDA Aceh membentuk kelompok masyarakat peduli konflik dibantu dari pihak lain. Masyarakat nantinya akan dilatih bagaimana cara menghalau gajah liat yang menyerbu ke permukiman atau perkebunan milik warga.

"Kita bekali masyarakat dengan pengetahuan, itu (penanganan) jangka pendek. Jangka panjangnya, kami dengan pemerintah Aceh dan pegiat konservasi sedang menyusun Kawasan Ekosistem Esensial (KEE). Ini adalah di luar kawasan konservasi yang memiliki nilai konservasi penting sehingga perlu untuk dilindungi. Artinya, kita akan buat aturan-aturan yang harus dilakukan sehingga antara kepentingan manusia bisa berdampingan dengan satwa liar yang ada di situ," jelas Sapto.

"KEE nanti dalam waktu dekat akan diluncurkan di Aceh dan dikelola secara kolaboratif. KEE tidak akan mengubah fungsi kawasan," tambahnya.

Rumah warga yang hancur akibat serangan gajah liar di Simpang Keramat, Aceh Utara. (Dok. Istimewa via Kompas.com)

Lanjut Sapto, saat ini proses penghalauan gajah liar yang masuk ke kawasan permukiman warga hanya dilakukan dengan cara manual menggunakan petasan dan meriam karbit. Alat-alat yang digunakan itu akan mengeluarkan bunyi yang kuat sehingga bisa membuat gajah liar enggan masuk ke perkebunan atau permukiman masyarakat.

"Kita harapkan dengan strategi tertentu mereka (gajah) bisa dihalau ke arah hutan. Kalau sudah tidak mampu lagi menggunakan cara manual, kami akan pertimbangkan untuk menggunakan gajah jinak. Tapi untuk hal tersebut tidak murah sehingga itu menjadi langkah akhir," ungkap Sapto.

Baca Juga: Gambar dari Luar Angkasa Ini Tunjukkan Seberapa Parah Kebakaran Hutan Amazon

Direktur Eksekutif Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (WALHI) Aceh, Muhammad Nur menuturkan sejak tahun 2009 sampai sekarang konflik satwa liar dengan manusia tak pernah berhenti. Kata Nur, tingginya alih fungsi hutan atau lahan dan banyaknya kegiatan ilegal yang terjadi di habitat gajah dan satwa liar lainnya merupakan penyebab konflik itu.

Nur juga mengungkapkan, apa yang dilakukan pemerintah untuk mencegah atau meminimalisir konflik satwa liar dengan manusia belum maksimal. Banyak kebijakan dari pemerintah yang tak sesuai dengan fakta di lapangan sehingga tingkat konflik satwa liar dengan manusia di Aceh masih sangat tinggi.

"Wacana banyak dari pemerintah Aceh, seperti membuat regulasi khusus tentang qanun satwa. Tapi ternyata tidak sinkron dengan fakta di lapangan yaitu gajah kena jerat, diracun, atau satwa lain mulai hijrah dari hutan ke permukiman warga dan sebaliknya. Ini fenomena yang tidak sinkron dari pemerintah dengan realita di lapangan. Pemerintah lebih banyak kebijakan, sedangkan pencegahan belum maksimal," pungkasnya. [aa/ab]

Artikel ini pernah tayang di voaindonesia.com dengan judul "Konflik Gajah Liar dengan Manusia di Aceh Tak Kunjung Usai". Penulis: Anugerah Adriansyah.