Nationalgeographic.co.id - Sejak lama gajah menarik perhatian manusia, baik dari ukuran tubuh hingga perilaku kompleks mereka yang memperlihatkan kemiripan dengan kemampuan manusia. Misalnya mereka mampu menggunakan alat dan berduka atas kematian kawanannya.
Dalam banyak hal, sejarah evolusi gajah juga sejajar dengan manusia. Nenek moyang gajah berasal dari Afrika, sama seperti manusia. Keturunan mereka, salah satunya mamut, bermigrasi dari Afrika dan mendiami benua lain. Mereka kemudian berevolusi dan memiliki otak terbesar di antara semua binatang darat, dengan berat sekitar 5 kilogram. Otak manusia hanya seberat 1,4 kilogram.
Apa yang mendorong unsur evolusi gajah ini? Meski catatan fosil nenek moyang gajah tergolong paling banyak, - hampir 300 spesies tercatat - para ilmuwan belum berhasil menjawab pertanyaan tersebut. Ada jarak hampir 30 juta tahun dari spesies paling awal dengan otak kecil hingga gajah modern dengan otak yang besar.
Namun, berkat teknik pemindaian mutakhir dan rekonstruksi statistik canggih untuk mengetahui fitur nenek moyang, kami kini memiliki jawabannya.
Baca Juga: Bahaya Plastik, Lebih Dari Seribu Hiu dan Pari Mati Terjerat Sampah
Sebuah tim ilmuwan dari Afrika Selatan, Eropa dan Amerika Utara - termasuk kami - telah menghabiskan enam tahun merekonstruksi alur waktu dari evolusi otak gajah secara akurat untuk pertama kalinya. Hasil kolaborasi internasional ini telah diterbitkan dalam Scientific Reports.
Hasilnya? Perubahan iklim memiliki peran yang besar. Iklim yang berubah bersama gangguan lingkungan lainnya, persaingan dengan spesies lain hingga predator baru, mempunyai peran penting dalam pembentukan otak gajah purba. Penemuan ini tidak hanya memecahkan salah satu misteri ilmiah yang sudah ada sejak lama, namun juga memberikan pemahaman bagaimana spesies modern dapat beradaptasi dengan krisis iklim saat ini.
Survei kami mengungkapkan bahwa ukuran otak pada gajah purba meningkat sebanyak dua gelombang, sekitar 26 dan 20 juta tahun yang lalu. Pengukuran relatif besar otak yang disesuaikan dengan ukuran tubuh, atau dikenal dengan encephalization quotient, meningkat dua kali lipat pada gajah. Hal ini kemudian mengubah otak kecil pada gajah purba menjadi otak besar yang sebanding dengan spesies modern.
Lebih lanjut, peningkatan dua gelombang tersebut juga berkaitan dengan gangguan lingkungan yang terjadi di Afrika. Sekitar 26 juta tahun yang lalu, Antartika beku untuk pertama kalinya menyebabkan iklim menjadi sangat kering secara global. Akibatnya, hutan hujan di Afrika pun berubah menjadi sabana dan padang pasir.
Iklim berubah lagi pada 20 juta tahun yang lalu, menjadi lebih hangat dan basah di Afrika. Ketidakstabilan iklim ini diikuti dengan munculnya daratan yang menjembatani antara Asia dan Afrika.
Sebelumnya, Afrika merupakan sebuah benua yang terisolasi. Namun, akibat terjadi pergeseran benua, Afrika bertabrakan dengan daerah Syam – meliputi Palestina modern, Israel, Lebanon, Suriah, Yordania dan Irak –, sehingga memungkinkan invasi herbivora dan predator baru dari Asia.
Fauna invasif yang sudah ada, termasuk nenek moyang singa modern, zebra, badak, kuda nil, dan antelop. Kera Besar belum ada pada saat itu. Beberapa spesies besar mati pada periode waktu tersebut, salah satunya Arsinoitherium, kerabat gajah yang mirip seperti badak.
Gajah purba pun harus beradaptasi agar tidak punah, karena mereka merupakan hewan yang relatif kecil, seukuran tapir, dengan belalai pendek. Kami berhipotesis bahwa otak yang lebih besar memungkinkan fleksibilitas dalam perilaku, contohnya lebih eksploratif, bermigrasi untuk mencari makanan, mampu mencerna lebih banyak macam makanan (daun, buah-buahan, rumput), dan mengingat lokasi sumber air yang jauh selama musim kering. Otak yang lebih besar mungkin juga membantu untuk gajah purba mengelabui lawan dan menghindari predator.
Gajah terbantu dengan ukuran tubuhnya yang menjadi sangat besar. Menjadi besar membuka peluang baru bagi gajah, antara lain menghindari predator, tubuh besar juga membantu saat kurangnya sumber makanan dan air karena mampu menampung lebih banyak lemak dan air, serta usus yang lebih besar akan mencerna makanan dengan efisien.
Kami menemukan bahwa ukuran otak ikut berevolusi seiring dengan dengan ukuran tubuh pada gajah. Hal ini menunjukkan bahwa evolusi tubuh besar tidak sepenuhnya terlepas dari otak yang besar.
Otak yang besar pada gajah tampaknya berevolusi tidak hanya fleksibilitas dalam perilaku, namun untuk pertumbuhan tubuh mereka. Hal ini merupakan peringatan dalam menginterpretasikan ukuran otak hanya untuk memenuhi kebutuhan dugaan retrospektif untuk menjelaskan kecerdasan lanjutan.
Sederhananya, ketika ukuran otak pada garis keturunan tertentu meningkat, manusia berkesimpulan bahwa hal tersebut terjadi karena perlu lebih cerdik untuk bertahan hidup.
Namun, hal yang tidak boleh dilupakan bahwa ukuran otak berkorelasi dengan banyak variabel lain, salah satunya ukuran tubuh. Hal lainnya adalah panjangnya kehamilan.
Baca Juga: Habitatnya Rusak, Populasi Orangutan Kalimantan Semakin Kritis di 2019
Orang biasanya akan berpikir bahwa variabel-variabel tersebut merupakan efek samping dari otak yang besar. Namun, bagaimana bila otak yang besar sebenarnya efek samping dari massa tubuh yang besar? Bagaimana bila seandainya seleksi alam hanya berlaku pada ukuran tubuh dan ukuran otak hanya sebagai sampingannya.
Sayangnya, pertanyaan-pertanyaan tersebut masih belum terjawab. Namun, seiring dengan kemajuan penelitian kami, setidaknya ada gambaran yang lebih jelas. Berkat penelitian yang kami lakukan, gangguan lingkungan, termasuk perubahan iklim, invasi spesies pesaing dan predator baru, memiliki peran penting dalam membentuk kembali otak gajah purba dan perilaku mereka kini terbukti.
Source | : | The Conversation Indonesia |
Penulis | : | National Geographic Indonesia |
Editor | : | Gita Laras Widyaningrum |
KOMENTAR