Presiden Jokowi Akui Pemerintah Lalai dalam Pencegahan Karhutla 2019. Lantas, Apa yang Bisa Dilakukan Pada Masa Mendatang?

By Bayu Dwi Mardana Kusuma, Selasa, 17 September 2019 | 16:09 WIB
Api melalap kawasan Taman Nasional Sebangau di dekat Palangkaraya, Kalimantan Tengah, Sabtu (14/09). (Ulet Ifansasti/Getty Images via BBC Indonesia)

Penulis: Rini Astuti, Helena Varkkey, Zu Dienle Tan

Kebakaran hutan yang terjadi pada tahun 2015 telah menghancurkan 2,7 juta hektar lahan dan lebih dari 800.000 hektar kebakaran tersebut terjadi di lahan gambut dalam. Kehancuran lingkungan ini mengakibatkan kerugian lebih dari US$ 16 miliar (Rp 225 triliun) bagi Indonesia.

Lebih lanjut, laporan dari Bank Dunia juga menyebutkan Indonesia menyumbangkan emisi gas rumah kaca sebesar 15,95 juta ton karbon dioksida setiap harinya, lebih besar dari yang dihasilkan oleh Amerika Serikat.

Hal ini menempatkan Indonesia sebagai salah satu kontributor tertinggi emisi gas rumah kaca dari sektor kehutanan.

Baca Juga: Kebakaran Hutan Mengancam Area Rehabilitasi, Bagaimana Nasib Orangutan?

Kabut asap di Pekanbaru, Riau, Kamis (12/9/2019). (ANTARA FOTO/RONY MUHARRMAN)

Tidak hanya hutan terbakar yang menjadi persoalan. Kabut asap yang dihasilkan dari kebakaran tersebut telah menimbulkan risiko kematian dini bagi ratusan ribu jiwa akibat menghirup partikel polutan yang berukuran mikro yang terkandung dalam kabut asap.

Partikel tersebut mengancam jiwa terutama bagi para balita di Indonesia, Singapura, dan Malaysia.

Pada 2015, saat Presiden Joko “ Jokowi” Widodo memulai pemerintahan termin pertamanya, Indonesia mengalami salah satu kebakaran hutan dan kabut asap terburuk dalam beberapa dekade terakhir.

Baca Juga: Kabut Asap Makin Parah Kepung Riau, Warga yang Makin Khawatir Hingga Aktivis Ingatkan Jokowi untuk Turun Lapangan

Pesawat Kepresidenan yang membawa Presiden Joko Widodo dan rombongan mendarat mulus di tengah kabut asap kebakaran hutan dan lahan (karhutla) yang menyelimuti Bandara Sultan Syarif Kasim II, Kota Pekanbaru, Riau, Senin petang (16/9/2019). Presiden Joko Widodo melakukan kunjungan untuk meninjau kondi (ANTARA FOTO/FB ANGGORO)

Presiden Jokowi pun “blusukan” ke lahan gambut yang terbakar di Kalimantan Selatan untuk melihat langsung dampak yang ditimbulkan. Hasilnya, pemerintah kala itu mengeluarkan serangkaian kebijakan terkait dengan perlindungan hutan dan restorasi gambut.

Kebijakan itu antara lain penggabungan Kementerian Lingkungan Hidup dengan Kementerian Kehutanan, pendirian Badan Restorasi Gambut yang diberikan mandat untuk merestorasi dua juta hektar lahan gambut rusak, dan pembentukan satuan khusus untuk darurat kebakaran hutan dan kabut asap.

Selain itu, Jokowi juga meneruskan kebijakan moratorium terkait pemberian ijin baru perkebunan pada hutan primer dan lahan gambut yang diinisiasi oleh presiden sebelumnya, Susilo Bambang Yudhoyono.

Baca Juga: Bahaya Jangka Pendek dan Panjang dari Kabut Asap di Riau

Presiden Joko Widodo (kanan) didampingi Kapolri Jenderal Pol Tito Karnavian meninjau penanganan kebakaran lahan di Desa Merbau, Kecamatan Bunut, Pelalawan, Riau, Selasa (17/9/2019). (ANTARA FOTO/Puspa Perwitasari via Kompas.com)

Setelah resmi memenangkan pemilihan presiden untuk kedua kalinya, apa saja dampak dari kebijakan lingkungan yang dikeluarkan Jokowi pada periode pertama kepemimpinannya dan apa yang bisa diperbaiki untuk masa pemerintahannya yang kedua?

Tahun ini, meski El Nino diprediksi akan melemah, namun Indonesia harus segera bersiap menghadapi musim kering panjang serta risiko tinggi kebakaran hutan dan lahan.

Oleh sebab itu, restorasi hutan dan lahan gambut yang rusak perlu menjadi agenda utama untuk mencegah kerusakan lingkungan dan jatuhnya korban seperti pada tahun 2015.

Baca Juga: Mengapa Memadamkan Kebakaran Hutan di Indonesia Sangat Sulit?

Berikut adalah tiga hal yang bisa dilakukan secara lebih baik oleh pemerintahan Presiden Jokowi pada periode kedua untuk mencegah kebakaran hutan dan kabut asap serta mendukung upaya dunia internasional untuk mengurangi emisi gas rumah kaca.

Presiden Joko Widodo memimpin rapat terbatas penanganan kebakaran hutan dan lahan (karhutla) di Pekanbaru, Riau, Senin (16/9/2019). (ISTANA PRESIDEN/AGUS SUPARTO)

1. Menjadikan moratorium kehutanan sebagai kebijakan permanen

Presiden Jokowi harus menetapkan larangan pemberian izin baru untuk hutan primer dan lahan gambut, yang dikenal sebagai moratorium hutan, secara permanen. Moratorium ini seharusnya tidak perlu lagi diperpanjang setiap dua tahun.

Moratorium hutan yang diumumkan pada tahun 2011 silam oleh Presiden Susilo Bambang Yudhoyono telah mengalami perpanjangan sebanyak empat kali dan akan berakhir pada Juli 2019.

Moratorium ini bertujuan untuk melindungi 64 juta hektar hutan dan merupakan bagian upaya Indonesia untuk memangkas emisi gas rumah kaca.

Baca Juga: Tak Hanya Riau, Berikut Provinsi dengan Karhutla Terparah Selama 2019

Walau polusi udara yang menyelubungi Palangkaraya mencapai puluhan kali lipat dari batas normal, sebagian warga tampak tidak memakai masker dan merokok sembari mengendarai motor. (Bjorn Vaughn via BBC Indonesia)

Selain moratorium hutan, Presiden Jokowi juga mengeluarkan larangan untuk ekspansi baru perkebunan kelapa sawit di lahan hutan dan gambut selama tiga tahun di tahun 2018.

Kebijakan ini diambil mengingat tradisi pengolahan perkebunan di Indonesia dengan membakar lahan sebelum penanaman yang meningkatkan risiko kebakaran hutan dan lahan gambut.

Pemerintahan Jokowi harus meneruskan kedua kebijakan tersebut, namun kami juga merekomendasikan moratorium untuk mencakup hutan sekunder (kawasan hutan yang tumbuh alami setelah ditebang) karena banyak dari kawasan hutan ini masih memiliki tutupan hutan yang baik dan nilai keanekaragaman hayati yang tinggi.

Baca Juga: Kebakaran Hutan Mengancam Area Rehabilitasi, Bagaimana Nasib Orangutan?

Siswa yang orang tuanya mampu secara ekonomi memakai perangkat masker yang lebih baik di Palangkaraya, Kalimantan Tengah, Kamis (12/09). (Bjorn Vaughn via BBC Indonesia)

Para peneliti mencatat bahwa tingkat kehilangan tutupan pohon di Indonesia telah turun sebesar 60%, selain itu laju hilangnya hutan primer di lahan gambut yang terlindungi juga telah turun hingga 88% antara 2016 dan 2017.

Namun, mereka berpendapat bahwa laju penurunan itu dihasilkan dari berbagai faktor, tidak hanya moratorium. Faktor-faktor tersebut seperti curah hujan, penegakan hukum, dan peningkatan kesadaran publik tentang bahaya kabut asap bagi kesehatan manusia.

Apakah kebijakan moratorium kehutanan memiliki pengaruh langsung dalam mengurangi laju kerusakan hutan masih diperdebatkan. Namun, satu hal yang jelas: menghentikan pemberian izin baru perkebunan di kawasan hutan dan memulihkan hutan dan lahan gambut yang rusak adalah kunci untuk mengatasi kebakaran hutan dan lahan.

Baca Juga: Satelit Luar Angkasa Ungkap Tingkat Polusi Udara Akibat Kebakaran Hutan Amazon

Satgas Kebakaran hutan dan lahan (Karhutla) dari Dinas Kehutanan Kalsel menggunakan alat suntik gambut (Sunbut) saat berupaya memadamkan kebakaran lahan gambut di kawasan Syamsudin Noor, Banjarbaru, Kalimantan Selatan, Sabtu (14/9/2019). Berdasarkan pantauan satelit milik Lembaga Penerbangan dan Ant (ANTARA FOTO/BAYU PRATAMA S)

2. Meningkatkan transparansi dan akses publik terhadap data penggunaan hutan dan lahan

Indonesia dikenal dengan kegiatan tebas bakar untuk membuka perkebunan, terutama untuk kelapa sawit, yang ditengarai sebagai penyebab utama kebakaran hutan dan lahan tahun 2015.

Karena itu, keterbukaan data perkebunan kelapa sawit (HGU) penting untuk menunjukkan siapa yang bertanggung jawab atas area yang terbakar dan upaya untuk penegakan hukum.

Pemerintah bisa melakukan hal ini melalui penguatan “Inisiatif Satu Peta” guna mengintegrasikan seluruh peta lahan dan hutan di Indonesia dan membuka data tentang siapa yang memiliki dan mengelola perkebunan kelapa sawit.

Baca Juga: Menari Sambil Mabuk, Tradisi Piknik Musim Dingin Warga India

Warga melihat kebakaran lahan gambut dari balik jendela rumah di desa Pengayuan, Banjarbaru, Kalimantan Selatan, Sabtu (14/9/2019). Kebakaran lahan gambut di kawasan tersebut mengakibatkan satu tempat usaha warga dan sebagian dinding rumah warga ikut terbakar. (ANTARA FOTO/BAYU PRATAMA S)

Sejauh ini, pemerintah belum menunjukkan kemauan politik untuk menyediakan data yang terbuka dan transparan. Pemerintahan Jokowi enggan mematuhi keputusan Mahkamah Agung di tahun 2017 untuk membuka data perizinan perkebunan kelapa sawit kepada publik.

Pakar tata kelola hutan Hariadi Kartodihardjo menyatakan bahwa keengganan pemerintah menghambat proses klarifikasi status 3,47 juta hektar perkebunan kelapa sawit yang tumpang tindih dengan kawasan hutan.

Baca Juga: Mayat Terus Bergerak Hingga Satu Tahun Setelah Kematian, Ini Penjelasan Peneliti

Data yang terbuka dan transparan merupakan syarat utama untuk mengatasi kompleksitas konflik penguasaan lahan di Indonesia. Selain itu, keterbukaan ini akan mencegah pengembangan perkebunan kelapa sawit ilegal yang sering dihubungkan dengan kebakaran hutan dan lahan gambut yang dipicu aktivitas manusia.

Sebagai kepala pemerintahan, Presiden Jokowi semestinya memiliki kekuatan untuk mengatur agenda politik negara demi mengatasi masalah-masalah di atas serta menentukan langkah strategis untuk meningkatkan partisipasi publik dan akses ke Satu Peta.

Relawan pemadam kebakaran menyingkirkan atap tempat usaha warga yang hangus terbakar di desa Pengayuan, Banjarbaru, Kalimantan Selatan, Sabtu (14/9/2019). Kebakaran lahan gambut di kawasan tersebut mengakibatkan satu tempat usaha warga dan sebagian dinding rumah warga ikut terbakar. (ANTARA FOTO/BAYU PRATAMA S)

3. Kehutanan berbasis masyarakat

Rekomendasi terakhir kami terkait dengan partisipasi publik melalui pemberian akses legal bagi masyarakat yang tinggal di kawasan hutan di bawah skema Perhutanan Sosial.

Perhutanan Sosial adalah program nasional unggulan pemerintah untuk meningkatkan akses masyarakat ke 12,7 juta hektar hutan, yang diharapkan dapat membantu mengurangi kemiskinan dan mengurangi pembalakan liar.

Namun hingga akhir masa periode pertama, pemerintahan Jokowi baru mencapai kurang dari 20% total target Perhutanan Sosial. Untuk meningkatkan capaian, pemerintah telah mempermudah proses perizinan dengan memangkas proses birokrasi dari enam bulan menjadi 21 hari.

Baca Juga: Perubahan Iklim Semakin Parah, Semua Negara Harus Bersiap Menghadapinya

Saat ini pihak Centre for Orangutan Protection fokus menangani api yang mulai memasuki wilayah rehabilitasi. (Dok. Centre for Orangutan Protection via Kompas.com)

Selain merampingkan proses perizinan, hal penting yang harus dilakukan adalah memastikan Perhutanan Sosial dilaksanakan secara berkeadilan dan dapat membantu masyarakat beralih ke mata pencaharian alternatif yang ramah lingkungan.

Terdapat beberapa contoh kelompok hutan kemasyarakatan yang berhasil menyeimbangkan antara konservasi dan ekonomi, seperti kelompok Bina Wana yang berada di kabupaten Lampung Barat, di mana para petani memproduksi hasil hutan nonkayu seperti kopi dan madu sambil melindungi keanekaragaman hayati.

Melihat ke depan Perubahan iklim diproyeksikan akan meningkatkan kekeringan, hal ini akan memperparah musim kering yang disebabkan oleh El Nino. Karenanya, diperlukan komitmen yang lebih signifikan untuk mencegah kebakaran hutan dan kabut asap.

Baca Juga: Tidak Hanya Untuk Kesenangan, Musik Memiliki 5 Manfaat Bagi Tubuh

Warga menggunakan masker saat berada di objek wisata bantaran Sungai Kahayan, Palangkaraya, Kalimantan Tengah, Minggu (15/9/2019). Kota Palangkaraya kembali diselimuti kabut asap pekat akibat kebakaran hutan dan lahan di sejumlah daerah di Kalimantan Tengah sehingga menimbulkan aroma yang menyengat (ANTARA FOTO/RENDHIK ANDIKA)

Sejauh ini, Pemerintah Indonesia telah melakukan berbagai upaya untuk memperkuat kebijakan lingkungan dan sumber daya alam. Akan tetapi masih terdapat pekerjaan rumah untuk memastikan tercapainya keadilan lingkungan dan sosial, serta peningkatan transparansi dalam tata kelola hutan dan lahan gambut.

Memasuki masa jabatan keduanya, Jokowi perlu lebih memprioritaskan persoalan ini dalam agendanya untuk menghindari terulangnya bencana kabut asap tahun 2015.

(Tim penulis: Rini Astuti Research Fellow, National University of Singapore Helena Varkkey Senior Lecturer in International and Strategic Studies, University of Malaya Zu Dienle Tan PhD Student of Department of Geography, National University of Singapore)

Tulisan di atas diambilkan dari artikel di dalam The Conversation yang berjudul "Tiga hal yang bisa dilakukan Jokowi untuk tangani kebakaran hutan di Indonesia".