Mengapa Karhutla Masih Kerap Terjadi Meski Sudah Restorasi?

By National Geographic Indonesia, Senin, 30 September 2019 | 10:07 WIB
Kebakaran hutan di Palangkaraya. (Kurnia Tarigan/Kompas.com)

Nationalgeographic.co.id - Badan Restorasi Gambut (BRG) dan Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) sejak 2016 telah diberikan mandat untuk melakukan restorasi lahan gambut untuk mencegah kebakaran hutan dan lahan di Indonesia.

Lahan gambut di Indonesia terdegradasi dan mengering akibat terbakar hebat di 2015. Maka itu, upaya pemulihan gambut yang implementasinya berlangsung sejak 2017 diharapkan dapat mengembalikan kelembaban ekosistem gambut paling dini pada 2020 dan mencegah kebakaran selanjutnya.

Menurut riset, indikasi dampak dari restorasi gambut baru bisa dilihat dalam tiga tahun setelah restorasi.

Namun di 2019, kebakaran masih saja terjadi, termasuk di beberapa wilayah yang sedang direstorasi.

Lebih dari 90 persen titik pemantauan tinggi muka air lahan gambut di tujuh provinsi prioritas restorasi menunjukkan kekeringan.

Sehabis melakukan sidang rapat terbatas di Pekanbaru, Riau, 16 September 2019, Presiden Joko “Jokowi” Widodo mengakui bahwa Indonesia lalai dalam menangani kebakaran hutan dan lahan tahun ini.

Mengapa lahan gambut yang sudah direstorasi masih kering dan terbakar?

Berdasarkan penelitian kami, persoalan infrastruktur hingga kurangnya kerja sama antar semua pemegang kepentingan menjadi salah satu penyebab dari gagalnya atau belum efektifnya pemulihan ekosistem gambut.

Kenapa masih terbakar?

Sesudah kebakaran hebat pada tahun 2015, kebijakan pemerintah Indonesia di sektor kehutanan fokus kepada pemulihan gambut, salah satunya adalah menetapkan pembentukan Badan Restorasi Gambut (BRG) di 2016.

Bersama dengan KLHK, badan ini memiliki mandat untuk melakukan restorasi sekitar dua juta hektare lahan gambut di tujuh provinsi prioritas–Riau, Jambi, Sumatra Selatan, Kalimantan Barat, Kalimantan Tengah, Kalimantan Selatan, dan Papua–hingga 2020.

Restorasi gambut yang dilakukan oleh BRG mencakup tiga kegiatan yaitu pembangunan sekat kanal (rewetting) untuk membasahi kembali lahan gambut yang mengering, penanaman kembali jenis tanaman ramah gambut (revegetation), dan revitalisasi mata pencaharian masyarakat setempat.

Hingga tahun 2018, BRG memperkirakan sudah merestorasi sekitar 700 ribu hektare gambut.