Mengapa Karhutla Masih Kerap Terjadi Meski Sudah Restorasi?

By National Geographic Indonesia, Senin, 30 September 2019 | 10:07 WIB
Kebakaran hutan di Palangkaraya. (Kurnia Tarigan/Kompas.com)

Untuk indikator pemulihan lahan gambut, pemerintah menetapkan beberapa kriteria antara lain minimal 0.4 meter untuk tinggi muka air (ground water level) di gambut dan revegetasi seluas 500 hektare di tahun ketiga setelah penanaman.

Namun, kebakaran hutan dan lahan kini melanda kembali. Platform Global Forest Watch mendeteksi 7971 titik panas per tanggal 11 September 2019 berlokasi di lahan gambut.

Kebakaran hutan dan lahan terjadi di tujuh provinsi restorasi–Riau, Jambi, Sumatra Selatan, Kalimantan Barat, Kalimantan Tengah, Kalimantan Selatan, dan Papua–dengan luasan mencapai 162.273 hektare (seperti yang ditunjukkan dalam gambar berikut). Masih belum bisa dipastikan berapa luasan wilayah gambut yang telah direstorasi dan terbakar kembali.

Kebakaran gambut paling luas terjadi di Riau (40.553 hektare), Kalimantan Tengah (24.883 hektare), dan Kalimantan Barat (10.025 hektare).

Beberapa dari titik api tersebut terjadi di lahan gambut yang telah direstorasi oleh BRG di Riau dan Kalimantan Tengah.

Di beberapa wilayah, lahan gambut yang sudah direstorasi masih mengering. Ini karena kegiatan restorasi yang belum terintegrasi dengan basis ekosistem gambut.

Dalam hal rewetting , kualitas beberapa infrastruktur seperti sekat kanal yang yang telah difasilitasi oleh BRG dan perusahaan di Kabupaten Ogan Komering Ilir, Sumatera Selatan, ditemukan dalam keadaan kurang baik. Beberapa sekat kanal tidak berada di lokasi gambut.

Lebih lanjut, kegiatan penanaman tanaman asli gambut belum optimal dilakukan. Penanaman tanaman seperti gelam dan ramin mestinya dilakukan paska pembasahan kembali. Kegiatan ini dilakukan agar tanaman tersebut mampu membantu mempertahankan kebasahan gambut.

Kegiatan revitalisasi mata pencaharian juga belum optimal mencegah warga melakukan aktivitas yang bisa mengeringkan gambut. Diperlukan penelitian spesifik di setiap ekosistem gambut (KHG-kesatuan hidrologis gambut) tentang kegiatan masyarakat yang memicu degradasi gambut, sehingga kegiatan revitalisasi bisa fokus mengurangi pemicu tersebut.

Tanpa revitalisasi, daerah yang sudah direstorasi akan mudah rusak kembali. Daerah yang sedang direstorasi harus benar-benar terjaga untuk memastikan proses pemulihan ekosistem gambut berdampak, hingga puluhan tahun.

Keterlibatan aktor lokal melalui Desa Peduli Gambut

Tiga kegiatan restorasi gambut–rewetting, revegetasi, dan revitalisasi–wajib dilakukan secara terintegrasi apabila gambut yang rusak berada dalam atau dekat dengan area masyarakat.

Salah satu cara integrasi yang diterapkan oleh BRG adalah membentuk Desa Peduli Gambut pada tahun 2017 silam, di tujuh provinsi prioritas.