Mengapa Karhutla Masih Kerap Terjadi Meski Sudah Restorasi?

By National Geographic Indonesia, Senin, 30 September 2019 | 10:07 WIB
Kebakaran hutan di Palangkaraya. (Kurnia Tarigan/Kompas.com)

Desa Peduli Gambut ini idealnya menjadi ujung tombak dari pemulihan lahan gambut. Masyarakat yang tinggal di sekitar Desa Peduli Gambut diharapkan memiliki pemahaman mengenai pengelolaan gambut yang ramah lingkungan.

Desa Peduli Gambut diharapkan mendukung aktivitas restorasi dan bisa memfasilitasi kerja sama desa dengan perusahaan pemilik konsesi untuk restorasi ekosistem gambut.

Singkatnya, ia menjamin restorasi gambut terus dilakukan oleh para pemangku kepentingan lokal secara mandiri dan terintegrasi.

Sejauh ini, beberapa Desa Peduli Gambut, contohnya di Kecamatan Kayu Agung, Kabupaten Ogan Komering Ilir, Sumatra Selatan sudah berhasil memulai perencanaan tata ruang desa, pemberdayaan ekonomi, penguatan pengetahuan lokal dan kesiapsiagaan masyarakat desa dalam menghadapi bencana kebakaran gambut.

Perlunya sinergi dan koordinasi antar pemegang kepentingan

Berdasarkan penelitian kami, salah satu penghambat integrasi kegiatan restorasi berbasis ekosistem adalah adanya perbedaan kepentingan antara pemegang mandat restorasi (pemerintah daerah dan BRG) dan pengelola lahan (masyarakat dan konsesi perusahaan).

Sebagai contoh, BRG membuat riset perencanaan restorasi berbasis ekosistem yang memerlukan survei lapangan ke lahan perusahaan, tapi perusahaan menolak survei tersebut. Kemampuan negosiasi lintas institusi dan lintas kepentingan diperlukan.

Persoalan klasik kerja sama antar institusi, atau ego sektoral, juga masih membayangi proses pemulihan lahan gambut di Indonesia.

Dalam cakupan yang lebih luas, hal ini kami lihat dari persoalan pembagian tugas dan koordinasi yang belum optimal antara BRG, KLHK, pemerintah daerah dan perusahaan.

Hal ini disebabkan oleh tidak ada panduan regulasi dan penegakannya di tingkat nasional, provinsi, kabupaten, hingga tingkat desa, agar jajaran pemerintahan dan perusahaan berkordinasi dan bekerja sama dalam perencanaan restorasi berbasis ekosistem dan bekerja sesuai dengan tugas dan wilayah kelola masing-masing.

Kami memandang penting perlunya transfromasi tata kelola dalam bentuk panduan regulasi atau SOP agar restorasi gambut menggunakan pendekatan ekosistem yang melibatkan stakeholder lintas desa dan kecamatan, serta perusahaan.

Hal lainnya adalah pentingnya sinergi antara BRG, KLHK, pemerintah daerah dan pemangku kepentingan lainnya dalam pengelolaan gambut ramah lingkungan dan berbasis ekosistem yang lintas batas desa dan lintas fungsi kawasan.

Koordinasi dan kolaborasi efektif dari seluruh pemangku kepentingan, dari tingkat daerah hingga pusat, mulai dari tahap perencanaan, implementasi, sampai monitoring berbasis ekosistem, akan menurunkan risiko kebakaran hutan dan lahan terjadi lagi di masa mendatang.

Penulis: Ibnu Budiman, Researcher on environmental policy and governance, World Resources Institute. Anyta Tamrin, peneliti dari Wetlands Internasional Indonesia, turut berkontribusi dalam penulisan artikel ini.

Tulisan ini mencerminkan argumen pribadi, tidak mewakili institusi.

Catatan editor : Artikel ini telah diperbarui untuk memasukkan data tambahan.

Artikel ini terbit pertama kali di The Conversation. Baca artikel sumber.