Nationalgeographic.co.id - Badan Restorasi Gambut (BRG) dan Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) sejak 2016 telah diberikan mandat untuk melakukan restorasi lahan gambut untuk mencegah kebakaran hutan dan lahan di Indonesia.
Lahan gambut di Indonesia terdegradasi dan mengering akibat terbakar hebat di 2015. Maka itu, upaya pemulihan gambut yang implementasinya berlangsung sejak 2017 diharapkan dapat mengembalikan kelembaban ekosistem gambut paling dini pada 2020 dan mencegah kebakaran selanjutnya.
Menurut riset, indikasi dampak dari restorasi gambut baru bisa dilihat dalam tiga tahun setelah restorasi.
Namun di 2019, kebakaran masih saja terjadi, termasuk di beberapa wilayah yang sedang direstorasi.
Lebih dari 90 persen titik pemantauan tinggi muka air lahan gambut di tujuh provinsi prioritas restorasi menunjukkan kekeringan.
Sehabis melakukan sidang rapat terbatas di Pekanbaru, Riau, 16 September 2019, Presiden Joko “Jokowi” Widodo mengakui bahwa Indonesia lalai dalam menangani kebakaran hutan dan lahan tahun ini.
Mengapa lahan gambut yang sudah direstorasi masih kering dan terbakar?
Berdasarkan penelitian kami, persoalan infrastruktur hingga kurangnya kerja sama antar semua pemegang kepentingan menjadi salah satu penyebab dari gagalnya atau belum efektifnya pemulihan ekosistem gambut.
Kenapa masih terbakar?
Sesudah kebakaran hebat pada tahun 2015, kebijakan pemerintah Indonesia di sektor kehutanan fokus kepada pemulihan gambut, salah satunya adalah menetapkan pembentukan Badan Restorasi Gambut (BRG) di 2016.
Bersama dengan KLHK, badan ini memiliki mandat untuk melakukan restorasi sekitar dua juta hektare lahan gambut di tujuh provinsi prioritas–Riau, Jambi, Sumatra Selatan, Kalimantan Barat, Kalimantan Tengah, Kalimantan Selatan, dan Papua–hingga 2020.
Restorasi gambut yang dilakukan oleh BRG mencakup tiga kegiatan yaitu pembangunan sekat kanal (rewetting) untuk membasahi kembali lahan gambut yang mengering, penanaman kembali jenis tanaman ramah gambut (revegetation), dan revitalisasi mata pencaharian masyarakat setempat.
Hingga tahun 2018, BRG memperkirakan sudah merestorasi sekitar 700 ribu hektare gambut.
Untuk indikator pemulihan lahan gambut, pemerintah menetapkan beberapa kriteria antara lain minimal 0.4 meter untuk tinggi muka air (ground water level) di gambut dan revegetasi seluas 500 hektare di tahun ketiga setelah penanaman.
Namun, kebakaran hutan dan lahan kini melanda kembali. Platform Global Forest Watch mendeteksi 7971 titik panas per tanggal 11 September 2019 berlokasi di lahan gambut.
Kebakaran hutan dan lahan terjadi di tujuh provinsi restorasi–Riau, Jambi, Sumatra Selatan, Kalimantan Barat, Kalimantan Tengah, Kalimantan Selatan, dan Papua–dengan luasan mencapai 162.273 hektare (seperti yang ditunjukkan dalam gambar berikut). Masih belum bisa dipastikan berapa luasan wilayah gambut yang telah direstorasi dan terbakar kembali.
Kebakaran gambut paling luas terjadi di Riau (40.553 hektare), Kalimantan Tengah (24.883 hektare), dan Kalimantan Barat (10.025 hektare).
Beberapa dari titik api tersebut terjadi di lahan gambut yang telah direstorasi oleh BRG di Riau dan Kalimantan Tengah.
Di beberapa wilayah, lahan gambut yang sudah direstorasi masih mengering. Ini karena kegiatan restorasi yang belum terintegrasi dengan basis ekosistem gambut.
Dalam hal rewetting , kualitas beberapa infrastruktur seperti sekat kanal yang yang telah difasilitasi oleh BRG dan perusahaan di Kabupaten Ogan Komering Ilir, Sumatera Selatan, ditemukan dalam keadaan kurang baik. Beberapa sekat kanal tidak berada di lokasi gambut.
Lebih lanjut, kegiatan penanaman tanaman asli gambut belum optimal dilakukan. Penanaman tanaman seperti gelam dan ramin mestinya dilakukan paska pembasahan kembali. Kegiatan ini dilakukan agar tanaman tersebut mampu membantu mempertahankan kebasahan gambut.
Kegiatan revitalisasi mata pencaharian juga belum optimal mencegah warga melakukan aktivitas yang bisa mengeringkan gambut. Diperlukan penelitian spesifik di setiap ekosistem gambut (KHG-kesatuan hidrologis gambut) tentang kegiatan masyarakat yang memicu degradasi gambut, sehingga kegiatan revitalisasi bisa fokus mengurangi pemicu tersebut.
Tanpa revitalisasi, daerah yang sudah direstorasi akan mudah rusak kembali. Daerah yang sedang direstorasi harus benar-benar terjaga untuk memastikan proses pemulihan ekosistem gambut berdampak, hingga puluhan tahun.
Keterlibatan aktor lokal melalui Desa Peduli Gambut
Tiga kegiatan restorasi gambut–rewetting, revegetasi, dan revitalisasi–wajib dilakukan secara terintegrasi apabila gambut yang rusak berada dalam atau dekat dengan area masyarakat.
Salah satu cara integrasi yang diterapkan oleh BRG adalah membentuk Desa Peduli Gambut pada tahun 2017 silam, di tujuh provinsi prioritas.
Desa Peduli Gambut ini idealnya menjadi ujung tombak dari pemulihan lahan gambut. Masyarakat yang tinggal di sekitar Desa Peduli Gambut diharapkan memiliki pemahaman mengenai pengelolaan gambut yang ramah lingkungan.
Desa Peduli Gambut diharapkan mendukung aktivitas restorasi dan bisa memfasilitasi kerja sama desa dengan perusahaan pemilik konsesi untuk restorasi ekosistem gambut.
Singkatnya, ia menjamin restorasi gambut terus dilakukan oleh para pemangku kepentingan lokal secara mandiri dan terintegrasi.
Sejauh ini, beberapa Desa Peduli Gambut, contohnya di Kecamatan Kayu Agung, Kabupaten Ogan Komering Ilir, Sumatra Selatan sudah berhasil memulai perencanaan tata ruang desa, pemberdayaan ekonomi, penguatan pengetahuan lokal dan kesiapsiagaan masyarakat desa dalam menghadapi bencana kebakaran gambut.
Perlunya sinergi dan koordinasi antar pemegang kepentingan
Berdasarkan penelitian kami, salah satu penghambat integrasi kegiatan restorasi berbasis ekosistem adalah adanya perbedaan kepentingan antara pemegang mandat restorasi (pemerintah daerah dan BRG) dan pengelola lahan (masyarakat dan konsesi perusahaan).
Sebagai contoh, BRG membuat riset perencanaan restorasi berbasis ekosistem yang memerlukan survei lapangan ke lahan perusahaan, tapi perusahaan menolak survei tersebut. Kemampuan negosiasi lintas institusi dan lintas kepentingan diperlukan.
Persoalan klasik kerja sama antar institusi, atau ego sektoral, juga masih membayangi proses pemulihan lahan gambut di Indonesia.
Dalam cakupan yang lebih luas, hal ini kami lihat dari persoalan pembagian tugas dan koordinasi yang belum optimal antara BRG, KLHK, pemerintah daerah dan perusahaan.
Hal ini disebabkan oleh tidak ada panduan regulasi dan penegakannya di tingkat nasional, provinsi, kabupaten, hingga tingkat desa, agar jajaran pemerintahan dan perusahaan berkordinasi dan bekerja sama dalam perencanaan restorasi berbasis ekosistem dan bekerja sesuai dengan tugas dan wilayah kelola masing-masing.
Kami memandang penting perlunya transfromasi tata kelola dalam bentuk panduan regulasi atau SOP agar restorasi gambut menggunakan pendekatan ekosistem yang melibatkan stakeholder lintas desa dan kecamatan, serta perusahaan.
Hal lainnya adalah pentingnya sinergi antara BRG, KLHK, pemerintah daerah dan pemangku kepentingan lainnya dalam pengelolaan gambut ramah lingkungan dan berbasis ekosistem yang lintas batas desa dan lintas fungsi kawasan.
Koordinasi dan kolaborasi efektif dari seluruh pemangku kepentingan, dari tingkat daerah hingga pusat, mulai dari tahap perencanaan, implementasi, sampai monitoring berbasis ekosistem, akan menurunkan risiko kebakaran hutan dan lahan terjadi lagi di masa mendatang.
Penulis: Ibnu Budiman, Researcher on environmental policy and governance, World Resources Institute. Anyta Tamrin, peneliti dari Wetlands Internasional Indonesia, turut berkontribusi dalam penulisan artikel ini.
Tulisan ini mencerminkan argumen pribadi, tidak mewakili institusi.
Catatan editor : Artikel ini telah diperbarui untuk memasukkan data tambahan.
Artikel ini terbit pertama kali di The Conversation. Baca artikel sumber.