Nationalgeographic.co.id—Tren limbah makanan di Bulan Puasa sungguh mengkhawatirkan. Bagaimana mungkin hal ini bisa terjadi? "Itu berpengaruh pada perubahan gaya hidup masyarakat karena lapar mata saat berpuasa," kata Eva Bachtiar.
Setahun silam, ungkap Eva, pembelian makanan meningkat 50 persen. Sementara itu jumlah limbah makanan di tempat pembuangan akhir telah meningkat sampai 20 persen dari periode pada tahun sebelumnya.
Eva Bachtiar merupakan salah satu pendiri Garda Pangan. Yayasan ini sudah terdaftar secara resmi pada 2018, tujuannya pada penyelamatan makanan berlebih.
Sebelum Garda Pangan terbentuk Eva dan lainya melakukan sebuah survei sepanjang 22 Agustus sampai 4 September 2017 di Surabaya. Hasil memperlihatkan 92 persen publik yakin makanan itu harus dihabiskan. Sedangkan 8 persen publik mengatakan tidak mengapa bila tidak dihabiskan.
Namun hal ini belum tentu dipraktekkan dalam kehidupan nyata, demikian menurut Eva saat menyampaikan dalam diskusi daring Inspirasi Perempuan Untuk Perubahan Lingkungan.
Diskusi ini digelar oleh National Geographic Indonesia dan Saya Pilih Bumi. Sepanjang tahun ini, bingkai kuning akan mengampanyekan #PerempuanUntukPerubahan dan #BerbagiCerita. Gagasan baru ini dikemas dalam diskusi daring pada 25-26 April 2020. Enam perempuan bercerita tentang gagasan dan upayanya mewujudkan Bumi yang lebih baik.
Bagi warga yang bersantap di rumah, sebanyak 54 persen cenderung menghabiskan makanan dan 46 persen cenderung menyisakan makanan. Bagi warga yang bersantap di luar, 40 persennya memilih menghabiskan makanan, sedangkan 60 persen menyisakan makanan.
"Pada makanan yang tidak habis itu ada yang dibungkus, di donasikan, dimakan nanti, atau dibuang begitu saja. Inilah yang menjadi limbah makanan," ucap Eva.
Selain itu, dia memaparkan bahwa Indonesia adalah negara sampah makanan makanan terbesar kedua di dunia setelah Arab Saudi. Rata-rata satu orang Indonesia bisa membuang 300 kilogram makanan.
Limbah makanan berdampak pada kerugian ekonomi, demikian hemat Eva. Jika limbah makanan bertumpuk di TPA, akan menghasilkan metana. Sebesar 23 persennya berkontribusi terhadap pemanasan global. Sementara di sisi lain, 19,4 juta orang Indonesia masih berjuang terhadap kelaparan. "Itulah cikal bakal Garda Pangan. Mengalokasikan makanan yang terbuang kepada orang yag membutuhkan," tuturnya
Baca Juga: DK Wardhani: Melindungi Lingkungan dengan Rumah Tangga Minim Sampah
Kegiatan Garda Pangan seperti ialah penyelamatan makanan. Kegiatan ini berupaya sebagai penyelamatan surplus makanan yang dihasilkan oleh industri dari potensi terbuang.
Makanan berlebih tersebut akan diperiksa kembali kualitasnya, dikemas ulang, lalu dibagikan kepada masyarakat pra-sejahtera di Surabaya.
Untuk menjalankan kegiatan tersebut, Garda Pangan melakukan kerja sama dengan mitra-mitra dari kalangan restoran, hotel, bakery, kafe, rumah makan, katering, dan industri makanan lainnya.
Penyelamatan makanan (food rescue) dilakukan setiap harinya dengan menjemput makanan yang tidak terjual dari mitra, untuk didistribusikan kepada masyarakat yang membutuhkan. Penyelamatan ini terbagi menjadi dua dari industri hospitality dan bisnis makanan. "Kita jalan setiap hari, kita pick up makanan mereka setiap hari yang masih layak makan. Kita ambil dari mitra kita."
Ketika sebuah perhelatan digelar—pesta pernikahan, konferensi, festival—Garda Pangan akan bersiap. Komunitas ini akan menjemput makanan dan mendistribusikan ke masyarakat kurag sejahtera.
"Orang-orang yang mendapat dipastikan tepat sasaran. Terdiri dari 25 kampung kurang sejahtera, yatim piatu, janda, dan lansia, anak jalanan, dan lainya," ucap Eva.
Garda Pangan melakukan kurasi pada mitra untuk segala jenis makanan yang lebih. untuk meyakinkan mitra kita butuh proses yang panjang. Mitra juga punya banyak perhatian, jika orang keracunan dengan makananya ataupun makanan yang dijual kembali.
Cara Garda Pangan meyakinkan itu ialah laporan yang transparan tentang berapa makanan yang dikumpulkan dan memastikan makanan tidak dijual kembali.
"Kita juga menerapkan SOP untuk kurasi makanan sebelum di distribusikan. Kita tinggal melihat secara fisik dan testing sedikit. Karena makanan jika tidak layak akan tampak," tutur Eva.
Baca Juga: Meniru Gaya Hidup Nol Sampah Tanpa Menggurui Ala Maurilla Imron
Eva memberikan kiat kepada kita untuk mengurangi sampah makanan, yang didasarkan pada hierarki makanan.
Pertama, kurangi limbah makanan. Seperti munggunakan perencanaan kebutuhan makan atau meal preparation. Dia juga menambahkan bahwa perencanaan kebutuhan makanan dapat mengurangi limbah makanan secara signigikan. "Kita sudah persiapkan akan makan apa selama tiga sampai empat hari ke depan. Dari sana kita tahu bahan apa yang kita butuhkan dan belanja sesuai dengan list itu," tutur Eva.
Kedua, pengaturan kulkas. Beberapa buah dapat mengeluarkan zat etilen yang mempercepat kematangan sayur di sekitarnya. Jadi, Eva menyarankan, sayur dan buah harus dipisah agar bisa bertahan dengan lama. Kita pun harus lebih waspada dengan tanggal kedaluarsa.
Ketiga, jangan buang si buruk rupa. Kadangkala, supermarket dan hotel menerapkan penampilan tertentu bagi sajian sayur atau buahnya. Sayur dan buah yang tak lagi menarik, akan disingkirkan—menimbulkan sampah. Selain kita harus mengetahui porsi makanan kita sendiri, demikian kiat Eva, hindari untuk membuang buah yang tampilannya sudah tidak menarik lagi.
Sebagai penutup, Eva juga menjelaskan bahwa tren limbah makanan di Bulan Puasa sungguh mengkhawatirkan. Setahun silam, sebelum pandemi, pembelian makanan meningkat 50 persen. Sementara itu jumlah limbah makanan di tempat pembuangan akhir telah meningkat sampai 20 persen dari periode pada tahun sebelumnya. "Itu berpengaruh pada perubahan gaya hidup masyarakat karena lapar mata saat berpuasa."
Titania Febrianti, Contributing Editor National Geographic Indonesia, menuturkan simpulan pada sesi ini. "Kita harus ingat," ujarnya, "kita itu membuang 300 kilogram makanan setiap tahun untuk setiap orang." Persoalan makanan sisa, bukan hanya menimbulkan pemborosan, tapi juga merugikan Bumi. Seharusnya, kita bisa lebih hemat apabila kita merencanakan menu bersantap dengan baik dan menyimpannya pula dengan baik.
"Usaha yang kita lakukan dari diri sendiri itu amat berarti untuk lingkungan, seberapapun kecilnya," pungkas Titania.