Aspek Mesianik dalam Riwayat Pagebluk Kita: Akankah Berulang?

By Mahandis Yoanata Thamrin, Minggu, 24 Mei 2020 | 20:38 WIB
Merapi, Erupsi Kala Malam, karya Raden Saleh pada 1865. (Raden Saleh/National Gallery Singapore)

Paceklik mulai melanda di sebagian daerah di Jawa. Kurangnya pasokan pangan ini akibat sawah-sawah yang dipaksa berubah menjadi kebun tebu, yang diperburuk datangnya musim kemarau panjang.

Juni 1821, laporan dari Surabaya menunjukkan sejumlah 76 orang tewas dalam sehari pada pertengahan bulan. Dilaporkan juga bahwa di Pacitan, kawasan di pesisir selatan Jawa, setiap hari ada saja petani yang tewas karena pagebluk kolera. Laporan dari Surakarta bahwa terjadi lonjakan korban mencapai 70 orang tewas dalam sehari pada akhir bulan itu.

Mei-Juni 1821, kolera berjangkit parah justru saat bulan Ramadan di musim kemarau yang berkepanjangan dan langkanya bahan pangan. Situasi inilah yang menyebabkan imun tubuh jatuh ke titik terendah sehingga pagebluk ini mudah menjumpai korbannya.

Sebuah litograf yang menggambarkan pesisir utara Semarang, Jawa. Cetakan itu berasal dari lukisan Franz Wilhelm Junghuhn (1809-1864), seorang dokter Jerman, naturalis, penjelajah, dan ahli bedah Legiun Asing Prancis yang menghabiskan bertahun-tahun di Jawa. (Tropenmuseum)

Huibert Gerard baron Nahuys van Burgst menerbitkan surat perintah kepada warga untuk jangan berpuasa karena pagebluk kolera. Dia adalah Residen Yogyakarta (1816-1822) dan Pejabat Residen Surakarta (1820-1822).

Tampaknya, saat itu warga tidak mengindahkan. Pagebluk bagi masyarakat Jawa adalah kekuatan jahat yang muncul karena perilaku masyarakatnya. Pagebluk bisa semacam kutukan atau hukuman dari Sang Penguasa semesta berupa wabah. Bisa jadi, kenaikan korban disebabkan keyakinan orang Jawa bahwa Ramadan merupakan bulan yang tepat untuk berdoa bersama-sama demi mengenyahkan pagebluk kendati kondisi tubuh rentan. Hasilnya, pagebluk kolera justru memakan banyak korban pada bulan paling suci.

Tanggapan Sunan Pakubuwana V terkait pagebluk kolera di Surakarta adalah menugaskan santri-santri keratonnya untuk membersihkan makam leluhur makam Sunan Amangkurat I di pesisir utara Jawa dan tempat-tempat keramat lainnya.

Kita tentu khawatir pola peristiwa ini berulang pada pagebluk korona. Faktanya, saat Ramadan justru pagebluk korona menghebat di penjuru Indonesia. Boleh jadi, kita tidak benar-benar menerapkan himbauan untuk menjaga jarak dan disiplin dalam sanitasi. Namun bisa juga karena sebagian dari kita tetap beribadah berjamaah di luar rumah atau aktivitas pulang kampung.

Hasilnya, pada minggu terakhir Ramadan, 21 Mei 2020, negeri ini mendapat tambahan 973 kasus baru untuk warga yang terinfeksi korona di Indonesia. Tambahan terbesar sepanjang berjangkitnya pagebluk korona di Indonesia. Akibatnya, total warga yang terinfeksi menjadi 20.162 kasus.

Kita patut khawatir sekali lagi tentang arus mudik yang memancar dari Jakarta ke kota-kota di seantero Jawa. Hasrat warga untuk mengunjungi keluarga atau leluhur mereka saat lebaran—dalih ibadah atau tradisi—justru bisa memperburuk korban pagebluk korona.

Baca Juga: Karut-Marut Pagebluk Pes Pertama di Hindia Belanda

Huibert Gerard Baron Nahuys van Burgst (1782-1858). Anggota Dewan Hindia Belanda, dalam seragam mayor jenderal titular. Dia pernah menjabat sebagai Residen Yogyakarta dan Pejabat Residen Surakarta. (Bastiaan de Poorter/Rijksmuseum)