Aspek Mesianik dalam Riwayat Pagebluk Kita: Akankah Berulang?

By Mahandis Yoanata Thamrin, Minggu, 24 Mei 2020 | 20:38 WIB
Merapi, Erupsi Kala Malam, karya Raden Saleh pada 1865. (Raden Saleh/National Gallery Singapore)

Agustus 1821, gelombang utama kolera sudah mereda. Namun Jawa Timur masih bergejolak, terutama Surabaya, Madura, dan kawasan ‘tapal kuda’. Sejumlah tujuh persen populasi, atau sekitar 110.000 warganya, tewas karena pagebluk.

Januari-Februari 1822, pagebluk kolera melahirkan pemberontakan Pangeran Dipasana, seorang putra Sultan Hamengkubuwana I. Dia menghimpun para perampok untuk memberontak dan melawan Belanda dan orang-orang Tionghoa di Kedu dan selatan Yogyakarta. Namun, pemberontakan ini cepat dipadamkan. Akhirnya, Dipasana menjalani hukuman pengasingan di Ambon.

Desember 1822, Gunung Merapi bererupsi dahsyat pada 27-30 Desember. Laharnya menerjang empat desa dan menggilas 100 jiwa. Orang Jawa memandangnya sebagai gunung keramat yang tengah memberikan pertanda.

Pada 28 Desember, Asisten-Residen Yogyakarta Robbert Christiaan Nicolaas d’Abo, sekitar pukul dua Merapi meletus dahsyat yang sebelumnya didahului rentetan letusan malam sebelumnya. Bebatuan sebesar buah kelapa terlempar sejauh 12 kilometer. Catatan Residen Kedu, aliran lahar membara tampak meleleh menuju arah Kedu, yang diikuti letusan besar dan asap hitam. Hujan abu dan pasirnya mencapai sisi baratnya di kawasan Gunung Sumbing. Babad Dipanagara, biografi yang ditulis Pangeran Dipanagara selama pengasingannya di Manado, pun mencatat kedahsyatan erupsi Merapi secara deskriptif, yang disadarinya sebagai “kemalangan amarah Yang Maha Kuasa.”

Pagebluk, Paceklik, Gunung Meletus, dan Ramalan Ratu Adil

Peter Carey dalam Kuasa Ramalan, menyebutkan bahwa “Serangan penyakit seperti wabah kolera 1821 dan kerawanan sosial lainnya seperti tercermin membubungnya harga bahan pangan, pemerintah yang korup, penduduk desa yang menggelandang, [..] dalam hati rakyat tentu akan mudah dikaitkan dengan masa kacau atau jaman edan yang mendahului kedatangan Ratu Adil.”

Tradisi Jawa begitu meyakini Serat Jayabaya, sejarah ramalam Jawa yang membagi periode menjadi empat babak atau empat zaman. Dari zaman keemasan sampai zaman kegelapan atau zaman edan. Masa itu berakhir setelah kemunculan Ratu Adil yang membebaskan masyarakat Jawa. Kita bisa memandang ramalan ini sebagai dokumen budaya, namun sejatinya juga bisa sebagai dokumen sosial.

Baca Juga: Erupsi Tambora Memerahkan Mentari, Pelukis Eropa Menjadi Saksinya

Merapi, Erupsi Kala Siang, karya Raden Saleh pada 1865. (Raden Saleh/National Gallery Singapore)

Apabila kita kembali ke Serat Jayabaya, Ratu Adil akan muncul setelah peristiwa besar atau malapetaka di antaranya seperti pagebluk, bencana kelaparan, dan gunung meletus. Inilah aspek mesianik dalam pagebluk di Jawa.

Ratu Adil merupakan seorang raja yang akan membangun perdamaian dan keadilan semesta, atau sosok luar biasa yang mampu memimpin rakyatnya. Dalam sejarah, ramalan Jayabaya sangat dihormati dan diyakini tidak pernah gagal oleh orang Jawa—dari raja sampai ulama.

Pagebluk kolera melahirkan peristiwa pemberontakan, seperti pemberontakan Dipasana yang menjadi pendahuluan penting untuk pemberontakan Dipanagara yang lebih dikenal Perang Jawa (1825-1830). Dipanagara pun mengusung tema mesianik atau Ratu Adil semenjak dia menyematkan nama Herucakra pada namanya. Sejak Perang Jawa berakhir, Jawa tidak pernah lagi sama karena tatanan baru menggulung tatanan lama.