Aspek Mesianik dalam Riwayat Pagebluk Kita: Akankah Berulang?

By Mahandis Yoanata Thamrin, Minggu, 24 Mei 2020 | 20:38 WIB
Merapi, Erupsi Kala Malam, karya Raden Saleh pada 1865. (Raden Saleh/National Gallery Singapore)

Nationalgeographic.co.id— Saat kita menengok kembali sejarah pagebluk, kadang pagebluk muncul kembali dalam wajah yang berbeda namun pola sama. Bahkan, beberapa aspeknya seolah meledek kedunguan kita. Kita seolah mengulang cara-cara lama, sementara pada saat yang sama kita berharap mendapatkan hasil yang berbeda.

Jawa dilanda pagebluk kolera yang berjangkit hebat sepanjang 1821. Nyaris dua abad berikutnya, Jawa dilanda pagebluk korona pada awal 2020, dan segera meluas hingga ke kawasan lain di Nusantara. Pagebluk itu belum menunjukkan situasi yang mereda ketika saya menulis kisah ini.

Pagebluk kolera pada 1821 dan pagebluk korona 2020 memang berbeda penyebabnya, namun memiliki sederet pola yang nyaris sama. Saya tidak tahu apakah kita apes atau beruntung ketika harus menjadi bagian dari perulangan masa itu.

Pemicu pagebluk kolera di Asia mungkin berawal dari erupsi superkolosal Gunung Tambora pada April 1815. Letusannya berdampak pada perubahan cuaca global, yang memunculkan beragam pagebluk di penjuru dunia pada tahun berikutnya.

Baca Juga: Hoaks, Xenofobia, dan Rasialisme dalam Sejarah Pagebluk Indonesia

Lukisan bertajuk Gunung Tambora, abad ke-19, karya Rob Wood. (Rob Wood /St. Martins Press)

Pagebluk kolera tercatat mulai merajalela di India saat musim hujan pada 1817, dan membunuh 10.000 orang dalam beberapa minggu. Kolera adalah penyakit menular di saluran pencernaan yang disebabkan oleh bakteri Vibrio cholerae. Tiga tahun berikutnya, pandemi kolera menjangkiti Thailand, lalu berikutnya Hindia Belanda. Berjangkitnya pandemi itu terkait dengan kawasan-kawasan yang memiliki hubungan dagang langsung dengan India.

Untuk kasus Hindia Belanda, tampaknya para pelaut asal Pulau Penang dan Malaka tak sengaja membawa penyakit kolera ke Jawa. Pagebluk kolera mulai berjangkit di kota dagang dan pelabuhan Semarang pada awal 1821.

April 1821, sejumlah 1.225 orang tewas karena kolera di episentrum pandemi, Semarang. Kasus paling awal berjangkitnya kolera berasal dari Kampung Melayu di Terboyo.

Hotel du Pavillon, dengan jalan yang dinaungi tajuk-tajuk pohon asam di Kota Semarang pada 1888. Litografi oleh Michel Theophile Hubert Perelaer (1831-1901), seorang penulis Belanda. Litografi ini berdasar lukisan karya Jhr. J.C. Rappard. (Michel Theophile Hubert Perelaer/Jhr. J.C. Rappard. )

Kita bisa melihat pola yang mirip bahwa pagebluk kolera dan pagebluk korona memiliki episentrum di kota bisnis. Kedua kota itu terhubung dengan arus barang dan jasa baik regional maupun internasional. Artinya, kota-kota lain yang memiliki karakter sama, mungkin bisa lebih waspada.

Mei 1821, sepanjang pantai utara Jawa sudah terinfeksi kolera, dari Batavia sampai Surabaya. Laporan di Batavia, 156 orang tewas dalam sehari.

Paceklik mulai melanda di sebagian daerah di Jawa. Kurangnya pasokan pangan ini akibat sawah-sawah yang dipaksa berubah menjadi kebun tebu, yang diperburuk datangnya musim kemarau panjang.

Juni 1821, laporan dari Surabaya menunjukkan sejumlah 76 orang tewas dalam sehari pada pertengahan bulan. Dilaporkan juga bahwa di Pacitan, kawasan di pesisir selatan Jawa, setiap hari ada saja petani yang tewas karena pagebluk kolera. Laporan dari Surakarta bahwa terjadi lonjakan korban mencapai 70 orang tewas dalam sehari pada akhir bulan itu.

Mei-Juni 1821, kolera berjangkit parah justru saat bulan Ramadan di musim kemarau yang berkepanjangan dan langkanya bahan pangan. Situasi inilah yang menyebabkan imun tubuh jatuh ke titik terendah sehingga pagebluk ini mudah menjumpai korbannya.

Sebuah litograf yang menggambarkan pesisir utara Semarang, Jawa. Cetakan itu berasal dari lukisan Franz Wilhelm Junghuhn (1809-1864), seorang dokter Jerman, naturalis, penjelajah, dan ahli bedah Legiun Asing Prancis yang menghabiskan bertahun-tahun di Jawa. (Tropenmuseum)

Huibert Gerard baron Nahuys van Burgst menerbitkan surat perintah kepada warga untuk jangan berpuasa karena pagebluk kolera. Dia adalah Residen Yogyakarta (1816-1822) dan Pejabat Residen Surakarta (1820-1822).

Tampaknya, saat itu warga tidak mengindahkan. Pagebluk bagi masyarakat Jawa adalah kekuatan jahat yang muncul karena perilaku masyarakatnya. Pagebluk bisa semacam kutukan atau hukuman dari Sang Penguasa semesta berupa wabah. Bisa jadi, kenaikan korban disebabkan keyakinan orang Jawa bahwa Ramadan merupakan bulan yang tepat untuk berdoa bersama-sama demi mengenyahkan pagebluk kendati kondisi tubuh rentan. Hasilnya, pagebluk kolera justru memakan banyak korban pada bulan paling suci.

Tanggapan Sunan Pakubuwana V terkait pagebluk kolera di Surakarta adalah menugaskan santri-santri keratonnya untuk membersihkan makam leluhur makam Sunan Amangkurat I di pesisir utara Jawa dan tempat-tempat keramat lainnya.

Kita tentu khawatir pola peristiwa ini berulang pada pagebluk korona. Faktanya, saat Ramadan justru pagebluk korona menghebat di penjuru Indonesia. Boleh jadi, kita tidak benar-benar menerapkan himbauan untuk menjaga jarak dan disiplin dalam sanitasi. Namun bisa juga karena sebagian dari kita tetap beribadah berjamaah di luar rumah atau aktivitas pulang kampung.

Hasilnya, pada minggu terakhir Ramadan, 21 Mei 2020, negeri ini mendapat tambahan 973 kasus baru untuk warga yang terinfeksi korona di Indonesia. Tambahan terbesar sepanjang berjangkitnya pagebluk korona di Indonesia. Akibatnya, total warga yang terinfeksi menjadi 20.162 kasus.

Kita patut khawatir sekali lagi tentang arus mudik yang memancar dari Jakarta ke kota-kota di seantero Jawa. Hasrat warga untuk mengunjungi keluarga atau leluhur mereka saat lebaran—dalih ibadah atau tradisi—justru bisa memperburuk korban pagebluk korona.

Baca Juga: Karut-Marut Pagebluk Pes Pertama di Hindia Belanda

Huibert Gerard Baron Nahuys van Burgst (1782-1858). Anggota Dewan Hindia Belanda, dalam seragam mayor jenderal titular. Dia pernah menjabat sebagai Residen Yogyakarta dan Pejabat Residen Surakarta. (Bastiaan de Poorter/Rijksmuseum)

Agustus 1821, gelombang utama kolera sudah mereda. Namun Jawa Timur masih bergejolak, terutama Surabaya, Madura, dan kawasan ‘tapal kuda’. Sejumlah tujuh persen populasi, atau sekitar 110.000 warganya, tewas karena pagebluk.

Januari-Februari 1822, pagebluk kolera melahirkan pemberontakan Pangeran Dipasana, seorang putra Sultan Hamengkubuwana I. Dia menghimpun para perampok untuk memberontak dan melawan Belanda dan orang-orang Tionghoa di Kedu dan selatan Yogyakarta. Namun, pemberontakan ini cepat dipadamkan. Akhirnya, Dipasana menjalani hukuman pengasingan di Ambon.

Desember 1822, Gunung Merapi bererupsi dahsyat pada 27-30 Desember. Laharnya menerjang empat desa dan menggilas 100 jiwa. Orang Jawa memandangnya sebagai gunung keramat yang tengah memberikan pertanda.

Pada 28 Desember, Asisten-Residen Yogyakarta Robbert Christiaan Nicolaas d’Abo, sekitar pukul dua Merapi meletus dahsyat yang sebelumnya didahului rentetan letusan malam sebelumnya. Bebatuan sebesar buah kelapa terlempar sejauh 12 kilometer. Catatan Residen Kedu, aliran lahar membara tampak meleleh menuju arah Kedu, yang diikuti letusan besar dan asap hitam. Hujan abu dan pasirnya mencapai sisi baratnya di kawasan Gunung Sumbing. Babad Dipanagara, biografi yang ditulis Pangeran Dipanagara selama pengasingannya di Manado, pun mencatat kedahsyatan erupsi Merapi secara deskriptif, yang disadarinya sebagai “kemalangan amarah Yang Maha Kuasa.”

Pagebluk, Paceklik, Gunung Meletus, dan Ramalan Ratu Adil

Peter Carey dalam Kuasa Ramalan, menyebutkan bahwa “Serangan penyakit seperti wabah kolera 1821 dan kerawanan sosial lainnya seperti tercermin membubungnya harga bahan pangan, pemerintah yang korup, penduduk desa yang menggelandang, [..] dalam hati rakyat tentu akan mudah dikaitkan dengan masa kacau atau jaman edan yang mendahului kedatangan Ratu Adil.”

Tradisi Jawa begitu meyakini Serat Jayabaya, sejarah ramalam Jawa yang membagi periode menjadi empat babak atau empat zaman. Dari zaman keemasan sampai zaman kegelapan atau zaman edan. Masa itu berakhir setelah kemunculan Ratu Adil yang membebaskan masyarakat Jawa. Kita bisa memandang ramalan ini sebagai dokumen budaya, namun sejatinya juga bisa sebagai dokumen sosial.

Baca Juga: Erupsi Tambora Memerahkan Mentari, Pelukis Eropa Menjadi Saksinya

Merapi, Erupsi Kala Siang, karya Raden Saleh pada 1865. (Raden Saleh/National Gallery Singapore)

Apabila kita kembali ke Serat Jayabaya, Ratu Adil akan muncul setelah peristiwa besar atau malapetaka di antaranya seperti pagebluk, bencana kelaparan, dan gunung meletus. Inilah aspek mesianik dalam pagebluk di Jawa.

Ratu Adil merupakan seorang raja yang akan membangun perdamaian dan keadilan semesta, atau sosok luar biasa yang mampu memimpin rakyatnya. Dalam sejarah, ramalan Jayabaya sangat dihormati dan diyakini tidak pernah gagal oleh orang Jawa—dari raja sampai ulama.

Pagebluk kolera melahirkan peristiwa pemberontakan, seperti pemberontakan Dipasana yang menjadi pendahuluan penting untuk pemberontakan Dipanagara yang lebih dikenal Perang Jawa (1825-1830). Dipanagara pun mengusung tema mesianik atau Ratu Adil semenjak dia menyematkan nama Herucakra pada namanya. Sejak Perang Jawa berakhir, Jawa tidak pernah lagi sama karena tatanan baru menggulung tatanan lama.

Kabar Merapi di Awal Pagebluk Tahun Ini

Sejak awal tahun ini, Merapi telah bererupsi sebanyak delapan kali. Pusat Vulkanologi dan Mitigasi Bencana Geologi memberikan perincian kedelapan erupsi tersebut.

Gempa vulkanik dalam yang relatif tinggi dan aliran piroklastik tercatat di Merapi selama 30 Desember 2019 sampai 5 Januari 2020. Selama 7-12 Februari 2020 asap putih membubung 400 meter di atas kubah lava puncak Merapi. Laporan berikutnya, volume kubah lava puncak Merapi menurun setelah letusan 13 Februari yang menghasilkan asap setinggi dua kilometer, mengeluarkan material dalam jarak satu kilometer, dan menyebabkan abu dalam radius sepuluh kilometer. Warga diperingatkan untuk tetap berada di luar radius tiga kilometer.

Pada 2 Maret 2020, untuk pertama kali pemerintah Indonesia mengonfirmasi warganya yang terjangkit virus korona. Sebagian orang menghubungkannya dengan Merapi, yang kembali bererupsi pada 3 Maret. Asap yang membubung setinggi enam kilometer di atas tepi kawah, yang diikuti aliran piroklastik yang turun dari sisi tenggara kurang dari dua kilomter. Gumpalan abu melayang-layang hingga tersebar dalam jarak sepuluh kilometer di sisi utara hingga daerah Musuk dan Cepogo Boyolali.

Pada 27 Maret, Merapi kembali bererupsi selama tujuh menit. Abu membubung lima kilometer di atas tepi kawah dan aliran piroklastik. Abu jatuh dalam jarak 20 kilometer, terutama di daerah sisi barat, termasuk Mungkid dan Banyubiru.

Lava pijar dari kawah puncak Merapi kembali terlihat pada malam dan pagi hari selama 30 Maret sampai 5 April. Asap putih dengan kepadatan bervariasi naik setinggi 600 meter di atas puncak. Sebuah letusan pada 2 April menghasilkan asap yang naik tiga kilometer di atas puncak. Morfologi kubah lava di kawah puncak berubah sedikit. Penduduk diperingatkan untuk tetap berada di luar radius tiga kilometer. Kembali, Merapi meletus pada 10 April. Gumpalan abu naik setinggi tiga kilometer. Terakhir, selama 13-19 April, asap putih dengan kepadatan bervariasi naik setinggi 300 meter atas kawah yang terbentuk pada 10 April.

Balai Penyelidikan dan Pengembangan Teknologi Kebencanaan Geologi mengungkapkan bahwa erupsi tahun ini merupakan rangkaian erupsi sejak dua tahun sebelumnya. 

Baca Juga: Sebuah Kado Sial di Hari Ulang Tahun Dipanagara

Lukisan mahakarya Raden Saleh yang berkisah tentang suasana penangkapan Pangeran Dipanagara. (Raden Saleh/Koleksi Lukisan Istana Presiden )

Ong Hok Ham berkisah tentang ramalan Ratu Adil dalam bukunya bertajuk Wahyu yang Hilang Negeri yang Guncang. Menurutnya, “sejak 1830 sampai pergerakan nasional hampir tidak ada tahun yang terlewat tanpa timbul gerakan Ratu Adil di Jawa.” Namun, Ong menambahkan bahwa kemunculan pergerakan nasional pada awal abad ke-20 telah memberi peluang terciptanya saluran baru dalam aspirasi ketidakpuasan terhadap pemerintah kolonial. Akibatnya, gerakan Ratu Adil pun kemudian berkurang.

Sementara itu Peter Carey dalam Kuasa Ramalam mengungkapkan masih munculnya gerakan Ratu Adil pascaproklamasi kemerdekaan. “Selama perjuangan kemerdekaan Indonesia, 1945-1949," ungkapnya, "pengaruh ramalan tersebut masih terlihat di kawasan-kawasan di mana Dipanagara pernah bertempur.”

Peristiwa apakah yang terjadi setelah pagebluk korona? Ratu Adil? Entahlah, kita tentu tidak mengharapkan satu peristiwa buruk pun terjadi lagi di negeri ini. Tetapi saya yakin, pascapagebluk kita akan berada di tatanan kehidupan baru yang menggantikan cara-cara lama dan konservatif.

Pagebluk boleh jadi memiliki pola berulang. Ada kesempatan kedua bagi kita, namun bukan untuk kesalahan yang sama. Pada masa pagebluk ini tampaknya kita perlu menyikapi kembali makna sejati dari pesan seorang pujangga besar terakhir di Jawa, Ranggawarsita. “Sebesar apapun beruntungnya orang yang khilaf, masih lebih beruntung orang  yang sadar dan waspada.”