Rusaknya Habitat Hingga Perburuan Liar Jadi Tantangan Bagi Kelestarian Harimau

By Fathia Yasmine, Rabu, 17 Juni 2020 | 14:39 WIB
Seekor harimau sumatra saat dilepasliarkan ke habitatnya di salah satu kawasan konservasi. (Dwi Oblo/National Geographic Indonesia)

 

Nationalgeographic.co.id - Hutan dan keanekaragaman hayati merupakan dua hal yang tidak terpisahkan. Keduanya saling berkaitan dan  menjaga keseimbangan.

Namun, seiring dengan semakin modernnya dunia keseimbangan tersebut terusik. Kesadaran akan pentingnya melestarikan hutan dan keanekaragaman hayati di dalamnya semakin luntur. Tergerus oleh keinginan-keinginan manusia untuk menguasai, membangun, meraih banyak hal di dunia.

Kelestarian hutan dan keanekaragaman hayati di dalamnya tidak lagi terpelihara. Hutan semakin sempit dan satu per satu spesies hewan di dalamnya punah.

Indonesia sendiri telah kehilangan sejumlah luasan hutannya dan juga hewan liar yang penting untuk menjaga keseimbangan ekosistem. Salah satunya harimau.

Baca Juga: ‘Kota Hantu’ di Bawah Air Ini Bisa Terlihat Lagi Tahun Depan

Indonesia sejatinya adalah rumah bagi tiga sub spesies harimau yaitu harimau bali, harimau jawa, dan harimau sumatera.

Namun kini spesies yang tersisa hanya harimau sumatera saja. Statusnya pun terancam punah dengan populasi berkisar antara 400-600 ekor saja.

Kelangkaan harimau akan menjadi masalah besar bagi keseimbangan ekosistem. Ini karena mereka menduduki posisi tertinggi sebagai penjaga rantai makanan.

Ada banyak hal yang mengancam kelestarian harimau di Indonesia. Mulai dari rusaknya habitat, hingga persinggungan tempat hidup antara manusia dan harimau.

Baca Juga: Studi: Pandemi Membuat Kualitas Tidur Sebagian Orang Memburuk

Kondisi ini seringkali memicu konflik kepentingan dan hewan liar yang sejatinya adalah penghuni asli tempat hidup tersebut selalu menjadi korban.

Fakta ini dipaparkan oleh Wiratno, Perwakilan Dirjen KSDAE Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan RI pada webinar “SDG Virtual Talks: Pupusnya Pusparagam Kehidupan Bumi”, Jumat (5/6/2020) lalu.

Pada webinar yang diselenggarakan oleh National Geographic Indonesia bersama UNDP tersebut ia menyampaikan bahwa saat ini terdapat 6.202 desa yang berbatasan langsung dengan hutan liar, hutan lindung, hingga daerah konservasi.

Sayangnya, 27 hektare lahan konservasi belum cukup untuk melindungi hewan-hewan liar. Sekitar 50 persen hewan liar di Sumatera dan Kalimantan hidup di luar wilayah konservasi. Termasuk harimau.

Baca Juga: Keindahan Migrasi Puluhan Ribu Penyu yang Tertangkap Kamera Drone

“Di Riau paling banyak dalam 2 tahun terakhir, ada lebih dari 20 ekor harimau yang harus diselamatkan. Umumnya akibat jerat (sling baja) yang dipasang oleh orang tidak bertanggung jawab,” ujar Wiratno.

Tangan-tangan pemburu liar yang mengincar bagian-bagian tubuh harimau untuk diperjual belikan turut mengancam kelestarian hewan ini di area konservasi maupun di alam liar.

Perangkap berupa jerat seringkali disebar di setiap titik hutan sehingga sulit bagi harimau untuk menghindarinya. Wiratno menyampaikan hingga saat ini Tim Penyelamat Harimau Sumatera Kerinci Seblat (PHS-KS) sudah membersihkan 3.000 jerat harimau.

 “Satu ekor harimau sempat diselamatkan dari jerat di Sumatera Barat di tengah pandemi, tepatnya Maret lalu,” ujar Wiratno.

Baca Juga: Kisah Eksekusi Kapten Kidd, Bajak Laut yang Bekerja untuk Negara

Kasus lain yang tak kalah menyedihkan juga diceritakan Wiratno ketika penyelamatan Bukit Barisan, Sumatera. Sang Harimau terpaksa dilumpuhkan salah satu kakinya akibat jerat yang menjebak dirinya.

Perburuan liar jadi kasus terbanyak setelah peredaran narkoba

Field Manager Tim PHS-KS menceritakan hal senada. Ia mengatakan selain rusaknya habitat, perburuan menjadi ancaman terbesar bagi kelestarian harimau. Menurut temuannya di lapangan perburuan dan perdagangan satwa liar di daerah Sumatera masih sangat tinggi.

“Kasus perburuan liar menduduki peringkat keempat terbanyak setelah narkoba dengan total 4 triliun rupiah,” ujar  Nurhamidi.

Hal inilah, lanjut Nurhamidi, yang memotivasi Tim PHS-KS untuk tanpa henti berpatroli untuk mencegah perburuan. Selain itu, menginvestigasi kasus-kasus perburuan liar terhadap harimau sumatera.

Baca Juga: Foto-foto dari Penemuan Makam Tutankhamun Pada 1922 Dibuat Berwarna

“Kami memiliki informan dan menelusuri dari media sosial serta berita mengenai perburuan untuk menentukan lokasi patroli dan durasinya,” kata Nurhamidi.

Ia mengakui bahwa investigasi satu kasus perburuan liar tidaklah mudah. Investigasi haruslah dilakukan secara mendalam. Belum lagi dengan adanya jerat dari pemburu yang juga mengancam nyawa para anggota tim patroli.

“Pernah ada satu kejadian, 4 tim patroli semuanya terkena jerat ketika bertugas,” kisah Nurhamidi.

Beruntungnya, patroli selama periode 2012-2019 membuahkan hasil dengan masih adanya temuan indikator keberadaan harimau dengan total 1.223 indikator. Hal ini ditandai dengan adanya tapak, goresan, kotoran, dan suara harimau di lokasi.

Baca Juga: Teknologi Machine Learning Bantu Selamatkan Pelestarian Orangutan

Merekam investigasi dan upaya PHS-KS dalam sebuah buku

Seluruh investigasi dan perjalanan Tim PHS-KS dalam menyelamatkan harimau sumatera dari perburuan liar menginspirasi seorang penulis, Agus Prijono, untuk mendokumentasikannya dalam sebuah buku berjudul Garda Harimau.

Ia tergerak untuk ikut dalam setiap kegiatan patroli rutin PHS-KS untuk merekam semua kegiatan penyelamatan harimau sumatera .

Buku tersebut diluncurkan pada “SDG Virtual Talks: Pupusnya Pusparagam Kehidupan Bumi” yang diselenggarakan bertepatan dengan Hari Lingkungan Hidup.  

Menggunakan konsep storytelling dan rekonstruksi, pembaca diajak untuk merasakan secara langsung kisah epik tentang suka duka dan perjuangan para tim pejuang Harimau dalam enam bab tulisan.

Baca Juga: Leonardo da Vinci Ubah Pemetaan dari Seni Menjadi Sains

“Kisah ini biasanya hanya diceritakan dari mulut ke mulut, tidak banyak yang tahu tentang perjuangan tim selama berada di lapangan,” ujar Agus.

Tidak hanya kegiatan PHS-KS, buku tersebut turut menceritakan bagaimana strategi, investigasi, hingga penegakan hukum yang dilakukan Kementrian Lingkungan Hidup dan Kehutanan bersama tim PHS-KS. Baik di dalam maupun di luar wilayah Taman Nasional Kerinci Seblat.