Bagaimana Laut Menyembuhkan Dirinya Sendiri Selama Pandemi?

By National Geographic Indonesia, Senin, 3 Agustus 2020 | 17:32 WIB
Jernihnya air laut di Gili Meno. (MasterLu/Getty Images/iStockphoto)

Di Hanauma Bay, Hawaii, AS, peneliti utama dari Coral Reef Ecology Lab, Hawaii Institute of Marine Biology, Ku’ulei Rodgers mengungkapkan optimismenya bahwa berkurangnya pengunjung di masa pandemi akan berdaampak bagus bagi ekosistem karena hampir 80% polusi di laut berasal dari aktivitas manusia.

Kenormalan baru yang ideal

Masih sulit untuk meneliti dampak COVID-19 secara langsung terhadap kesehatan laut mengingat begitu banyak faktor yang harus dipelajari, belum lagi masih terbatasnya pergerakan manusia.

Namun, ada sedikit gambaran bahwa ketidakhadiran manusia memberikan sedikit waktu bagi laut untuk menyembuhkan diri.

Ini karena laut memiliki mekanisme sendiri untuk memulihkan diri jika kita tahu apa yang menjadi penyebab stres pada ekosistem tersebut.

Memasuki “kenormalan baru” (New Normal), pemerintah seharusnya juga mempersiapkan cara berpikir manusia terhadap kesehatan laut.

Misalnya, tingkatkan edukasi wisatawan untuk tidak membuang sampah ke laut dan perbaiki cara snorkling atau menyelam yang baik.

Baca Juga: Riwayat Geologi Di Balik Kemolekan Danau Poso Sebagai Warisan Tektonik

Selanjutnya, pemerintah seharusnya bisa mendorong sektor pariwisata laut untuk mempraktikkan gaya hidup yang rendah karbon, seperti menggunakan sepeda, angkutan massal, menanam tumbuhan, dan mengurangi konsumsi dengan wadah yang tidak bisa dipakai ulang.

Perlu kita ingat laut memberikan kontribusi signifikan terhadap kesehatan manusia. Peneliti dari Woods Hole Oceanographic Institute bahkan menemukan bakteria laut yang sangat penting untuk mengidentifikasi COVID, AIDS, dan SARS.

Jadi, kenormalan baru seharusnya bisa membawa kita ke dalam kondisi di mana lingkungan dan manusia adalah satu sistem yang tidak terpisahkan, bukan saling menaklukkan.

Penulis: Noir Primadona Purba, Lecturer and Marine Reseacher, Universitas Padjadjaran

Artikel ini terbit pertama kali di The Conversation. Baca artikel sumber.