Nationalgeographic.co.id - Danau poso memiliki daya tariknya tersendiri. Tidak hanya dari sisi wisata, tetapi juga dari geologi yang dapat menceritakan asal mula terbentuknya danau secara tektonik.
Dahulu, Sulawesi sudah dikenal tidak hanya rempah namun juga hayati, fauna, dan geologinya.Yang lebih menarik bahwa Sulawesi terkenal akan bahan logamnya, itulah mengapa ia disebut “Sele’ Bassi (Bessi)” atau “pisau besi”, dinamakan oleh pelaut Portugis (Crawfurd, 1856).
Penamaan lainya ialah "Sula besi" berarti "Pulau besi" dan juga dapat berasal dari bahasa Portugis "Punta des Celebres" ~ "Tanjung Orang Terkenal" (Kribb & Kahin, 2004).
Baca Juga: Bahaya Olahraga Secara Berlebihan, Ini yang Bisa Terjadi Pada Tubuh
Latar belakang mengenai riwayat geologinya, Sulawesi merupakan bagian dari Gondwana. Ketika bumi merupakan satu daratan pangea pada 225 juta tahun yang lalu, Gondwana kemudian memisah ke arah selatan pada 135 juta tahun yang lalu.
"Bumi itu terdiri dari kerak atau lempeng. Bumi dulu dari Pangea lalu pecah. Bagi yang tinggal di Sulawesi merupakan pecahan Gondwana atau Australia. Kenapa ada hewan Australia di Sulawesi, sebagian percauya karena pecahan itu. Sulawesi bagian dari Gondwana. Secara geologi Sulawesi menjadi bagian penting perkembangan Indonesia timur," ucap peneliti geologi Earth Observatory of Singapore, Mansyursyah Surya Nugraha.
Poso memang daerah yang rawan gempa karena terdiri dari sesar aktif. "Dari zona sesar di Sulawesi hampir semuanya aktif. Walaupun dia kecil dia bisa menimbulkan longsor," kata Mansyursyah.
Demikian juga dengan Danau Poso, aktivitas geologi yakni tektonik lah yang membentuk danau tersebut.
Masyursyah melihat bahwasanya dahulu terdapat mega-thrust di Danau Poso. Bukti ini dilihat di Kuku-Panjoka dengan blueschist dan Greenschist yang bertabrakan.
Lalu ia menambahkan bahwasanya dahulu lembah di sekitar Danau Poso merupakan lautan. Karena ditemukanya fosil karang dan koral.
Source | : | Bincang Redaksi National Geographic Indonesia |
Penulis | : | Fikri Muhammad |
Editor | : | Mahandis Yoanata Thamrin |
KOMENTAR