Nationalgeographic.co.id - Sebelum masa pandemi COVID-19, kesehatan laut Indonesia sudah mengkhawatirkan.
Indeks kesehatan laut atau Ocean Health Index (OHI), yang dikembangkan oleh National Center for Ecological Analysis and Synthesis (NCEAS) dan Conservation International, menempatkan Indonesia pada peringkat 137 dari 221 negara pada tahun 2018, dengan total nilai 65 dari skala 100.
Nilai ini masih di bawah rata-rata kesehatan laut dunia yaitu 71.
Baca Juga: Saya Pilih Bumi: Mengenal 5 Aktivis Lingkungan Muda yang Menginspirasi
Namun, sejak pemberlakuan pembatasan fisik (physical distancing) untuk mencegah penyebaran coronavirus di Indonesia pada bulan Maret lalu ternyata memberikan kesempatan lingkungan untuk memulihkan diri secara alami.
Hal ini karena pembatasan pergerakan manusia mengurangi aktivitas manusia yang menghasilkan polusi dan merusak ekosistem laut.
Sebagai peneliti kelautan, observasi saya awal menemukan beberapa perubahan pada kondisi laut di Indonesia selama masa pandemi:
1) Kemunculan spesies
Berkurangnya aktivitas manusia di pantai dan laut memberikan waktu bagi pemulihan ekosistem dan biota secara alami.
Meski masih perlu penelitian lebih lanjut, sudah ada laporan kemunculan spesies laut ke daerah-daerah yang sebelumnya padat oleh kegiatan manusia.
Contohnya, kemunculan paus pembunuh atau Orca (Orcinus Orca) di Anambas, Kepulauan Riau. Kehadiran mereka sebelumnya sangat jarang di daerah tersebut.
Di Atlantik Utara, Michelle Fournet, peneliti dari Cornell University di Amerika Serikat menyatakan bahwa selama pandemi terjadi pengurangan drastis polusi suara yang berasal dari kapal yang lalu lalang dan aktivitas manusia lainnya yang mengganggu sensor spesies paus.
Hal tersebut mengakibatkan paus kembali menjelajah daerah yang sebelumnya padat oleh kegiatan pelayaran dan aktivitas di laut selama pandemi.
2) Pengasaman laut melambat
Beberapa laporan mengindikasikan bahwa adanya penurunan harian emisi karbon dioksida di atmosfer.
Banyak peneliti berargumen bahwa ini hanya dampak langsung dari penurunan drastis aktivitas manusia meski ada kemungkinan untuk naik kembali.
Namun, turunnya level karbon dioksida di atmosfer akan memperlambat proses pengasaman laut.
Laut yang memanas akibat meningkatnya gas rumah kaca, –karbon dioksida (CO₂), nitrogen dioksida (N₂O), metana (CH4), dan freon–, di atmosfer.
Ini akan meningkatkan tingkat keasaman laut dan menyebabkan pemutihan pada terumbu karang (coral bleaching) yang berujung kepada kematian karang dan spesies laut yang menjadikan terumbu karang rumah mereka.
Walaupun pertumbuhan karang tidak sampai 1 cm per tahun, pengurangan aktivitas turis diharapkan dapat mengurangi kerusakan karang dan memberi harapan untuk karang dapat tumbuh kembali.
Hal ini pernah terjadi di pantai Maya Bay, Kepulauan Phi Phi, Thailand pada tahun 2018.
Ketika itu pengelola pantai menutup lokasi wisata selama lebih dari 3 bulan untuk memperbaiki ekosistem terumbu karang yang rusak akibat kunjungan turis yang datang karena pantai tersebut menjadi lokasi syuting film, The Beach, yang dibintangi oleh Leonardo DiCaprio di tahun 2000.
Setelah penutupan, disertai dengan pengawasan ketat dari para peneliti kelautan, biota-biota laut, seperti hiu karang (Carcharhinus limbatus), mulai muncul kembali di daerah tersebut.
Salah satu ahli konservasi karang dari Malaysia, pendiri dan CEO Ocean Quest Global, sebuah NGO yang fokus terhadap konservasi terumbu karang, Annuar Abdullah, mengatakan bahwa yang terjadi di Pantai Maya Bay menunjukkan bahwa faktor absennya manusia akan mempercepat pemulihan alam secara alami.
Di Hanauma Bay, Hawaii, AS, peneliti utama dari Coral Reef Ecology Lab, Hawaii Institute of Marine Biology, Ku’ulei Rodgers mengungkapkan optimismenya bahwa berkurangnya pengunjung di masa pandemi akan berdaampak bagus bagi ekosistem karena hampir 80% polusi di laut berasal dari aktivitas manusia.
Kenormalan baru yang ideal
Masih sulit untuk meneliti dampak COVID-19 secara langsung terhadap kesehatan laut mengingat begitu banyak faktor yang harus dipelajari, belum lagi masih terbatasnya pergerakan manusia.
Namun, ada sedikit gambaran bahwa ketidakhadiran manusia memberikan sedikit waktu bagi laut untuk menyembuhkan diri.
Ini karena laut memiliki mekanisme sendiri untuk memulihkan diri jika kita tahu apa yang menjadi penyebab stres pada ekosistem tersebut.
Memasuki “kenormalan baru” (New Normal), pemerintah seharusnya juga mempersiapkan cara berpikir manusia terhadap kesehatan laut.
Misalnya, tingkatkan edukasi wisatawan untuk tidak membuang sampah ke laut dan perbaiki cara snorkling atau menyelam yang baik.
Baca Juga: Riwayat Geologi Di Balik Kemolekan Danau Poso Sebagai Warisan Tektonik
Selanjutnya, pemerintah seharusnya bisa mendorong sektor pariwisata laut untuk mempraktikkan gaya hidup yang rendah karbon, seperti menggunakan sepeda, angkutan massal, menanam tumbuhan, dan mengurangi konsumsi dengan wadah yang tidak bisa dipakai ulang.
Perlu kita ingat laut memberikan kontribusi signifikan terhadap kesehatan manusia. Peneliti dari Woods Hole Oceanographic Institute bahkan menemukan bakteria laut yang sangat penting untuk mengidentifikasi COVID, AIDS, dan SARS.
Jadi, kenormalan baru seharusnya bisa membawa kita ke dalam kondisi di mana lingkungan dan manusia adalah satu sistem yang tidak terpisahkan, bukan saling menaklukkan.
Penulis: Noir Primadona Purba, Lecturer and Marine Reseacher, Universitas Padjadjaran
Artikel ini terbit pertama kali di The Conversation. Baca artikel sumber.