Pagebluk Pinggang Sumbing: Tetap Maskeran Saat Upacara Grebeg Besaran

By National Geographic Indonesia, Selasa, 4 Agustus 2020 | 18:54 WIB
Warga dusun berdoa di mata air Kali Ringin di pinggang Sumbing, sebelum bersantap bersama dalam tradisi Grebeg Besar. (FERI LATIEF)

Oleh Feri Latief—Kontributor Foto untuk National Geographic Indonesia

Nationalgeographic.co.id—Hari Minggu pertama Agustus di pinggang Sumbing. Sepeda motor roda tiga biasanya mengangkut hasil pertanian. Namun, pagi itu sepeda motor tadi dipakai berkeliling Dusun Lamuk Legoksari dan Lamuk Gunung. Pengandaranya, seorang pemuda dengan menggunakan alat pengeras suara memberi pengumuman kepada penduduk dusun.

Dia salah satu dari 20 pemuda yang ditunjuk untuk menjadi anggota gugus tugas Covid-19. Gugus tugas itu dibentuk khusus untuk persiapan upacara adat. Dia meminta warga dusun yang menghadiri upacara Grebeg Besar untuk selalu bermasker. Tidak lupa pula dia mengingatkan warga untuk sering mencuci tangan di tempat yang telah disediakan.

Grebeg Besar adalah upacara adat di dusun itu yang setiap tahun tak putus diadakan dari sebelum Indonesia merdeka. Supaya warga desa yang hadir dalam upacara adat tetap aman dari penularan, maka diterapkanlah protokol masa pagebluk. Walau hari itu hanya satu orang yang terjangkit Covid-19 di Kecamatan Tlogomulyo, warga dusun tetap tak mau kecolongan.

Baca Juga: Mengenal Jaran Kepang Khas Temanggung Melalui Festival Sindoro Sumbing

Warga dusun peserta Grebeg Besar saling membantu mengenakan kostum untuk upacara adat. (FERI LATIEF)

“Satu bulan sebelum acara, biasanya setelah Idul Fitri, warga sudah banyak menanyakan untuk upacara adat Besaran di hari apa? Karena warga sudah menyiapkan iuran,” kata Sutopo selaku Kepala Dusun Lamuk Legoksari. Satu dari sekian dusun yang berada dalam naungan Kecamatan Tlogomulyo, Kabupaten Temanggung, Jawa Tengah.

Untuk iuran tahun ini, setiap kepala keluarga menyumbang 200 ribu rupiah. Di dusun itu terdapat 230 kepala keluarga, jadi kita bisa mengira-ira jumlah dana yang terkumpul. Selain menyumbang uang, warga dusun juga menyumbang beras—biasa disebut kuatan. Beras ini kemudian ada yang disajikan sebagai tumpeng untuk sesajen upacara. Tujuannya, menjaga keguyuban, warga yang satu bisa merasakan beras warga yang lainnya.

Grebeg Besar. Disebut demikian karena perayaan ini dihelat pada bulan Besar, yaitu setelah Hari Raya Kurban atau Iduladha. Warga membuat berbagai jenis makanan secara kolektif. Ada nasi tumpeng putih, tumpeng kuning, dan jajanan pasar. Bersanding dengan berbagai jenis jenang atau dodol, beserta hasil bumi seperti sayur-sayuran dan buah-buahan.

Baca Juga: Fenomena Embun Es di Dieng Terjadi Setiap Tahun, Apa Penyebabnya?

Kepala Dusun Lamuk Legoksari, Sutopo, memimpin Upacara Adat Grebeg Besar. (FERI LATIEF)

Semua itu sebagai tanda ucapan syukur kepada Tuhan, setelah melewati dua hari raya sekaligus menyambut awal panen tembakau. Dusun Lamuk Legoksari dan Lamuk Gunung terkenal sebagai desa penghasil Srinthil yaitu tembakau berkualitas paling tinggi. Harganya mencapai sejuta rupiah untuk setiap kilogramnya. Srinthil dari dusun ini kualitasnya lebih baik Dario srinthil daerah lain.

Semua sesajen itu diarak keliling dusun, warga menyebutnya sebagai Kirab Sesaji Jajah Deso. Arak-arakan itu tetap dengan protokol pagebluk, yaitu menjaga jarak tiap pesertanya. Setiap regu kesenian yang ikut diatur jaraknya, tidak berdekatan, dan wajib mengenakan masker.

“Kita tidak bisa meninggalkan upacara adat ini, karena kalau kami meninggalkan upacara adat, kami memutus mata rantai budaya yang ada di dusun kami," tegas Sutopo. "Kami khawatir ke depan mungkin akan hilang salah satu budaya di bumi Nusantara ini."

Baca Juga: Geliat Rumah Jamu Marie Parakan Menjaga Warisan Jamu Nusantara

Warga dusun berdoa bersama sebelum upacara dimulai. (FERI LATIEF)

Selama sebulan Sutopo melakukan sosialisasi kepada warga dan semua pelaku kesenian yang terlibat harus mengenakan masker. Ia juga menyiapkan air mengalir dan sabun di titik-titik dusun untuk warga mencuci tangan.

Kirab berakhir di mata air Kali Ringin, yang dipercaya warga dusun sebagai cikal bakal dusun yang ada di kaki Gunung Sumbing tersebut.

“Kenapa puncak upacara di sendang atau sumber air Kali Ringin ini?" ujar Sutopo beretorika. "Karena kami menyakini betul bahwa air itu sumber penghidupan masyarakat.”

Baca Juga: Kisah Kepala Kerbau Sebagai Sesajen Stasiun Jakarta Kota 'BEOS'

Aneka sesajen buatan warga di bawa menuju sendang atau mata air Kali Ringin yang merupakan cikal bakal dusun. (FERI LATIEF)

Di mata air yang sudah dibangun menjadi bangunan kecil itu semua sesajen didoakan sebelum disantap warga bersama-sama. Doaya menyertakan 13 permohonan kepada kepada Tuhan. Antara lain, mereka memohon keselamatan dan diberi kelimpahan sumber air. Selain itu mereka memohon agar pertanian tembakau warga bisa tumbuh subur dan menjadi rezeki yang berkah. Yang terakhir, warga dusun memohon agar pagebluk ini segera berakhir.

Di pinggang Gunung Sumbing, warga dusun mencontohkan bahwa upacara adat tetap bisa digelar dengan khidmat. Budaya tetap bisa berkembang, bahkan seiring dan sejalan dengan protokol kesehatan yang disyaratkan.

Baca Juga: Bertualang ke Pasar Zaman Mataram Kuno. Adakah Tradisi yang Berlanjut?

Makanan dalam sesajen Grebeg Besar yang diarak keliling dusun. (FERI LATIEF)