'Indonesia Dalem Api dan Bara': Kronik Kota Sampai Analisis Bahasanya

By Fikri Muhammad, Jumat, 28 Agustus 2020 | 08:43 WIB
Foto Kwee Thiam Tjing yang bernama pedengan Tjamboek Berdoeri, dan buku Indonesia Dalem Api dan Bara. (Mahandis Yoanata Thamrin)

Sebagai peneliti yang ingin memopulerkan sejarah kepada publik, Sisco tidak cukup berhenti membaca dan berimajinasi. Tetapi ia mencoba utuk membuat suatu kegiatan jalan-jalan dengan 'menembak' situs-situs yang ditulis oleh Tjamboek Berdoeri. Rute-rute tempatnya dinamakan sesuai dengan zaman Tjamboek Berduri. Misal, dari "Zusterschool hingga Proefstation dan Pendjara Lowokwaroe."

Sisco juga menunjukkan fakta sejarah di tempat lain. Yakni Gedung Societeit di Jalan Buring (kelak menjadi RRI Malang dan kini menjadi Hotel Shalimar). Gedung ini menjadi latar foto Kwee Thiam Tjing bersama istrinya, bernama Nie Hiang Hio. Lantai gedung itu bercorak hitam-putih khas aula Freemason, karena pada awalnya memang dibangun untuk Loji Freemason.

Kwee Thiam Tjing tinggal di Malang hingga 1949. Ia adalah salah satu keturunan Tionghoa progresif yang tinggal di sana. Malang juga menjadi pusat politik baru saat itu setelah Surabaya lumpuh akibat perang 100 hari. Sebagai sebuah Kotapraja semenjak 1914, dalam segi sosial kultural, masyarakat Malang saat itu sudah memiliki infrastruktur yang cukup baik untuk ukuran kota Hindia Belanda.

Buku Indonesia Dalem Api dan Bara (IDAB) memiliki kekuatan narasi tentang situasi sosio-kultural di Malang pada masa itu. Peristiwa-peristiwa di buku ini juga melengkapi historiografi Indonesia, dari situasi saat Jepang menduduki kota sampai agresi militer Belanda.
 
Sisco menukil juga kisah kesaksian Kwee tentang kejadian seorang lelaki Indonesier yang menjadi bahan siksaan oleh orang Indonesier juga. Lelaki malang yang telanjang bulat itu berada di dalam bak truk yang melintasi daerah Kayutangan. Dia didakwa sebagai mata-mata musuh. Demikianlah situasi genting di Kota Malang pada akhir 1945, saat dakwaan mata-mata bisa hinggap kepada siapa saja, tanpa ada peradilan. "Lebih banyak yang mati daripada yang hidup," kata Sisco mengutip IDAB.
 
Dakwaan sembrono tentang "mata-mata musuh" ini pada akhirnya ditujukan tanpa bukti kepada 20-an orang Tionghoa. Kwee mencatatnya sebagai peristiwa pembantaian di Mergosono pada akhir Juli 1947. Kerabatnya pun menjadi korban.
 
Sisco juga menampilkan profil tokoh-tokoh Tionghoa semasa dengan Kwee. Namun, tampaknya Kwee memang tidak dekat (atau dijauhi) oleh tokoh-tokoh itu. Kwee memang tidak begitu diterima oleh kaum peranakan Tionghoa karena sikapnya yang ugal-ugalan. Dia dikenal  kritis terhadap golongannya sendiri. Barangkali inilah yang menyebabkan dirinya dilupakan kebanyakan orang—tak muncul dalam riwayat jurnalisme Indonesia.

Pada penutup paparan, Sisco memberikan hal yang menarik tentang alasan Kwee Thiam Tjing yang memilih profesi jadi jurnalis.

Kenapa Kwee Thiam Tjing memilih jadi jurnalis? Padahal dia anak pertama, yang dalam etnis Tionghoa biasanya berdagang. Baginya profesi jurnalis membuat dirinya merdeka dan bebas," kata Sisco.

Baca Juga: Bung Hatta: Stalin Memarahi Semaoen Karena Konvensi Nasionalis

Sociëteit Concordia di Malang, sekitar 1915. Ajang berkumpul sosialita ini beada di kawasan Alun-alun. Bangunan menempati tapak pendopo dan kediaman Bupati Malang, kini pusat belanja Sarinah. (KITLV)

Kehidupan Kwee Thiam Tjing atau Tjamboek Berduri agak unik dan berbeda dari kalangan Tionghoa pada umumnya. Pada saat usianya tujuh tahun,  orang tuanya memasukkannya untuk studi di sekolah orang Eropa yakni Eurospeesch Lagere School (ELS). 

"Dia tidak tahu mengapa disekolahkan di ELS. Ben Anderson menduga pada pembukaan IDAB bahwa Tjamboek keterima di ELS karena ada keturunan kapiten Tionghoa. Tapi kalau membaca di Menjadi Tjamboek Berduri mungkin dari orang yang menjadi tempat indekos yang memungkinkan keterima di ELS," kata Arief W. Djati, Editor IDAB 2004 dan Peneliti Biografi Tjamboek Berduri.

Sesudah umur 14, Kwee Thiam Tjing ia menyelesaikan Mulo dan sempat bekerja sebagai juru tulis di Nierop. Sesudah itu ia bekerja di Bandung selama 1-2  tahun di majalah Lay po. 

Pada usia 24 tahun, Kwee Thiam Tjing sudah memakai nama samaran Tjamboek Berdoeri. Tapi sebelum itu ia juga pakai nama samaran lain saat bekerja di Pewarta Soerabaja. Nama lainya saat itu bernama "Togok".

 

Het nieuwe stadhuis te Malang, balai kota yang baru (dibangun 1927-1929) karya aristek HF Horn. Awalnya Malang berstatus kabupaten di bawah Karesidenan Pasuruan. Wabah pes turut mempercepat terbentuknya Kotapraja Malang, 1 April 1914. (KITLV)