'Indonesia Dalem Api dan Bara': Kronik Kota Sampai Analisis Bahasanya

By Fikri Muhammad, Jumat, 28 Agustus 2020 | 08:43 WIB
Foto Kwee Thiam Tjing yang bernama pedengan Tjamboek Berdoeri, dan buku Indonesia Dalem Api dan Bara. (Mahandis Yoanata Thamrin)

Nationalgeographic.co.id—Tahun ini seharusnya menjadi tahun istimewa untuk literasi sejarah dan jurnalisme. Kita merayakan 73 tahun penerbitan buku Indonesia Dalem Api dan Bara (IDAB), sekaligus ulang tahun ke-120 untuk penulisnya yang bernama pedengan Tjamboek Berduri.

IDAB adalah buku yang berbicara soal sejarah Malang. Mengisahkan kejadian yang tidak terungkap tentang sejarah kota. Mahandis Yoanata Thamrin, Managing Editor National Geographic Indonesia, mencari sisi lain dari Kota Malang yang tidak terungkap, dan sederet situs yang pernah disinggahi si Tjamboek Berdoeri.

"Ada pembantaian orang Tionghoa. Saya setidaknya sampai ke Mergosono, suatu kawasan di Malang tempat mereka diculik dan di bunuh. Ada 20-an individu yang tewas di sana," kata Mahandis membuka Bincang Redaksi ke-16.

Baca Juga: Selidik Tjamboek Berdoeri dan Catatan Terlupakan Revolusi Indonesia

Tentara Belanda mengendarai brencarrier memajang poster Presiden Sukarno, foto pada 24 Juli 1947. (Nationaal Archief)

Ben Anderson, sosok penggali siapa sejatinya Tjamboek Berdoeri, pernah mengungkapkan bahwa Tjamboek Berduri menulis pada fajar abad baru. Memiliki nama asli Kwee Thiam Tjing, lahir pada 1900 yang selaras dengan kelahiran gerakan pendidikan Tionghoa di tanah air.

IDAB diterbitkan pertama kali pada November 1947 dengan penerbit Perfektas di Malang. Pada sampul halaman berwarna kuning itu tertulis:

"Ditoelis sebagi peringetan oentoek anak-tjoetjoe saja

Buku Indonesia Dalem Api dan Bara akan berat jika di berikan ke anak sekolah atau ke calon guru sejarah. Jauh dari pendidikan karakter sebagai suatu yang positif dan baik menurut FX Domini BB Hera, atau akrab disapa Sisco, seorang Sejarawan Center for Culture and Frontier Studies Universitas Brawidjaja.

"Bagaimana kita tahu tempat yang terang tapi kita tidak tahu tempat yang gelap? Gelap dan putihnya revolusi Indonesia menjadi kenyataan," ucap Sisco.

Buku ini memulai kisahnya pada suasana awal Perang Dunia Kedua. Lembaran awalnya langsung bicara pada era 1939 sampai ke periode akhir Jepang pada bagian akhiranya. 

Baca Juga: Kesaksian Tjamboek Berdoeri: Dari Muslihat Propaganda Jepang Sampai “Salam Djempol” di Jawa