'Indonesia Dalem Api dan Bara': Kronik Kota Sampai Analisis Bahasanya

By Fikri Muhammad, Jumat, 28 Agustus 2020 | 08:43 WIB
Foto Kwee Thiam Tjing yang bernama pedengan Tjamboek Berdoeri, dan buku Indonesia Dalem Api dan Bara. (Mahandis Yoanata Thamrin)

"Jadi kesan saya untuk nama samaran, selain tergantung situasi juga kebutuhan. Ia berusaha mencari nama yang tepat. karena saat 1939 saat ia serang grup atau jurnalis lain dengan nama Tjamboek Berdoeri. Ia menggantinya saat pindah ke tempat lain. Seperti dia bekerja untuk media Matahari. Karena tidak memungkinkan untuk memakai nama Tjamboek Berdoeri," kata Arief.

"Tulisan-tulisannya sebelum di IDAB polemikal," imbuhnya. "Kadang kala  menyerang orang lain atau pihak lain. Ia sempat berpolemik dengan redaksi dan penulis di salah satu koran di Jombang, Bintang Pagi."

"Ia juga pernah mengkritik keluarga Kwee yang menjadi redaksi-administrasi koran Tjahaja Timoer di Malang sekitar tahun 1926," ungkap Arief. "Namun anehnya sekitar tiga tahun kemudian, pada tahun 1929, ia menjadi redaktur di Tjahaja Timoer."

Sesudah kemerdekaan, pada 1954 ia pindah ke Jakarta tidak ada tulisanya sama sekali. Baru pada tahun 70-an muncul kembali. Selidik punya selidik, Kwee Thiam Tjing pernah tinggal di Jl. Cendana pada tahun 50-an. Selain itu, koran-koran juga sudah mulai hilang. Seperti Star Weekly. 

Dalam buku IDAB menurut Arief, Kwee Thiam Tjing menggunakan banyak bahasa yang disebut sebagai kosmopolitanisme. "Pada jaman itu terutama kalangan Tionghoa di ELS paling tidak orang bisa tiga bahasa. Hokkian, Jawa, dan Melayu," ujarnya.

Kwee Thiam Tjing—Lahir di Pasuruan, 9 Februari 1900 dan wafat di Jakarta pada 28 Mei 1974. (Indonesia Dalem Api dan Bara/Elkasa)

Keragaman bahasa dan ejaan semasa bahkan dipertahankan ketika buku IDAB lahir kembali pada edisi keduanya oleh Penerbit Elkasa pada 2004. Setidaknya ada 981 anotasi dari kata-kata non-bahasa Indonesia. 

Nurenzia Yannuar, Ahli Linguistik Fakultas Sastra Universitas Negeri Malang mengungkapkan bahwa sejatinya buku ini menjadi penting karena cara menulisnya yang mengungkapkan ragam suasana.

"Bagi yang ngerti Bahasa Jawa tertawa. Setingnya di Malang. Narasinya detail, brilian, lucu, dan tragis dari sebuah periode historis yang ditulis dalam ragam Melayu yang istimewa," ujarnya.

Nurenzia mengeksplorasi apa yang ada di IDAB dan dirasakan pada zaman Kwee Thiam Tjing hidup saat itu. Pengunaan berbagai bahasa dengan sangat luas dalam buku ini dinamakan sebagai translingualisme. Bahasa-bahasa itu diantaranya seperti Malangan Jawa Timuran, Belanda, Hokkian, Melayu, Melayu-Hokkian, Jepang, Madura, dan Inggris.

Nurenzia memberikan salah satu contoh translingualisme yang terdapat di halaman 156. Kwee menuliskan sebuah Bahasa Melayu campur dengan Bahasa Jawa dan Belanda. Ceritanya, Tjamboek Berdoeri sedang menjadi komandan stadwacht (penjaga kota) jelang Perang Pasifik di Surabaya.

Kala itu pamanya lewat dan dia kerjai, ia berpura pura menjadi penjaga yang siap menembak pamannya. Ketikan pamannya ketakutan, Kwee tertawa puas. Ia mengungkapkan, ternyata senapan membuat seorang berpikir bahwa nyawa akan segera berakhir. 

"Dan dengan teroes goleng kepala ia landjoetkan perdjalannja ka kota. Tsja, pembatja! Salahkah djika saja bilang, senapan tetap tinggal senapan serta vonnisja pil 'ndek 'ndek oemoer tida kenal appel."

Demikianlah, bahasa menjadi sebuah alat dalam melihat karakter penulisnya, demikian menurut Nurenzia. "Bisa mengungkapkan suatu hal yang spesifik atau menertawakan sesuatu hal."

Buku IDAB menjadi batu loncatan yang penting terkait dengan historiografi Indonesia karena banyak fakta sosial dan budaya yang tidak terangkat pada buku arus utama, kata Mahandis.

"Tjamboek Berdoeri mengungkapkan sisi gelap revolusi kita. Saat Jepang masuk Kota Malang diakhiri situasi tragis saat pembantaian di Mergosono. ini menjadi pijakan kita terkait masa silam Indonesia," pungkasnya. "Melalui kesadaran sejarah, semoga peristiwa yang melukai kemanusiaan itu tidak pernah terjadi lagi."

Kwee Thiam Tjing berpesan kepada kita bahwa untuk mencapai kesadaran perlu pemahaman. "Dan boeat bikin sedar diri sendiri, ini hal tida aken bisa kedjadian bila kita poenja kepandean tjoema bisa plembang-plemboeng seperti kodok dalem soemoer."