Akhenaten Sang Pionir Pembaharu Mesir

By , Selasa, 23 Mei 2017 | 15:41 WIB

Ada kalanya, pernyataan yang paling dikenal tentang seorang raja dibuat oleh mereka yang bungkam.

Pada suatu pagi di Amarna, sebuah dusun di wilayah Upper Egypt—sekitar 300 kilometer di sebelah selatan Kairo, satu set kerangka rapuh dan kecil disusun di meja kayu. “Di sini tulang selangka, lalu lengan atas, rusuk, dan kaki bawah,” ujar Ashley Shidner, bioarkeolog asal AS. “Yang ini usianya sekitar satu setengah sampai dua tahun.”

Kerangka itu milik seorang anak yang hidup di Amarna lebih dari 3.300 tahun silam, saat tempat itu menjadi ibu kota Mesir. Kota ini didirikan oleh Akhenaten. Ia adalah seorang firaun, yang bersama istrinya, Nefertiti, dan putranya, Tutankhamun, menggugah imajinasi modern sebagaimana halnya tokoh-tokoh Mesir kuno lain. Namun, tak demikian halnya dengan kerangka tanpa nama ini, yang diekskavasi dari sebuah makam tak bertanda. Tulang belulang itu juga membuktikan terjadinya kekurangan gizi, yang oleh Shidner dan ilmuwan lain telah diobservasi pada sisa jasad lusinan anak-anak Amarna.

“Terhambatnya pertumbuhan dimulai sekitar usia tujuh setengah bulan,” tutur Shidner. “Itu masa dimulainya pemberian makanan peralihan dari ASI ke makanan padat.” Di Amarna, peralihan ini kelihatannya tertunda bagi banyak anak. “Kemungkinan si ibu memutuskan hal tersebut, karena tak ada cukup makanan.”

Sampai belakangan ini, rakyat Akhenaten tampaknya adalah satu-satunya kelompok orang yang tidak ikut sumbang suara tentang warisan sang firaun. Kelompok lain banyak berbicara tentang sang firaun, yang memerintah mulai sekitar 1353 SM sampai 1336 SM dan mencoba mentransformasi agama, seni, dan pemerintahan Mesir. Sebagian besar penerus Akhenaten mencela masa kekuasaannya. Bahkan, Tutankhamun  mengeluarkan sebuah dekrit untuk mengkritik keadaan pada masa pemerintahan ayahnya: “Negeri ini menderita; dewa-dewi menelantarkan negeri ini.” Selama masa wangsa yang berikutnya, Akhenaten dianggap sebagai “sang kriminal” dan “sang pemberontak”. Para firaun pun meng-hancurkan patung dan gambarnya, mencoba sepenuhnya menyingkirkannya dari sejarah.

Opini berayun ke ujung yang berlawanan pada masa modern, saat para arkeolog menemukan kembali Akhenaten. Pada 1905, seorang ahli Mesir bernama James Henry Breasted menggambarkan sang firaun sebagai “individu khas pertama dalam sejarah manusia.” Bagi Breasted dan banyak orang lainnya, Akhenaten adalah seseorang yang revolusioner. Gagasannya, terutama konsep monoteisme, tampak melesat jauh ke depan dibanding masanya. Dominic Montserrat, yang buku karyanya tentang Akhenaten bersubjudul History, Fantasy and Ancient Egypt, menulis bahwa kita sering kali mengambil bukti yang terserak dari masa kuno dan menyusunnya menjadi kisah yang masuk akal bagi dunia kita. Kami melakukan hal ini, tulisnya, “sehingga masa lalu bisa diangkat ke masa kini, seperti cermin.”

Cermin modern Akhenaten memantulkan hampir semua pribadi yang bisa dibayangkan. Sang firaun dilukiskan sebagai proto-Kristen, pencinta damai dan pencinta lingkungan hidup, orang yang lantang dan bangga menjadi homoseksual, juga diktator totaliter. Citranya direngkuh baik oleh kaum Nazi maupun pergerakan Afrosentris. Thoman Mann, Naguib Mahfouz, dan Frida Kahlo memasukkan sang firaun dalam karya seni mereka. Sigmund Freud pernah pingsan saat berdebat seru dengan psikiater Carl Jung dari Swiss tentang apakah sang raja Mesir menderita rasa cinta berlebihan terhadap ibunya, oedipus complex.

Para arkeolog selalu mencoba menolak inter-pretasi seperti itu. Namun, potongan kunci teka-tekinya masih hilang. Banyak penelitian terhadap Amarna difokuskan kepada budaya kaum elite: patung bangsawan dan arsitektur, serta inskripsi dari makam pejabat tinggi. Selama bertahun-tahun, cendekiawan mengharapkan adanya kesempatan untuk mempelajari makam orang-orang biasa, setelah mengetahui bahwa jendela keberadaan Amarna yang amat singkat—17 tahun—mengartikan bahwa sebuah permakaman akan menyediakan gambaran langka tentang kehidupan sehari-hari. Namun, barulah pada awal 2000-an, survei mendetail gurun di sekitarnya menemukan bukti empat perkuburan terpisah.

Setelah penemuan tersebut, para arkeolog dan bioarkeolog menghabiskan hampir satu dasawarsa mengekskavasi dan menganalisis permakaman terbesar. Mereka mengumpulkan sampel kerangka dari setidaknya 432 orang. Dari makam-makam yang usia saat wafatnya diketahui, 70 persen dari individu itu meninggal sebelum mencapai usia 35, dan hanya sembilan yang terlihat hidup lebih dari 50 tahun. Lebih dari sepertiganya meninggal sebelum berumur 15. Pola pertumbuhan anak-anak tertunda sampai dua tahun. Banyak orang dewasa menderita kerusakan tulang belakang, yang diyakini para bioarkeolog merupakan bukti bahwa mereka bekerja terlalu keras, barangkali demi membangun ibu kota baru.

Pada 2015, tim tersebut beralih ke permakaman lain di sebelah utara Amarna. Di sini, mereka mengekskavasi 135 jasad. Anna Stevens, arkeolog Australia yang memimpin kerja lapangan di permakaman itu, bercerita kepada saya bahwa petugas ekskavasi segera melihat adanya hal yang berbeda dengan makam-makam di situ. Banyak jasad yang kelihatannya dimakamkan secara terburu-buru, dalam liang lahat yang nyaris tanpa benda atau objek lain. Tak ada bukti terjadinya kematian akibat kekerasan, tetapi pengelompokan keluarga sepertinya juga tidak terjadi. Dalam banyak kasus, terlihat seperti dua atau tiga orang yang tanpa hubungan keluarga dimasukkan bersama ke dalam satu makam. Mereka masih muda—92 persen individu di pemakaman ini tidak lebih tua dari 25 tahun. Lebih dari setengah meninggal di usia antara tujuh dan 15 tahun.

“Ini jelas bukanlah kurva kematian normal,” ujar Stevens. “Mungkin juga bukan kebetulan bahwa di area ini ada tambang batu kapur sang firaun. Apakah ini kelompok pekerja yang wajib bekerja berdasarkan usia muda—dan secara efektif dipekerjakan sampai mati?” Baginya satu hal sudah jelas: “Ini benar-benar menghilangkan pengetahuan yang masih mengambang bahwa Amarna adalah tempat nyaman untuk hidup.”

Bagi Akhenaten, Amarna mewakili suatu hal yang murni dan sungguh-sungguh visioner. “Tidak ada pejabat yang pernah menasihati saya mengenai hal ini,” sang firaun menulis dengan bangga tentang pembangunan ibu kota yang baru olehnya. Ia memilih tempat itu, sebidang luas gurun yang belum terjamah di sebelah atas sisi timur Sungai Nil, karena tempat itu belum tercemari oleh pemujaan dewa mana pun.

Bisa jadi, ia juga termotivasi oleh ayahandanya, Amenhotep III. Dalam sejarah Mesir, ia adalah salah satu pembangun hebat bagi sejumlah monumen, kuil, dan istana. Kedua firaun ini adalah bagian dari wangsa ke-18 yang berkuasa setelah mengalahkan Hyksos, sebuah kelompok yang menginvasi Mesir utara. Nenek moyang wangsa ke-18 bermukim di Mesir selatan. Untuk mengusir Hyksos, mereka mengikutsertakan inovasi utama musuhnya, termasuk kereta kuda dan busur. Tak seperti kebanyakan wangsa pendahulunya, wangsa ke-18 membentuk tentara yang selalu siap sedia saat damai maupun perang.