Akhenaten Sang Pionir Pembaharu Mesir

By , Selasa, 23 Mei 2017 | 15:41 WIB

Kemp bercerita bahwa ia awalnya tertarik dengan Amarna karena utuhnya situs kota itu, bukan karena Akhenaten. Seperti halnya kebanyakan cendekiawan masa kini, ia tidak mendeskripsikan Akhenaten sebagai monoteis. Kata ini terlalu ba-nyak dicampuri tradisi religius yang ada setelah-nya. Pada masa kekuasaan Akhenaten, sebagian besar orang Mesir tetap memuja dewa-dewi lain.

Namun demikian, Kemp terkesan dengan pemikiran Akhenaten yang bisa berubah-ubah, dan kemampuannya untuk memaksa pekerja melaksanakan kemauannya yang tiba-tiba. Di Kuil Aten Besar, Kemp menunjukkan sisa beberapa meja persembahan besar dari bata lumpur yang dulunya pasti penuh dengan tumpukan makanan dan dupa. Jumlah meja ini mencengangkan—lebih dari 1.700. “Ini pemikiran yang muncul dalam benaknya, seseorang dengan pikiran yang agak obsesif dan harafiah,” tutur Kemp. Ia pernah menulis: “Bahayanya menjadi seorang penguasa absolut adalah tak ada seorang pun berani mengatakan kepadamu bahwa apa yang baru saja kau putuskan bukanlah gagasan bagus.”

Kurangnya pertanggungjawaban ini agaknya juga mengilhami kebebasan seni. Ray Johnson, dari University of Chicago di Luxor percaya, Akhenaten pastilah memiliki “kreativitas yang liar,” terlepas dari kecenderungan bahwa ia obsesif dan tiran. “Penggambaran seni di Amarna begitu indah, sampai membuat kita menangis,” ujar Johnson. “Mereka menolak gaya berlebih dan penuh tatanan dalam seni Mesir tradisional, mengambil gaya jauh lebih lembut. Penggambaran wanita, terutama, luar biasa sensual.”

Belum lama ini Johnson menyatukan kembali pecahan relief dinding serta patung dari koleksi yang tersebar di dunia. Johnson memperlihatkan saya sebuah “sambungan” virtual. Di situ ia telah memadankan foto sebuah potongan yang berada di Kopenhagen dengan potongan lain di Metropolitan Museum of Art, New York. “Potongan ini terpisah sejauh 6.000 kilometer, tapi saya menyadari bahwa keduanya menyambung,” katanya. Sambungan tersebut mengungkapkan sebuah adegan yang mengejutkan: Akhenaten mengadakan sebuah ritual bukan dengan Nefertiti, melainkan dengan Kiya, istri lainnya, yang tidak memiliki status sebagai ratu.

Cendekiawan yang terlibat dalam kerja semacam ini, kelihatannya memiliki pandangan lebih lunak tentang Akhenaten. Barangkali karena kontak yang dekat dengan karya seninya. Ini menjadi warisan sang firaun yang paling langgeng, setidaknya sampai penemuan kembali akan dirinya di masa modern. Kotanya dan tindakan ritualnya memang cepat ditinggalkan. Namun, gaya artistik Amarna memengaruhi periode selanjutnya. Marsha Hill, kurator Metropolitan Museum of Art, memberi tahu saya bahwa menangani pecah-an pahatan Amarna membuatnya merasa lebih positif terhadap Akhenaten.

“Semua orang suka revolusioner pada tahap tertentu,” ujarnya. “Seseorang yang punya sebuah gagasan amat bagus dan kuat yang membuat seolah-olah segala hal akan menjadi lebih baik. Saya tak melihat dirinya sebagai orang yang destruktif. Tentu saja, yang ia buat tidak berhasil. Uap terkumpul di bawah tanah sampai akhirnya meledak, lalu kita harus menyatukannya kembali.”

Revolusi modern mesir membuat arkeolog lebih kesulitan mempelajari bukti yang terpecah belah dari masa kekuasaan Akhenaten. Pada Februari 2011, pengunjuk rasa di Lapangan Tahrir di Kairo memaksa pengunduran diri Presiden Hosni Mubarak. Pada 2012, Mesir mengadakan pemilihan presiden yang demokratis untuk pertama kalinya, yang dimenangi Mohammad Morsi, pemimpin Ikhwanul Muslimin. Namun, setelah hanya setahun memangku jabatan, ia digulingkan dengan kudeta militer. Setelah kejadian ini, pasukan keamanan membantai ratusan pendukung Morsi di Kairo. Unjuk rasa pun merebak di seluruh negeri, termasuk di Mallawi, sebuah kota di seberang Amarna yang dipisahkan oleh Sungai Nil. Pada Agustus 2013, segerombol orang setempat pendukung Morsi menyerang gereja Kristen Koptik, kantor pemerintah, dan Museum Mallawi. Dalam kekerasan itu, pemeriksa tiket museum dibunuh dan semua artefak yang bisa dijinjing  hilang—semuanya lebih dari seribu buah. Sejak saat itu, polisi mendapatkan kembali sebagian besar benda yang hilang, tetapi butuh tiga tahun bagi museum itu untuk dibuka kembali.

Di Amarna, pengambilan lahan untuk pertanian merupakan ancaman yang lebih besar ketimbang perampokan. Kini, setelah pompa diesel bisa membawa air sungai ke atas, petani mengklaim tanah gurun, termasuk pula bagian kota kuno yang belum diekskavasi. Secara resmi, situs ini dilindungi, tetapi penegakannya menjadi amat lemah karena revolusi. Mohammad Khallaf, yang saat itu menjabat direktur kantor benda antik di Minya, ibu kota wilayah, memberi tahu saya bahwa secara resmi, penduduk desa di sekitar Amarna dibatasi memiliki 300 feddan (126 hektare) lahan untuk ditanami. “Mereka menambah 300 lagi dengan cara kekerasan,”ujarnya. “Delapan puluh persen pengambilan lahan terjadi sejak revolusi.”

Revolusi itu juga menghentikan pembangunan Museum Aten, bangunan paling mengesankan di Minya. Bangunan modernis itu menjulang setinggi 50 meter di sisi Sungai Nil, dalam bentuk yang mengingatkan akan piramida. Di seluruh Mesir, Akhenaten adalah satu-satunya firaun yang masih dihormati dengan pembangunan arsitektur monumental. Ini merupakan bukti atas fakta bahwa para pemimpin negeri Muslim merangkul identitas terkenal Akhenaten sebagai seorang monotheis. Akan tetapi, bagaimana pun warisannya sepertinya tak bisa terhindar dari pergolakan politik. Lebih dari 130 miliar rupiah telah dipakai untuk museum tersebut sebelum pendanaannya tiba-tiba dihentikan, sebuah korban dari keruntuhan ekonomi pasca-Tahrir.

Pada suatu hari, saya mengunjungi tempat itu dan melihat sebelas pegawai duduk di sebuah kantor gelap dengan pendingin ruangan dimatikan. Di luar suhunya 43°C. Mohammad Shaben memperkenalkan dirinya sebagai manajer IT museum dan meminta maaf akan udara yang panas—mereka tak ada listrik. Saya bertanya apa yang dilakukan seorang manajer IT tanpa listrik.

“Tidak ada yang harus saya lakukan,” ujar Shaben. “Semua orang menunggu.”

Usia pria ini 26, dan yang lain kebanyakan bahkan lebih muda. Semuanya terpelajar: kurator, perancang interior, spesialis restorasi. Di Mesir, sekitar 60 persen populasi berusia di bawah 30, dan orang muda mendominasi pengunjuk rasa Tahrir. Mereka juga yang membayar paling mahal dari kegagalan revolusi. Sejak kudeta, penjara Mesir menjadi rumah bagi puluhan ribu tahanan politik, banyak di antaranya masih muda. Hampir sepertiga kaum muda negara itu menganggur. Shaben memberi tahu saya bahwa ia dan pegawai pemerintah lainnya diharuskan datang dan duduk tanpa melakukan apa pun setiap hari, meskipun pembangunan fasilitas itu telah dihentikan.