Akhenaten Sang Pionir Pembaharu Mesir

By , Selasa, 23 Mei 2017 | 15:41 WIB

Ada kalanya, pernyataan yang paling dikenal tentang seorang raja dibuat oleh mereka yang bungkam.

Pada suatu pagi di Amarna, sebuah dusun di wilayah Upper Egypt—sekitar 300 kilometer di sebelah selatan Kairo, satu set kerangka rapuh dan kecil disusun di meja kayu. “Di sini tulang selangka, lalu lengan atas, rusuk, dan kaki bawah,” ujar Ashley Shidner, bioarkeolog asal AS. “Yang ini usianya sekitar satu setengah sampai dua tahun.”

Kerangka itu milik seorang anak yang hidup di Amarna lebih dari 3.300 tahun silam, saat tempat itu menjadi ibu kota Mesir. Kota ini didirikan oleh Akhenaten. Ia adalah seorang firaun, yang bersama istrinya, Nefertiti, dan putranya, Tutankhamun, menggugah imajinasi modern sebagaimana halnya tokoh-tokoh Mesir kuno lain. Namun, tak demikian halnya dengan kerangka tanpa nama ini, yang diekskavasi dari sebuah makam tak bertanda. Tulang belulang itu juga membuktikan terjadinya kekurangan gizi, yang oleh Shidner dan ilmuwan lain telah diobservasi pada sisa jasad lusinan anak-anak Amarna.

“Terhambatnya pertumbuhan dimulai sekitar usia tujuh setengah bulan,” tutur Shidner. “Itu masa dimulainya pemberian makanan peralihan dari ASI ke makanan padat.” Di Amarna, peralihan ini kelihatannya tertunda bagi banyak anak. “Kemungkinan si ibu memutuskan hal tersebut, karena tak ada cukup makanan.”

Sampai belakangan ini, rakyat Akhenaten tampaknya adalah satu-satunya kelompok orang yang tidak ikut sumbang suara tentang warisan sang firaun. Kelompok lain banyak berbicara tentang sang firaun, yang memerintah mulai sekitar 1353 SM sampai 1336 SM dan mencoba mentransformasi agama, seni, dan pemerintahan Mesir. Sebagian besar penerus Akhenaten mencela masa kekuasaannya. Bahkan, Tutankhamun  mengeluarkan sebuah dekrit untuk mengkritik keadaan pada masa pemerintahan ayahnya: “Negeri ini menderita; dewa-dewi menelantarkan negeri ini.” Selama masa wangsa yang berikutnya, Akhenaten dianggap sebagai “sang kriminal” dan “sang pemberontak”. Para firaun pun meng-hancurkan patung dan gambarnya, mencoba sepenuhnya menyingkirkannya dari sejarah.

Opini berayun ke ujung yang berlawanan pada masa modern, saat para arkeolog menemukan kembali Akhenaten. Pada 1905, seorang ahli Mesir bernama James Henry Breasted menggambarkan sang firaun sebagai “individu khas pertama dalam sejarah manusia.” Bagi Breasted dan banyak orang lainnya, Akhenaten adalah seseorang yang revolusioner. Gagasannya, terutama konsep monoteisme, tampak melesat jauh ke depan dibanding masanya. Dominic Montserrat, yang buku karyanya tentang Akhenaten bersubjudul History, Fantasy and Ancient Egypt, menulis bahwa kita sering kali mengambil bukti yang terserak dari masa kuno dan menyusunnya menjadi kisah yang masuk akal bagi dunia kita. Kami melakukan hal ini, tulisnya, “sehingga masa lalu bisa diangkat ke masa kini, seperti cermin.”

Cermin modern Akhenaten memantulkan hampir semua pribadi yang bisa dibayangkan. Sang firaun dilukiskan sebagai proto-Kristen, pencinta damai dan pencinta lingkungan hidup, orang yang lantang dan bangga menjadi homoseksual, juga diktator totaliter. Citranya direngkuh baik oleh kaum Nazi maupun pergerakan Afrosentris. Thoman Mann, Naguib Mahfouz, dan Frida Kahlo memasukkan sang firaun dalam karya seni mereka. Sigmund Freud pernah pingsan saat berdebat seru dengan psikiater Carl Jung dari Swiss tentang apakah sang raja Mesir menderita rasa cinta berlebihan terhadap ibunya, oedipus complex.

Para arkeolog selalu mencoba menolak inter-pretasi seperti itu. Namun, potongan kunci teka-tekinya masih hilang. Banyak penelitian terhadap Amarna difokuskan kepada budaya kaum elite: patung bangsawan dan arsitektur, serta inskripsi dari makam pejabat tinggi. Selama bertahun-tahun, cendekiawan mengharapkan adanya kesempatan untuk mempelajari makam orang-orang biasa, setelah mengetahui bahwa jendela keberadaan Amarna yang amat singkat—17 tahun—mengartikan bahwa sebuah permakaman akan menyediakan gambaran langka tentang kehidupan sehari-hari. Namun, barulah pada awal 2000-an, survei mendetail gurun di sekitarnya menemukan bukti empat perkuburan terpisah.

Setelah penemuan tersebut, para arkeolog dan bioarkeolog menghabiskan hampir satu dasawarsa mengekskavasi dan menganalisis permakaman terbesar. Mereka mengumpulkan sampel kerangka dari setidaknya 432 orang. Dari makam-makam yang usia saat wafatnya diketahui, 70 persen dari individu itu meninggal sebelum mencapai usia 35, dan hanya sembilan yang terlihat hidup lebih dari 50 tahun. Lebih dari sepertiganya meninggal sebelum berumur 15. Pola pertumbuhan anak-anak tertunda sampai dua tahun. Banyak orang dewasa menderita kerusakan tulang belakang, yang diyakini para bioarkeolog merupakan bukti bahwa mereka bekerja terlalu keras, barangkali demi membangun ibu kota baru.

Pada 2015, tim tersebut beralih ke permakaman lain di sebelah utara Amarna. Di sini, mereka mengekskavasi 135 jasad. Anna Stevens, arkeolog Australia yang memimpin kerja lapangan di permakaman itu, bercerita kepada saya bahwa petugas ekskavasi segera melihat adanya hal yang berbeda dengan makam-makam di situ. Banyak jasad yang kelihatannya dimakamkan secara terburu-buru, dalam liang lahat yang nyaris tanpa benda atau objek lain. Tak ada bukti terjadinya kematian akibat kekerasan, tetapi pengelompokan keluarga sepertinya juga tidak terjadi. Dalam banyak kasus, terlihat seperti dua atau tiga orang yang tanpa hubungan keluarga dimasukkan bersama ke dalam satu makam. Mereka masih muda—92 persen individu di pemakaman ini tidak lebih tua dari 25 tahun. Lebih dari setengah meninggal di usia antara tujuh dan 15 tahun.

“Ini jelas bukanlah kurva kematian normal,” ujar Stevens. “Mungkin juga bukan kebetulan bahwa di area ini ada tambang batu kapur sang firaun. Apakah ini kelompok pekerja yang wajib bekerja berdasarkan usia muda—dan secara efektif dipekerjakan sampai mati?” Baginya satu hal sudah jelas: “Ini benar-benar menghilangkan pengetahuan yang masih mengambang bahwa Amarna adalah tempat nyaman untuk hidup.”

Bagi Akhenaten, Amarna mewakili suatu hal yang murni dan sungguh-sungguh visioner. “Tidak ada pejabat yang pernah menasihati saya mengenai hal ini,” sang firaun menulis dengan bangga tentang pembangunan ibu kota yang baru olehnya. Ia memilih tempat itu, sebidang luas gurun yang belum terjamah di sebelah atas sisi timur Sungai Nil, karena tempat itu belum tercemari oleh pemujaan dewa mana pun.

Bisa jadi, ia juga termotivasi oleh ayahandanya, Amenhotep III. Dalam sejarah Mesir, ia adalah salah satu pembangun hebat bagi sejumlah monumen, kuil, dan istana. Kedua firaun ini adalah bagian dari wangsa ke-18 yang berkuasa setelah mengalahkan Hyksos, sebuah kelompok yang menginvasi Mesir utara. Nenek moyang wangsa ke-18 bermukim di Mesir selatan. Untuk mengusir Hyksos, mereka mengikutsertakan inovasi utama musuhnya, termasuk kereta kuda dan busur. Tak seperti kebanyakan wangsa pendahulunya, wangsa ke-18 membentuk tentara yang selalu siap sedia saat damai maupun perang.

Mereka juga piawai dalam hal diplomasi. Kerajaan itu akhirnya membentang dari Sudan hingga Suriah di masa kini. Orang asing membawa kekayaan dan keterampilan baru bagi istana Mesir. Di bawah Amenhotep III yang berkuasa dari sekitar 1390 sampai 1353 SM, gaya seni kerajaan bergeser kepada naturalistik.

Bahkan, selagi Amenhotep III menerima kedatangan gagasan baru, ia juga melihat jauh ke masa lampau. Ia mempelajari piramida para firaun yang hidup lebih dari seribu tahun sebelumnya dan memasukkan unsur tradisional ke berbagai festival, kuil, dan istana kerajaan. Ia tetap memuja Amun, dewa penjaga kota Thebes. Namun, Amenhotep III juga mulai menekankan Aten, suatu bentuk dewa matahari Re, digambarkan sebagai piringan matahari yang mengingatkan kembali akan pola pemujaan yang lebih tua.

Putra sang firaun naik takhta dengan gelar Amenhotep IV. Namun, pada tahun kelima peme-rintahannya, ia membuat dua keputusan penting. Ia mengubah namanya menjadi Akhenaten—Setia Kepada Aten—dan memindahkan ibu kota ke tempat yang kini dikenal sebagai Amarna. Sang firaun memberi nama kotanya Akhetaten, atau Cakrawala Piringan Matahari. Sebidang gurun kosong ini pun menjadi rumah bagi diperkirakan 30.000 jiwa. Istana dan kuil dibangun dengan cepat, ukurannya pun menakjubkan. 

Sementara itu, seni Mesir juga mengalami revolusi. Selama berabad-abad, tradisi yang kaku telah menentukan aturan yang benar untuk bahan baku, proporsi, serta pose lukisan dan pahatan. Di bawah Akhenaten, para perajin menciptakan pemandangan dunia alami yang luwes dan seperti sesungguhnya, dan mulai memperlihatkan Akhenaten dan ratunya, Nefertiti, dalam pose akrab dan alami yang tak seperti biasanya.

Dalam visi sang firaun, agama menjadi diseder-hana-kan secara radikal. Orang-orang Mesir me-muja hingga seribu dewa, tetapi Akhenaten hanya setia kepada satu dewa. Ia dan Nefertiti berfungsi sebagai satu-satunya perantara antara orang-orang dengan Aten, dengan mengambil peran tradisional sebagai pemimpin keagamaan. 

Semua ini pastilah mengancam para pemimpin agama dalam tatanan lama, yang melayani Amun. Setelah beberapa tahun di Amarna, sang firaun memerintahkan sejumlah pekerja untuk mencungkil semua gambaran Amun di kuil-kuil kerajaan. Ini adalah sebuah tindakan yang amat sangat berani mati: untuk pertama kalinya dalam sejarah, seorang raja menyerang dewa. Namun, revolusi punya caranya sendiri untuk berbalik melawan pendukung setianya, dan kekerasan ini pada akhirnya akan memangsa ciptaan-ciptaan Akhenaten sendiri.

Saya tiba di situs Kuil Aten Besar pada suatu hari, tepat saat Barry Kemp menemukan pecahan arca Akhenaten. Kemp memimpin Amarna Project, dan dia telah bekerja di situs ini sejak 1977. Ia menghabiskan waktu tahunan tiga kali lipat lebih lama untuk menggali reruntuhan kota ini dibanding lamanya Akhenaten membangunnya.

“Ini dibuat dengan amat indah,” ujarnya sambil mengangkat sepenggal pahatan patung batu, hanya tungkai bawah sang firaun yang terlihat di situ. “Ini bukan rusak tanpa disengaja.” Banyak sekali artefak sengaja dihancurkan setelah sang firaun tiba-tiba wafat pada sekitar 1336 SM. Pewaris takhta dan putra tunggalnya adalah Tutankhaten, usianya tak lebih dari 10 tahun. Ia mengganti “Aten” dalam namanya dengan gelar dewa yang dibenci ayahandanya: Tutankhamun. Ia meninggalkan Amarna, kembali kepada tradisi lama. Tutankhamun wafat tanpa diduga. Tak lama kemudian, sang pemimpin tentara, Horemheb, menyatakan dirinya sebagai firaun—mungkin ini kudeta militer pertama dalam sejarah.

Horemheb dan para penerusnya, termasuk Ramses yang Agung, membongkar kuil dan bangunan kerajaan di Amarna. Mereka menghancurkan arca Akhenaten dan Nefertiti. Mereka juga menghapus nama sang firaun nan bidah beserta keturunannya dari daftar resmi penguasa Mesir. Tindakan ini begitu berhasil sehingga menjadi salah satu alasan mengapa makam Tutankhamun lolos dari perampokan besar. Pada masa firaun, para perampok selama bergenerasi-generasi menyisir makam seperti ini. Namun, makam Tut sebagian besar tak tersentuh. Orang lupa bahwa makam itu ada di sana.

Mereka juga melupakan sebagian besar detail kehidupan Amarna. Ekskavasi Kemp baru-baru ini menunjukkan bahwa Kuil Aten Besar dihancurkan dan dibangun kembali pada sekitar tahun ke-12 pemerintahan Akhenaten. Penggalan patung yang tadi ia tunjukkan kepada saya, berasal dari masa itu—patung ini diremukkan atas perintah dari sang firaun itu sendiri, bukan penerusnya.

“Dari sudut pandang kita, yang mereka lakukan itu ganjil,” tutur Kemp, menjelaskan bahwa Akhenaten menggunakan potongan itu sebagai pondasi kuil baru yang telah diubah. “Patung ini tak diperlukan lagi, jadi mereka memecahkannya menjadi lebih kecil. Kami tak punya informasi tentang apa yang sebenarnya terjadi.”

Namun, bukti lain sering kali masih sangat utuh. Situs permukiman kuno biasanya ada di Lembah Nil, tempat banjir bermilenium-milenium menghancurkan bangunan asli. Sebaliknya, Amarna terletak di gurun di atas sungai. Inilah mengapa tempat ini tak dihuni sebelum masa Akhenaten, dan inilah juga mengapa tempat ini lalu ditinggalkan orang. Bahkan, kini pun kita masih bisa melihat tembok bata asli rumah-rumah Amarna. Adalah mungkin untuk mengunjungi bangunan berusia 3.300 tahun, tempat patung dada Nefertiti yang berwarna dan terkenal, yang diekskavasi oleh tim arkeolog Jerman pada 1912.

Kemp bercerita bahwa ia awalnya tertarik dengan Amarna karena utuhnya situs kota itu, bukan karena Akhenaten. Seperti halnya kebanyakan cendekiawan masa kini, ia tidak mendeskripsikan Akhenaten sebagai monoteis. Kata ini terlalu ba-nyak dicampuri tradisi religius yang ada setelah-nya. Pada masa kekuasaan Akhenaten, sebagian besar orang Mesir tetap memuja dewa-dewi lain.

Namun demikian, Kemp terkesan dengan pemikiran Akhenaten yang bisa berubah-ubah, dan kemampuannya untuk memaksa pekerja melaksanakan kemauannya yang tiba-tiba. Di Kuil Aten Besar, Kemp menunjukkan sisa beberapa meja persembahan besar dari bata lumpur yang dulunya pasti penuh dengan tumpukan makanan dan dupa. Jumlah meja ini mencengangkan—lebih dari 1.700. “Ini pemikiran yang muncul dalam benaknya, seseorang dengan pikiran yang agak obsesif dan harafiah,” tutur Kemp. Ia pernah menulis: “Bahayanya menjadi seorang penguasa absolut adalah tak ada seorang pun berani mengatakan kepadamu bahwa apa yang baru saja kau putuskan bukanlah gagasan bagus.”

Kurangnya pertanggungjawaban ini agaknya juga mengilhami kebebasan seni. Ray Johnson, dari University of Chicago di Luxor percaya, Akhenaten pastilah memiliki “kreativitas yang liar,” terlepas dari kecenderungan bahwa ia obsesif dan tiran. “Penggambaran seni di Amarna begitu indah, sampai membuat kita menangis,” ujar Johnson. “Mereka menolak gaya berlebih dan penuh tatanan dalam seni Mesir tradisional, mengambil gaya jauh lebih lembut. Penggambaran wanita, terutama, luar biasa sensual.”

Belum lama ini Johnson menyatukan kembali pecahan relief dinding serta patung dari koleksi yang tersebar di dunia. Johnson memperlihatkan saya sebuah “sambungan” virtual. Di situ ia telah memadankan foto sebuah potongan yang berada di Kopenhagen dengan potongan lain di Metropolitan Museum of Art, New York. “Potongan ini terpisah sejauh 6.000 kilometer, tapi saya menyadari bahwa keduanya menyambung,” katanya. Sambungan tersebut mengungkapkan sebuah adegan yang mengejutkan: Akhenaten mengadakan sebuah ritual bukan dengan Nefertiti, melainkan dengan Kiya, istri lainnya, yang tidak memiliki status sebagai ratu.

Cendekiawan yang terlibat dalam kerja semacam ini, kelihatannya memiliki pandangan lebih lunak tentang Akhenaten. Barangkali karena kontak yang dekat dengan karya seninya. Ini menjadi warisan sang firaun yang paling langgeng, setidaknya sampai penemuan kembali akan dirinya di masa modern. Kotanya dan tindakan ritualnya memang cepat ditinggalkan. Namun, gaya artistik Amarna memengaruhi periode selanjutnya. Marsha Hill, kurator Metropolitan Museum of Art, memberi tahu saya bahwa menangani pecah-an pahatan Amarna membuatnya merasa lebih positif terhadap Akhenaten.

“Semua orang suka revolusioner pada tahap tertentu,” ujarnya. “Seseorang yang punya sebuah gagasan amat bagus dan kuat yang membuat seolah-olah segala hal akan menjadi lebih baik. Saya tak melihat dirinya sebagai orang yang destruktif. Tentu saja, yang ia buat tidak berhasil. Uap terkumpul di bawah tanah sampai akhirnya meledak, lalu kita harus menyatukannya kembali.”

Revolusi modern mesir membuat arkeolog lebih kesulitan mempelajari bukti yang terpecah belah dari masa kekuasaan Akhenaten. Pada Februari 2011, pengunjuk rasa di Lapangan Tahrir di Kairo memaksa pengunduran diri Presiden Hosni Mubarak. Pada 2012, Mesir mengadakan pemilihan presiden yang demokratis untuk pertama kalinya, yang dimenangi Mohammad Morsi, pemimpin Ikhwanul Muslimin. Namun, setelah hanya setahun memangku jabatan, ia digulingkan dengan kudeta militer. Setelah kejadian ini, pasukan keamanan membantai ratusan pendukung Morsi di Kairo. Unjuk rasa pun merebak di seluruh negeri, termasuk di Mallawi, sebuah kota di seberang Amarna yang dipisahkan oleh Sungai Nil. Pada Agustus 2013, segerombol orang setempat pendukung Morsi menyerang gereja Kristen Koptik, kantor pemerintah, dan Museum Mallawi. Dalam kekerasan itu, pemeriksa tiket museum dibunuh dan semua artefak yang bisa dijinjing  hilang—semuanya lebih dari seribu buah. Sejak saat itu, polisi mendapatkan kembali sebagian besar benda yang hilang, tetapi butuh tiga tahun bagi museum itu untuk dibuka kembali.

Di Amarna, pengambilan lahan untuk pertanian merupakan ancaman yang lebih besar ketimbang perampokan. Kini, setelah pompa diesel bisa membawa air sungai ke atas, petani mengklaim tanah gurun, termasuk pula bagian kota kuno yang belum diekskavasi. Secara resmi, situs ini dilindungi, tetapi penegakannya menjadi amat lemah karena revolusi. Mohammad Khallaf, yang saat itu menjabat direktur kantor benda antik di Minya, ibu kota wilayah, memberi tahu saya bahwa secara resmi, penduduk desa di sekitar Amarna dibatasi memiliki 300 feddan (126 hektare) lahan untuk ditanami. “Mereka menambah 300 lagi dengan cara kekerasan,”ujarnya. “Delapan puluh persen pengambilan lahan terjadi sejak revolusi.”

Revolusi itu juga menghentikan pembangunan Museum Aten, bangunan paling mengesankan di Minya. Bangunan modernis itu menjulang setinggi 50 meter di sisi Sungai Nil, dalam bentuk yang mengingatkan akan piramida. Di seluruh Mesir, Akhenaten adalah satu-satunya firaun yang masih dihormati dengan pembangunan arsitektur monumental. Ini merupakan bukti atas fakta bahwa para pemimpin negeri Muslim merangkul identitas terkenal Akhenaten sebagai seorang monotheis. Akan tetapi, bagaimana pun warisannya sepertinya tak bisa terhindar dari pergolakan politik. Lebih dari 130 miliar rupiah telah dipakai untuk museum tersebut sebelum pendanaannya tiba-tiba dihentikan, sebuah korban dari keruntuhan ekonomi pasca-Tahrir.

Pada suatu hari, saya mengunjungi tempat itu dan melihat sebelas pegawai duduk di sebuah kantor gelap dengan pendingin ruangan dimatikan. Di luar suhunya 43°C. Mohammad Shaben memperkenalkan dirinya sebagai manajer IT museum dan meminta maaf akan udara yang panas—mereka tak ada listrik. Saya bertanya apa yang dilakukan seorang manajer IT tanpa listrik.

“Tidak ada yang harus saya lakukan,” ujar Shaben. “Semua orang menunggu.”

Usia pria ini 26, dan yang lain kebanyakan bahkan lebih muda. Semuanya terpelajar: kurator, perancang interior, spesialis restorasi. Di Mesir, sekitar 60 persen populasi berusia di bawah 30, dan orang muda mendominasi pengunjuk rasa Tahrir. Mereka juga yang membayar paling mahal dari kegagalan revolusi. Sejak kudeta, penjara Mesir menjadi rumah bagi puluhan ribu tahanan politik, banyak di antaranya masih muda. Hampir sepertiga kaum muda negara itu menganggur. Shaben memberi tahu saya bahwa ia dan pegawai pemerintah lainnya diharuskan datang dan duduk tanpa melakukan apa pun setiap hari, meskipun pembangunan fasilitas itu telah dihentikan.

Ia lalu mengajak saya berkeliling museum, yang mempunyai lima lantai, 14 ruang pamer, dan sebuah bioskop, semuanya belum selesai dan terbuka diterpa cuaca. Di mana-mana berserakan ubin, baja rangka bangunan, dan saluran AC berkarat. “Awas ada kelelawar,” kata Shaben, sewaktu kami memasuki teater. Ia berkata suatu hari nanti akan ada 800 kursi di sana.

Seorang inspektur benda antik, Ahmad Gaafar, menemani kami. Ia mengeluhkan huru-hara politik yang menghambat kariernya sebagai kurator. Pola ini sepertinya abadi. Di semua tempat dan waktu, revolusi memangsa kaum muda. Gaafar menyinggung tentang pemilihan presiden Mesir terbaru,  yang dimenangkan oleh Abdel Fattah el-Sisi, jenderal pemimpin kudeta yang melengserkan Morsi. Gaafar melihat hubungan antara kudeta dengan masa Akhenaten.

“Ada yang bilang kalau Morsi seperti Akhenaten, dan Sisi seperti Horemheb,” tutur Gaafar. “Horemheb membebaskan Mesir dari keadaan teokratis yang semakin melemah.” Ia melanjutkan, dengan penuh harap: “Dan ia menyiapkan jalan bagi periode Ramses, masa termegah dalam sejarah Mesir. Sama dengan Sisi —ia menyiapkan Mesir untuk menjadi besar lagi.”

Perasaan tersebut—menyiapkan Mesir untuk menjadi besar lagi—jauh lebih tua dibandingkan Sisi atau bahkan Akhenaten. Pada masa Mesir kuno, setelah periode lemah dan tercerai-berai, para pemimpin sering kali mengumumkan wehem mesut, secara harafiah berarti “mengulang kelahiran”—sebuah renaisans. Mereka berpaling kepada lambang kuno sebagai cara menggunakan kejayaan masa lampau sebagai janji bagi masa depan yang penuh keberhasilan. Tutankhamun mengumumkan wehem mesut, dan kelihatannya Horemheb juga demikian. Revolusi memperoleh legitimasi jika dihubungkan dengan masa lalu. Itulah sebabnya slogan di Tahrir sering diiringi dengan gambar Gamal Abdul Nasser dan Anwar Sadat. Inilah juga mengapa kaum marjinal di seluruh dunia, tertarik dengan figur Akhenaten.

Pada 2012, setelah Morsi dan Ikhwanul Muslimin berkuasa, mereka mengesahkan undang-undang dasar yang menyebutkan “monoteisme” Akhenaten, dan mereka menamakan program kebijakannya Nahda, istilah Arab untuk Renaisans.

Di Mesir, selalu ada godaan untuk memegang cermin modern guna melihat masa yang amat lampau, menciptakan kembali dunia firaun dalam gambaran kita. Namun, adalah benar pula bahwa orang Mesir kuno mengembangkan taktik politik canggih. Seni Amarna sering kali berfungsi sebagai propaganda, memperlihatkan Akhenaten memberi penghargaan bagi pencari muka dan berparade keliling kota dengan penjaga penuh hormat. Barry Kemp menulis, adegan itu menampilkan “karikatur tanpa sengaja tentang pemimpin modern yang menyenangkan hati orang dalam perangkap pertunjukan karismatik.”

Di situs Kuil Aten Besar, saya bertanya kepada Kemp, apakah pola pemikiran dan tingkah laku seperti itu bersifat universal di semua masa. “Kita semua ini spesies yang sama,” ujarnya. “Kita terhubung sampai tahap tertentu untuk berpikir dan berperilaku sama. Tetapi, tradisi yang dibentuk lama juga mengatur setiap masyarakat. Itulah tanggung jawabnya—untuk menemukan keseimbangan antara pola universal dengan pola yang khas secara kultural.”

Amarna Project, yang mengelola penelitian di situs itu, tetap memiliki kantor di Kairo dalam sebuah gedung di sebelah Tahrir. Anna Stevens berkata bahwa lingkungan ini memberikannya sudut pandang baru tentang masa lalu. “Hidup di masa ini membuat saya jauh lebih banyak berpikir tentang Akhenaten dan dampak revolusi,” tuturnya, merujuk kepada masa naiknya Sisi. “Saya menjadi tertarik dengan soal pemimpin pria yang kuat.” Ia pun berkomentar bahwa di Amarna, makam pejabat tinggi berhiaskan Aten serta keluarga kerajaan. Tetapi, sampai saat ini,  gambaran seperti ini belum ditemukan di permakaman rakyat biasa. “Tak disebutkan tentang Akhenaten atau Nefertiti,” ujarnya. “Kelihatannya itu bukanlah tempat mereka.”

Ia mengamati, dinamika yang sama ada dalam kaum elite politik masa kini. “Kau bisa lakukan perubahan yang amat radikal di atas, tetapi di bawahnya, tak ada yang berubah,” katanya. “Kau bisa menggeser seluruh kota ke bagian lain Mesir; kau bisa menggeser segenap kelompok orang ke Lapangan Tahrir—tetapi, tak ada yang berubah.”

Dalam pandangannya, revolusi adalah tindakan mendongeng yang selektif. “Akhenaten menciptakan kisah,” ujar Stevens pada suatu hari di kantornya. Lalu, ia menunjuk pada foto kerangka dari kuburan rakyat jelata. “Tetapi, kisah ini sungguh bukan untuk orang-orang ini.” Kisah mereka tak akan pernah benar-benar diketahui. Sama seperti kehidupan sebagian besar orang Mesir masa kini yang diabaikan, saat kita memusatkan perhatian kepada figur dominan politik nasional. Jika kita merasa sulit menangkap seluruh pengalaman re-volusioner selama enam tahun belakangan, mung-kinkah kita bisa memahami politik pertengahan abad ke-14 SM?

“Begitulah hidup,” kata Steven. Ia duduk enam lantai di atas Tahrir, dikelilingi oleh tebaran data dari ekskavasi Amarna. Namun, ia kelihatannya nyaman saja dengan ketidakpastian mendasar Akhenaten: misteri akan keyakinannya, pesan dari kerangka rakyatnya, dan semua pecahan yang tidak akan pernah disatukan lagi. Ia tersenyum dan berkata, “Tidak ada kisah yang jelas.”