Akhenaten Sang Pionir Pembaharu Mesir

By , Selasa, 23 Mei 2017 | 15:41 WIB

Ia lalu mengajak saya berkeliling museum, yang mempunyai lima lantai, 14 ruang pamer, dan sebuah bioskop, semuanya belum selesai dan terbuka diterpa cuaca. Di mana-mana berserakan ubin, baja rangka bangunan, dan saluran AC berkarat. “Awas ada kelelawar,” kata Shaben, sewaktu kami memasuki teater. Ia berkata suatu hari nanti akan ada 800 kursi di sana.

Seorang inspektur benda antik, Ahmad Gaafar, menemani kami. Ia mengeluhkan huru-hara politik yang menghambat kariernya sebagai kurator. Pola ini sepertinya abadi. Di semua tempat dan waktu, revolusi memangsa kaum muda. Gaafar menyinggung tentang pemilihan presiden Mesir terbaru,  yang dimenangkan oleh Abdel Fattah el-Sisi, jenderal pemimpin kudeta yang melengserkan Morsi. Gaafar melihat hubungan antara kudeta dengan masa Akhenaten.

“Ada yang bilang kalau Morsi seperti Akhenaten, dan Sisi seperti Horemheb,” tutur Gaafar. “Horemheb membebaskan Mesir dari keadaan teokratis yang semakin melemah.” Ia melanjutkan, dengan penuh harap: “Dan ia menyiapkan jalan bagi periode Ramses, masa termegah dalam sejarah Mesir. Sama dengan Sisi —ia menyiapkan Mesir untuk menjadi besar lagi.”

Perasaan tersebut—menyiapkan Mesir untuk menjadi besar lagi—jauh lebih tua dibandingkan Sisi atau bahkan Akhenaten. Pada masa Mesir kuno, setelah periode lemah dan tercerai-berai, para pemimpin sering kali mengumumkan wehem mesut, secara harafiah berarti “mengulang kelahiran”—sebuah renaisans. Mereka berpaling kepada lambang kuno sebagai cara menggunakan kejayaan masa lampau sebagai janji bagi masa depan yang penuh keberhasilan. Tutankhamun mengumumkan wehem mesut, dan kelihatannya Horemheb juga demikian. Revolusi memperoleh legitimasi jika dihubungkan dengan masa lalu. Itulah sebabnya slogan di Tahrir sering diiringi dengan gambar Gamal Abdul Nasser dan Anwar Sadat. Inilah juga mengapa kaum marjinal di seluruh dunia, tertarik dengan figur Akhenaten.

Pada 2012, setelah Morsi dan Ikhwanul Muslimin berkuasa, mereka mengesahkan undang-undang dasar yang menyebutkan “monoteisme” Akhenaten, dan mereka menamakan program kebijakannya Nahda, istilah Arab untuk Renaisans.

Di Mesir, selalu ada godaan untuk memegang cermin modern guna melihat masa yang amat lampau, menciptakan kembali dunia firaun dalam gambaran kita. Namun, adalah benar pula bahwa orang Mesir kuno mengembangkan taktik politik canggih. Seni Amarna sering kali berfungsi sebagai propaganda, memperlihatkan Akhenaten memberi penghargaan bagi pencari muka dan berparade keliling kota dengan penjaga penuh hormat. Barry Kemp menulis, adegan itu menampilkan “karikatur tanpa sengaja tentang pemimpin modern yang menyenangkan hati orang dalam perangkap pertunjukan karismatik.”

Di situs Kuil Aten Besar, saya bertanya kepada Kemp, apakah pola pemikiran dan tingkah laku seperti itu bersifat universal di semua masa. “Kita semua ini spesies yang sama,” ujarnya. “Kita terhubung sampai tahap tertentu untuk berpikir dan berperilaku sama. Tetapi, tradisi yang dibentuk lama juga mengatur setiap masyarakat. Itulah tanggung jawabnya—untuk menemukan keseimbangan antara pola universal dengan pola yang khas secara kultural.”

Amarna Project, yang mengelola penelitian di situs itu, tetap memiliki kantor di Kairo dalam sebuah gedung di sebelah Tahrir. Anna Stevens berkata bahwa lingkungan ini memberikannya sudut pandang baru tentang masa lalu. “Hidup di masa ini membuat saya jauh lebih banyak berpikir tentang Akhenaten dan dampak revolusi,” tuturnya, merujuk kepada masa naiknya Sisi. “Saya menjadi tertarik dengan soal pemimpin pria yang kuat.” Ia pun berkomentar bahwa di Amarna, makam pejabat tinggi berhiaskan Aten serta keluarga kerajaan. Tetapi, sampai saat ini,  gambaran seperti ini belum ditemukan di permakaman rakyat biasa. “Tak disebutkan tentang Akhenaten atau Nefertiti,” ujarnya. “Kelihatannya itu bukanlah tempat mereka.”

Ia mengamati, dinamika yang sama ada dalam kaum elite politik masa kini. “Kau bisa lakukan perubahan yang amat radikal di atas, tetapi di bawahnya, tak ada yang berubah,” katanya. “Kau bisa menggeser seluruh kota ke bagian lain Mesir; kau bisa menggeser segenap kelompok orang ke Lapangan Tahrir—tetapi, tak ada yang berubah.”

Dalam pandangannya, revolusi adalah tindakan mendongeng yang selektif. “Akhenaten menciptakan kisah,” ujar Stevens pada suatu hari di kantornya. Lalu, ia menunjuk pada foto kerangka dari kuburan rakyat jelata. “Tetapi, kisah ini sungguh bukan untuk orang-orang ini.” Kisah mereka tak akan pernah benar-benar diketahui. Sama seperti kehidupan sebagian besar orang Mesir masa kini yang diabaikan, saat kita memusatkan perhatian kepada figur dominan politik nasional. Jika kita merasa sulit menangkap seluruh pengalaman re-volusioner selama enam tahun belakangan, mung-kinkah kita bisa memahami politik pertengahan abad ke-14 SM?

“Begitulah hidup,” kata Steven. Ia duduk enam lantai di atas Tahrir, dikelilingi oleh tebaran data dari ekskavasi Amarna. Namun, ia kelihatannya nyaman saja dengan ketidakpastian mendasar Akhenaten: misteri akan keyakinannya, pesan dari kerangka rakyatnya, dan semua pecahan yang tidak akan pernah disatukan lagi. Ia tersenyum dan berkata, “Tidak ada kisah yang jelas.”