Nationalgeographic.co.id—Kehadiran timah di Bangka memang menguntungkan secara ekonomi. Akan tetapi, kehadirannya juga berbenturan dengan pelestarian planet. Ketika eksploitasi timah sudah lama terjadi, para tokoh di Muntok, Bangka Barat, bergegas mencari solusinya—apakah menjadikan bekas tambang jadi pariwisata, restoran, perkebunan, atau merawat budaya lama.
Apa yang menyebabkan eks tambang timah demikian memprihatinkan? Yang paling sederhana bahwa ia tidak elok di mata. Dari atas pesawat terlihat lubang-lubang besar dengan genangan air yang tenang di permukaan daratan Bangka. Lebih jauh lagi bahwa ia merusak keseimbangan alam.
Di sinilah kemampuan manusia menjadi penting untuk menjaga keadaan alam yang lestari sebagaimana mestinya, yaitu Build Back Better.
Build Back Better merupakan sebuah paradigma yang umumnya digunakan pada pemulihan pascabencana. Tujuannya ialah memulihkan kondisi yang rentan dan mentransformasikannya ke arah yang lebih baik. Paradigma ini diperkenalkan di dalam UN Sendai Frameork for Disaster Risk Reduction 2015-2030.
Baca Juga: Perjalanan Ramah Lingkungan dengan Bahan Bakar dari Sampah Plastik
Seorang pengusaha tambang di Muntok, Bangka Barat, notabenenya mengeruk timah untuk kepentingan pribadinya. Tak semua sadar bahwa pekerjaanya merusak alam. Namun tidak dengan seorang pengusaha tambang bernama Eddy Nayu.
Dia adalah pengusaha tambah yang memiliki lahan puluhan hektare di Kabupaten Bangka Barat. Dia sadar selama ini telah merusak alam. Menurutnya, Bangka Barat mempunyai peluang pariwisata yang tinggi setelah hasil timahnya habis. Selain Eddy Nayu, tokoh bernama Alfahri juga menjadikan lahan bekas tambang menjadi sebuah restoran.
Sementara itu, Ten Njok San, membuat lahan bekas tambang timah menjadi perkebunan. Sebelumnya, dia adalah nelayan. Saat ini, hasil kebunnya menjadi salah satu sumber penopang rumah tangganya.
Timah, pada gilirannya menjadi suatu komoditas yang langka. Suwito Wu, Ketua Hetika Bangka menjelaskan pihaknya membantu mempromosikan teh Tayu agar petani tidak beralih ke pertambangan dan tetap mempertahankan nilai luhur budaya Tionghoa. Usaha ini sudah dimulai duluan oleh Sugia Kam yang sekarang mempromosikan teh Tayu sebagai ikon heritage tea.
Sejak ratusan tahun silam, masyarakat memang mengeksploitasi timah di Pulau Bangka. Penambangan makin masif pada masa Kesultanan Palembang yang dimulai sejak 1730-an. Kuli-kuli dari daratan Tiongkok didatangkan untuk menjadi buruh tambang. Hal itu berlanjut sampai Bangka dikuasai penjajah Inggris dan Belanda. Setelah Proklamasi Kemerdekaan 17 Agustus 1945, pemerintah membentuk PT Timah Tbk untuk mengelola tambang timah yang sebelumnya dilakukan perusahaan Belanda.
“Penting untuk saya mengutarakan bahwa sejarah bangka adalah sejarah timah karena yang membesarkan nama Bangka yang kemudian menarik untuk diperbincangkan adalah timahnya,” ucap Bambang Haryo Suseno, Pelaksana Tugas (Plt) Kepala Dinas Pariwisata dan Kebudayaan Kabupaten Bangka Barat.
“Apakah masih akan terus menggantungkan perekonomian utamanya dengan timah yang sudah ratusan tahun ditambang? Apakah kemudian melirik beberapa sektor ekonomi lain yang akan menjadi kue baru bagi penduduknya?” tutupnya.