Memulihkan Kembali Tambang-tambang Timah Bangka Usai Eksploitasi

By Fikri Muhammad, Rabu, 2 Desember 2020 | 21:36 WIB
Wisata Aik Ketok, merupakan salah satu destinasi pariwisata eks tambang di Kampung Menjelang Baru, Muntok, Bangka Barat. Namun kondisinya terbengkalai sejak pandemi COVID-19. Terlihat kerangka bangunan miring ke kanan tak terurus. (Fikri Muhammad)

“Orang datang duduk-duduk jadi viral sendiri mereka swa foto sendiri. Nyebut ini Kolong Aik bening. Kita pelan-pelan pertama bangun jalan setapak keliling nggak tahu mau fungsi jadi apa. Biar orang mudah foto-foto jalan keliling. Akhirnya bikin restoran alam,” kata Alfahri.

Setelah membeli lahan dari temannya seluas 6 hektar, Alfahri mengakui tidak mengetahui lahan itu digunakan untuk apa. Rencana awalnya ia ingin mengelola perkebunan karena akses airnya mudah didapatkan.

Hingga muncul fenomena defisit air pada tahun yang sama di Muntok. Saat kemarau masyarakat kekurangan air bersih. Alfahri pun menjual air bersih dari air tanah yang menggenang di lahan bekas tambang.

“Jadi 2010 itu mulai fenomena alam, habis masa tambang, ternyata defisit air. Jadi tiap musim kemarau susah beli air. Mungkin karena hutan ditebang sehingga resapan airnya tidak ada. Jadi banyak mobil kecil ambil air ke sini. Air itu dijual ke rumah-rumah. Dijual Rp7.000 per ton,” kata Alfahri.

Baca Juga: Mengubah Tambang Tua Menjadi Hutan Pengisap Karbon, Apakah Mungkin?

Bekas tambangnya menjadi sumber mata air. Seperti sumur besar dengan kedalaman 15 meter. Penjualan airnya mulai laku dan ia berhasil mendapatkan kontrak dengan PT ASDP yang melayani penyeberangan Mentok-Palembang sebagai penyedia air untuk mandi dan cuci.

Dari usahanya itu, Alfahri mengumpulkan uang sedikit demi sedikit untuk mulai mengembangkan restoran. Ide membuat restoran terinspirasi dari banyaknya tamu yang datang ke Muntok tetapi susah mencari tempat makan dengan suasana pondok yang santai. “Jadi sebenernya ingin buka wawasan masyarakat di sini bahwa tidak selamanya bekas tambang itu sia-sia. Bisa dimanfaatkan untuk kegiatan ekonomis juga,” katanya.

Menu restoranya menyajikan masakan khas Muntok dan khas Palembang. Hidangan menu ikan laut dan ikan darat.

Aroma Dusun memiliki luas satu hektare dengan kapasitas penampungan 200 orang dan mempekerjakan masyarakat sekitar yang terkena dampak COVID-19. Sedangkan lima hektare lahan lainnya ia gunakan untuk menanam semangka yang mampu panen 40 ton tiap dua bulan. Juga ada durian dan karet. Keuntungan karet ia bagi kepada petani yang mengelolanya dan tidak masuk ke kantong pribadinya.

Sementara itu, omzet yang dihasilkan dari Aroma Dusun di bulan pertama pada 7 September 2020 mencapai 148 juta rupiah dan bulan kedua 120 juta rupiah. Dengan pendapatan rata-rata perhari mencapai empat juta rupiah.

Ke depan, Alfahri berencana untuk membangun sanggraloka. Angan-angannya ingin menjadikan bekas tambang seperti Dusun Bambu di Bandung. Ia juga mengharapkan peran pemerintah untuk membantu pariwisata di Muntok.

“Bangka Barat banyak potensi wisata. Kita juga buka pikiran orang bahwa eks tambang juga bisa ke bidang perekonomian lain,” kata Alfahri.