Memulihkan Kembali Tambang-tambang Timah Bangka Usai Eksploitasi

By Fikri Muhammad, Rabu, 2 Desember 2020 | 21:36 WIB
Wisata Aik Ketok, merupakan salah satu destinasi pariwisata eks tambang di Kampung Menjelang Baru, Muntok, Bangka Barat. Namun kondisinya terbengkalai sejak pandemi COVID-19. Terlihat kerangka bangunan miring ke kanan tak terurus. (Fikri Muhammad)

Baca Juga: Lokasi Tambang Berusia 12 Ribu Tahun Ditemukan di Gua Bawah Laut

Setelah rezim Orde Baru jatuh, pemerintah tidak menjadikan timah sebagai komoditas strategis. Semenjak itu masyarakat Bangka dan dari luar berbondong-bondong menggali tanah untuk mengambil timah. Banyak warga yang sebelumnya nelayan atau petani mulai mencari lahan-lahan yang mengandung timah atau ngecam, yakni cek lokasi tambang dengan sistem manual maupun alat berat.

“Manualnya digali dengan cangkul, lalu ada alat namanya dulang, tanah galian tadi didulang. Dilihat volume timah di tanah mencapai berapa. Kalau timahnya kurang lebih satu sendok teh atau makan berarti kandungan timahnya banyak. Berarti itu titik dilakukannya penambangan,” kata Yudianto alias Ali, Sekretaris Desa Air Putih, Muntok, Bangka Barat.

Ali adalah salah satu orang yang pernah bekerja di tambang timah milik temannya di Desa Air Putih. Boleh dikata dia terlambat untuk urusan tambang-menambang. Dia baru terjun di dunia tambang pada 2006. Penghasilan mingguannya delapan juta rupiah, dibagi empat orang, dengan penghasilan rata-rata satu ton. Harga satu kilogram timah saat itu mencapai Rp8.000.

Penambangan yang masif meningkatkan ekonomi masyarakat Desa Air Putih. Menurut Ali, banyak perumahan mulai berganti menjadi bangunan beton. Sebelumnya rumah-rumah itu berdinding kayu dengan gaya rumah panggung. Selain itu, banyak orang tua yang mampu menyekolahkan anak-anaknya ke jenjang perguruan tinggi.

Di Muntok, penambang timah yang sukses hanyalah milik orang-orang yang beruntung. Karena tidak ada jaminan sebuah lahan mengandung timah. Usaha ini seperti berjudi.

“Tidak semua lahan punya timah. Kita gambling. Secara logika banyak lahan akan menguntungkan. Tapi timah tidak di semua lahan itu. Timah itu menurut dari sudut penambang, itu rezeki alam, rezeki Tuhan kasih kita,” kata Eddy Nayu meceritakan perjalanannya menambang timah.

Eddy Nayu adalah seorang pengusaha timah sukses di Muntok. Awal karirnya di timah bermula sebagai kolektor di awal tahun 2000-an. Kemudian mulai menambang di lahan orang lain beberapa tahun kemudian. Sebagai gantinya ia membayar upah atas lahan itu.

Baru pada 2006 profit mulai terlihat. Sebelumnya hanya gali lubang tutup lubang. Sedikit demi sedikit dari keuntungan tambang Eddy diinvestasikan untuk membeli lahan.

Eddy punya banyak lahan. Namun ia sadar tak semuanya memiliki timah. Saat kondisi tambang menurun pasca-2006, ia memilih investasi properti. Setelah mulai stabil pada 2013, ia mendirikan CV RIFANA, tidak lagi menumpang di lahan orang. Usahanya itu juga bermitra dengan PT Timah Tbk.

Pria yang mencalonkan diri sebagai Calon Wakil Bupati Bangka Barat pada Pilkada Babar 2020 itu mengaku mendapat puluhan miliar rupiah setiap bulan pada 2010-2015. Eddy memiliki ratusan lahan di Muntok. Beberapa sudah dijadikan tambang.

Namun saat ini penghasilan tambang tidak sebesar dahulu. “Saat ini, untuk mendapat tiga perempatnya saja sudah sulit,” ucap Eddy.