Memulihkan Kembali Tambang-tambang Timah Bangka Usai Eksploitasi

By Fikri Muhammad, Rabu, 2 Desember 2020 | 21:36 WIB
Wisata Aik Ketok, merupakan salah satu destinasi pariwisata eks tambang di Kampung Menjelang Baru, Muntok, Bangka Barat. Namun kondisinya terbengkalai sejak pandemi COVID-19. Terlihat kerangka bangunan miring ke kanan tak terurus. (Fikri Muhammad)

Baca Juga: Napak Tilas Soekarno, Agenda Wisata Wajib di Bangka Barat

Bekas tambang yang dijadikan restoran bernama Aroma Dusun (Fikri Muhammad)

Danau buatan dengan air yang biru di tengah hamparan lahan yang gundul memang memiliki sensasi tertentu. Jika melihat dari sisi itu memang memiliki daya berita yang tinggi untuk menggaet pariwisata masal.

Kisah sukses ini terjadi di Belitung menurut Dr. Medrilzam, Direktur Lingkungan Hidup Bappenas dan Helen Mountford, Vice President for Climate & Economics World Resource Institute (WRI), pada tulisannya di laman WRI Indonesia. Disebutkan bahwa penambangan timah Belitung telah beralih ke industri ekowisata dengan membangun Belitung Mangrove Park yang berhasil membuka lapangan kerja untuk 164 penduduk dan menghasilkan manfaat ekonomi senilai Rp50 – 65 juta perbulan. Bahkan, program ini menarik investasi tambahan sebesar Rp21,9 miliar. Angka ini meningkat drastis dari investasi awal sebesar Rp2 miliar.

Namun yang menjadi pertanyaan, apakah pengalihan timah menjadi pariwisata di Bangka mampu  memikat kunjungan kembali yang cukup tinggi? Apakah perlu melihatnya dari sudut pandang lain untuk menyempurnakannya?

Bambang Haryo Suseno, mengatakan bahwa wisata berbasis tambang semestinya berbicara soal edukasi di dalamnya. Seperti museum yang mengenalkan unsur nilai sejarah dari tambang di Muntok.

“Saya sedang tertarik dengan ide mengembangkan sebuah pariwisata yang bertumpu kepada sektor edukasi dan budaya. Saya lagi memiliki minat atas sudut pandang itu. Karena yang kemudian dikedepankan value. Titik tekannya bukan lagi kepada sudut pandang sumber daya itu secara harfiah,” kata Suseno.

Menurut Suseno mengungkap makna di balik sumber daya jauh memiliki nilai yang lebih unggul ketimbang penampilan fisik. Pariwisata tambang bisa menambahkan unsur legenda dan sejarah. Supaya para pengunjung memiliki sentimental dan rasa kepemilikan yang tinggi. Hal ini menurutnya memungkinan seseorang untuk membayar lebih mahal atas pariwisata.

Baca Juga: Menjelajah di Labuan Bajo dan Pulau Komodo, Surga Sang Naga Purba

“Saya rasa akan lebih menarik kita mengembangkan semacam wisata tambang timah Bangka, kemudian kolong-kolong itu dimaknai sebagai monumen atas sebuah jejak peradaban masa lalu. Yang seperti ini loh tambang itu. Ternyata dia merusak melukai Bumi. Kita maknai tambang supaya tidak lagi banyak tambang yang merusak secara sia-sia,” kata Suseno.

Fakhrizal Abubakar, Kepala Museum Timah Muntok, berpendapat senada. Bahwa bekas tambang akan jauh lebih baik apabila tidak hanya dijadikan pariwisata. Bisa jadi sebuah budidaya yang menghidupi kebutuhan perekonomian yang berkelanjutan.

 “Jadi jangan semua dijadikan pariwisata. Sekarang orang berkunjung kurang. Kalo melihara lele, bebek, mungkin harganya bisa mahal,” kata Fakhrizal.

Adapun Ten Njok San, seorang mantan nelayan era 80-an, menjadikan bekas tambang menjadi lahan perkebunan yang ia kelola sejak tahun 2018.

Dahulu, ia mengelola lahan tambang bekas PT Timah. Tepat setelah Orde Baru berakhir. Ia berani menambang di sana karena lahannya sudah ditinggalkan oleh PT Timah.

“Lahannya ditinggalkan. Mereka punya mess, camp, dan kapal keruk. Terus cadangan timahnya menipis mereka pindah semuanya. Pindah ke daerah Jebus. Menjadi eks tambang. Waktu itu belum direklamasi. Kita nambang di situ,” kata Ten Njok San.

Ten Njok San menambang sebagai batu loncatan karena menjadi nelayan penghasilannya pas-pasan. Namun pikirnya, menjadi penambang akan ada masa habisnya. Untuk itu ia investasi ke perkebunan karet. “Saya sadar kalo kita budidaya enggak akan ada habisnya,” katanya.

Lahan tambangnya mempunyai luas 6,7 hektare. Pada zamanya, satu unit mesin skala kecil bisa menghasilkan Rp1.000.000 sekali tambang dengan berat maksimal 200 kg. Namun lama-kelamaan menambang timah lebih banyak rugi dari pada untungnya.

“Ya, seperti berjudi. Dibuka sama ekskavator. Disedot timahnya enggak ada. Itu padahal udah pake perhitungan. Kadang udah pake test speed, pake eksakavator sekali disedot enggak ada,” katanya. “Kalau kata orang, timah ada perinya. Jangan sembarangan. Banyak mati ditimpa tanah waktu dia lagi nyemprot. Semakin banyak nyemprot ketimpa tanah dari atas,” Ten Njok San menceritakan mitos tentang peri yang menjaga timah dari keserakahan manusia.

Baca Juga: Filosofi Warna pada Pakaian Adat Melayu Pulau Penyengat

Bekas tambang Ten Njok San di Desa Air Putih yang dijadikan kebun karet. (Fikri Muhammad)

Berkebun menurut Ten Njok San lebih menguntungkan di era sekarang dibanding menambang. Juga lebih ramah lingkungan.

Saat ini, 4 hektare lahannya dijadikan perkebunan karet. Sedangkan 2,7 hektare lainnya ditanami alpukat dan durian.

“Karet kita ini kan produktifnya kurang lebih 30 tahun. Sementara saya punya ini hampir 20 tahun. Jadi mungkin 10 tahun lagi masa produktifnya. Pascaperemajaan, kan eknomi kita gonjang-ganjing nggak ada pemasukan. Jadi kita juga nanam alpukat, katanya tiga tahun udah berbuah. Saya juga nanam durian untuk pelengkap supaya tidak jenuh,” katanya.

Ten Njok San tidak bisa memprediksi apakah timah akan habis atau tidak. Teknologi semakin berkembang, timahnya sedikit, dan harganya semakin mahal. Akan Tetapi perkebunan adalah hal yang berkelanjutan. “Kalau kita berkebun nggak ada judinya. Itu udah pasti,” tutupnya.