Nationalgeographic.co.id – Bawang merah merupakan komoditas yang harganya begitu sensitif. Cuaca yang kurang mendukung pertumbuhannya, membuat harganya melambung tinggi. Begitu juga ketika permintaan melonjak di pasaran.
Namun, saat stok terlalu penuh di pasar dan permintaan turun, harganya bisa sangat anjlok. Mengalami fenomena pasang surut harga bawang merah, para petani bawang di Indramayu akhirnya memutar otak untuk berinovasi.
Mereka tidak hanya menjual bawang mentah, tetapi juga mengolahnya menjadi bentuk panganan lain yang juga bernilai ekonomi.
Para petani di Desa Losarang, Kabupaten Indramayu yang tergabung dalam kelompok Protol Jaya mengolah bawang menjadi bawang goreng dengan aneka varian rasa. Di antaranya adalah original, pedas, cumi asin, cumi asin pedas, terasi, terasi pedas, rebon, rebon pedas, teri, teri pedas, jeruk purut, dan jeruk purut pedas.
Baca Juga: Terobosan Indonesia dalam Memasarkan Produk-produknya di Korea Utara
Produk bawang goreng tersebut diberi merek Bagore, akronim dari bawang goreng renyah. Tidak main-main, produk bawang goreng kemasan ini sekarang sudah merambah pasar internasional.
Toko-toko di Hongkong dan Taiwan, di mana diaspora Indonesia banyak tinggal, menjual produk bawang goreng kemasan ini. Dalam satu tahun Protol Jaya dapat menjual minimal satu kilo atau setara 4-5 toples Bagore ke distributor di dua negara tersebut.
“Awalnya, kami lihat harga bawang murah. Harganya turun. Akhirnya, kami coba bikin bawang olahan,” cerita Sunadi sebagai ketua Protol Jaya saat ditemui tim National Geographic Indonesia, Kamis (17/11/2020).
Perjalanan membawa Bagore untuk dikenal oleh masyarakat pun tidak mudah. Kelompok Protol Jaya membutuhkan uji coba selama tiga bulan dengan memasarkan produk ke warga setempat. Hasilnya, produk ini mendapatkan respons positif dari para pelanggan.
Baca Juga: Geliat Juang Boyolali, Perbaiki Alam hingga Berdayakan Kaum Difabel
“Ternyata ini (bawang goreng –red) sangat berpotensi banget. Kami tidak menyangka bawang goreng bisa jadi unggulan,” cerita Sunadi.
Kesuksesan produk Bagore yang diproduksi oleh kelompok Protol Jaya tidak lepas dari peran PT Pertamina EP Asset 3 Jatibarang Field. Pertamina membantu penguatan sarana, infrastruktur, dan pelatihan masyarakat untuk memasarkan produk ini.
Sunadi mengatakan, para petani bawang diberi pelatihan untuk pengemasan, memastikan kebersihan dan keamanan produk, hingga pemasaran.
“Kami diajari untuk jual di media sosial, (seperti) Facebook, Instagram, marketplace ada juga. Dari situ muncul reseller,” ujar Sunadi.
Baca Juga: Di Kulonprogo, Mereka yang Muda Upayakan Ketahanan Pangan
Sunadi turut mengatakan, penjualan selama pandemi justru meningkat berkat adanya reseller yang tersebar di beberapa kota seperti Purwokerto, Semarang, dan Gresik. Bahkan, saat bulan puasa 2020 penjualan Bagore tembus hingga 3000 toples dalam sebulan.
Bahkan, kini produk Bagore telah mendapatkan izin Produksi Industri Rumah Tangga dari Dinas Kesehatan setempat berkat bantuan dari Pertamina.
Program ini merupakan langkah CSR untuk mewujudkan tujuan pembangunan berkelanjutan atau sustainable development goals (SDGs) dalam aspek industri dan inovasi, serta pertumbuhan ekonomi masyarakat desa.
Komitmen berdayakan masyarakat tani
Perjalanan Pertamina membawa kesejahteraan masyarakat tani tidak berhenti sampai di Indramayu saja. Program pengembangan desa khususnya di sektor pertanian turut dilakukan di Desa Bengas Wetan, Majalengka.
Baca Juga: Kisah Surat Wiyoto, Melindungi Hidup Merak Hijau Demi Lestarikan Reog Ponorogo
Petani di Desa Bengas Wetan mengalami kesulitan untuk bertani. Sebab, tanah-tanah di sana banyak yang dialihfungsikan menjadi lahan untuk membangun pabrik dan kontrakan.
Melihat permasalahan ini, Pertamina bekerjasama dengan Institut Petanian Bogor (IPB) mengadakan pelatihan bagaimana memanfaatkan lahan pekarangan yang tidak luas tetapi produktif.
Pertamina kemudian membentuk Kelompok Wanita Tani (KWT). Bermodalkan tanah dan polybag para anggota KWT melakukan penanaman mandiri di pekarangan rumah mereka.
Hasilnya pun cukup memuaskan. Mereka berhasil memanen berbagai sayuran mulai dari kangkung, bayam, hingga terong. Kesuksesan para wanita tani ini akhirnya membuat Desa Bongas Wetan mempercayakan lahan seluas 600 meter persegi kepada mereka untuk ditanduri berbagai macam produk pertanian.
Baca Juga: Peneliti Ungkap Peradaban Pertanian Papua Nugini 1000 Tahun Lebih Awal
Hasil tani yang apik, membuat produk tersebut dikenal hingga ke luar Desa Bongas Wetan. Tidak jarang, para KWT mendapat banyak pesanan setelah panen.
“Untuk terung dengan berat sekitar 1 kilogram-nya dihargai Rp 5000. Sedangkan labu madu memiliki harga yang cukup tinggi dibandingkan produk tani yang lain, yaitu sekitar Rp 25.000 per kilogramnya,” ungkap Mimin Rumini, ketua KWT.
Upaya pemberdayaan masyarakat tani di Desa Bengas Wetan juga dilakukan Pertamina dengan membentuk Pusat Edukasi Pertanian Pemuda Pecinta Pertanian dan Lingkungan Generasi Milenial Bongas Wetan (Pepeling Gembos).
Model penanaman hidroponik pun menjadi salah satu materi utama yang diberikan pada Pepeling Gembos untuk menggarap lahan bekas mes Pertamina di desa tersebut.
Baca Juga: Memetik Manfaat dari Kebun Hidroponik Pokbun Flamboyan
Ketua Kelompok Pepeling Gembos Sujono Tri Pamungkas mengatakan, pemilihan model hidroponik didasarkan pada minat dan tren yang sedang digemari oleh anak-anak muda.
“Banyak anak muda yang tidak tertarik dengan pertanian. Oleh karena itu, model hidroponik ini menjadi andalan kelompok kita untuk menarik minat anak muda untuk bertani,” ungkap pria yang akrab disapa Jo tersebut.
Lahan tanam Pepeling gembos bisa menanam lebih dari 21 jenis tanaman. Hasil tani ini ada yang dikonsumsi oleh anggota, ada juga yang dijual melalui media sosial Facebook dan Instagram dengan nama akun @pepeling_gembos.
Langkah ini juga merupakan salah satu wujud pembangunan berkelanjutan oleh CSR Pertamina untuk mencapai tujuan ketahanan pangan dan mendukung pertanian berkelanjutan serta pertumbuhan ekonomi masyarakat.
“Kita punya mimpi besar, yaitu menjadikan lahan pertanian Pepeling Gembos ini sebagai Pusat Edukasi Pertanian yang bisa diakses oleh siapapun, khususnya anak-anak muda,” tutup Jo.