Kopi Kang dan Budidaya Maggot, Upaya Unik Warga Jawa Barat Jaga Kelestarian Lingkungan

By Nana Triana, Jumat, 11 Desember 2020 | 17:46 WIB
Petani berjalan di antara pohon kopi di Cipaganti, Cisurupan, Kabupaten Garut. (SEPTIANJAR MUHARAM)

Nationalgeographic.co.id - Kukang merupakan primata yang kerap dijuluki hewan pemalu. Sifat satwa yang panjang tubuhnya berkisar antara 20 sampai 30 centimeter ini memang dikenal tidak agresif dan hanya aktif di malam hari.

Rambutnya berwarna kecoklatan, hingga kehitam-hitaman. Kepalanya bulat dan moncongnya meruncing. Cirinya yang paling khas adalah mata bulat sempurna seperti kelereng yang membuat wajahnya terlihat jenaka.

Melalui penelitian yang dilakukan Boddaert pada 1785, hewan yang selalu bergerak alon-alon asal kelakon ini memiliki delapan jenis spesies.Dari delapan spesies yang tersebar di berbagai wilayah Asia Tenggara, empat di antaranya berada di wilayah hutan Jawa, Sumatera, dan Kalimantan.

Selebihnya ada di Thailand, Semenanjung Malaya, dan kawasan Indochina yakni Laos, China bagian Selatan, Vietnam, dan Kamboja. Sayangnya, jumlah populasinya hingga kini terus berkurang bahkan dikhawatirkan terancam punah.

Baca Juga: Kisah Garuda Rinjani, Kaum Difabel dari Mataram yang Berdikari

Beberapa pemberitaan memaparkan bagaimana hewan yang dilindungi ini dijual secara ilegal di pasar-pasar satwa dengan harga Rp 150.000 hingga Rp 250.000 untuk dijadikan binatang peliharaan.

Berangkat dari kepedulian akan kondisi populasi kukang yang terancam punah, sekelompok warga Desa Cipaganti, Garut membentuk Yayasan Muka Geni pada 2017.

Yayasan Muka Geni dengan aktif melakukan sosialisasi dan edukasi ke warga mengenai usaha pelestarian kukang, khususnya spesies Nycticebus javanicus yang menghuni kawasan terbatas di kaki Gunung Papandayan. Uniknya, pelestarian kukang dilakukan dengan membudidayakan kopi.

Desa Cipaganti memang memiliki area perkebunan kopi seluas 50 hektare. Namun, kopi tidak dijadikan komoditas tani yang utama. Sayuran dan buah-buahan yang masa panennya lebih pendek dinilai lebih mudah dan menguntungkan untuk ditanam oleh warga desa.

Baca Juga: Desanya Tak Lagi Membara, Warga Sei Pakning Dulang Berkah Wangi dari Lahan Gambut

Kopi hanya dijadikan tanaman penyeling masa panen yang ditanam dengan sistem tumpang sari. Padahal, jika dikembangkan kopi dari daerah ini bisa menjadi komoditas potensial. Selain itu, penambahan kebun-kebun kopi di area permukiman warga menjadi jalan untuk menjaga kelestarian kukang.

Dengan adanya kebun-kebun kopi di perbatasan antara habitatnya dengan permukiman, pergerakan kukang masuk ke rumah-rumah penduduk akan terhambat. Dengan begitu, kelestariannya terhindar dari tangan-tangan jahil.

Sebab, kukang akan terdistraksi dengan tanaman kopi dan lebih tertarik memakan hama dari pohon-pohon kopi. Di sisi lain, kehadiran kukang di kebun kopi akan membantu proses penyemaian biji. Jadi, ada simbiosis mutualisme antara kukang dengan warga Desa Cipaganti.

Oleh sebab itu, Yayasan Muka Geni memproduksi dan menjual kopi dengan merek “Kopi Kang!”. Biji kopinya dibeli dari kebun-kebun warga.

Baca Juga: Kolaborasi Tangani Sampah Puntung Dimulai dari Kesadaran Diri

“Kami belajar dari teman-teman yang sudah biasa mengolah kopi. Misi kami adalah mengenalkan dulu nilai ekonomi kopi bagi masyarakat desa. Ketika sudah menyadari nilai ekonominya, harapannya mereka akan tergerak membuka lahan-lahan kebun kopi,” ujar Dendy Hartandi salah satu pengurus Yayasan Muka Geni saat ditemui National Geographic Indonesia, Kamis (19/11/2020).

Saat ini Yayasan Muka Geni menerima berapapun hasil panen kopi dari warga untuk diolah dan diberi label “Kopi Kang!”. Tidak peduli hanya satu atau dua kilo, biji kopi dari kebun warga akan dihargai dengan pantas. 

“Ada sebagian warga menanam pohon kopi di pekarangan rumahnya. Karena hasil panen yang terbatas terkadang membuat mereka bingung untuk menjualnya. Untuk itu, Yayasan Muka Geni menjadi pembeli hasil panen warga berapapun beratnya,” tambah Dendy.

Untuk mendorong dibukanya lebih banyak kebun kopi, Yayasan Muka Geni membagikan bibit-bibit kopi kepada warga desa. Dendy menyiapkan kurang lebih 3.000 bibit kopi yang disemai di pekarangan rumahnya untuk dibagikan kepada warga.

Baca Juga: Menilik Buah Manis Konservasi Ekosistem Pantai di Kabupaten Bangkalan

Bak gayung bersambut, upaya Dendy dan Yayasan Muka Geni masuk radar Pertamina yang memiliki misi sama dengan yaitu mewujudkan lingkungan yang berkelanjutan dan kesejahteraan masyarakat.

Melalui PT Pertamina (Persero) Fuel Terminal (FT) Bandung, pendampingan dan pelatihan kepada Yayasan Muka Geni dan warga Cipaganti diberikan oleh Pertamina. Pelatihan dilakukan mulai dari proses penanaman bibit kopi hingga proses pengemasan produk.

Selain itu, Pertamina juga menyediakan alat pengolahan biji kopi, hingga membantu perumusan strategi pemasaran Kopi Kang!.

Perlahan tapi pasti, Kopi Kang! akan membantu kukang untuk memiliki rumah yang nyaman di desa Cipaganti. Sementara itu, warga akan ikut menikmati berkah dari panen kopinya nanti.

Baca Juga: Membelah Segara Anakan, Menilik Dusun Mandiri Energi di Pesisir Jawa

Budidaya maggot sebagai solusi permasalahan lingkungan

Yanto Sopiyan (kanan) bersama rekannya membersihkan box berisi maggot. (SEPTIANJAR MUHARAM)

Tidak hanya mendorong pelestarian Kukang di desa Cipaganti, Garut, upaya Pertamina mendorong masyarakat untuk peduli akan lingkungan sekitar juga dilakukan di Kelurahan Cipamokolan, Bandung Selatan.

Untuk mendukung penanggulangan masalah sampah yang sempat menjadi isu memprihatinkan di Bandung, Pertamina mendukung upaya Yanto Sopian membudidayakan lalat berjenis black soldier fly (BSF). Lalat ini dapat membantu mengurai sampah rumah tangga.

Budidaya BSF ini bermula dari kepedulian Yanto dan istrinya akan kondisi memprihatinkan di lingkungan tempat tinggalnya. Tumpukan sampah rumah tangga terus menggunung karena tempat pembuangan sampah yang terbatas.

Sampah yang meluber hingga ke badan jalan tersebut menyebabkan aroma tak sedap. Hanya dalam waktu seminggu sampah di wilayah tempatnya tinggal bisa menggunung hingga 8 ton alias 6 truk sampah.

Baca Juga: Layanan Puskemas Keliling Jadi Harapan Baru Bagi Warga Pesisir di Sorong

Awalnya, untuk membantu mengatasi persoalan tersebut Yanto mendorong warga untuk memilah sampah organik dan anorganik. Ternyata, upaya tersebut tidak berhasil. Sebab, sampah organik pun tidak dapat terurai dengan sendirinya.

Akhirnya, terbersit ide untuk membudidayakan lalat BSF demi menghasilkan maggot (belatung) yang dapat membantu mengurai sampah dengan cepat. Upaya Yanto mendapat dukungan dari Pertamina.

Melalui program Budidaya Maggot dan Pupuk Organik (Bu Manik), Pertamina membantu Yanto dan warga Cipamokolan untuk membuat posko penguraian sampah organik. Selain itu membangun sarana budidaya maggot.

Siklus hidup maggot lalat BSF dari telur, larva maggot, hingga maggot dewasa membutuhkan waktu 40-45 hari. Satu kilogram maggot mampu mengurai 1 kilogram sampah organik dapur (SOD). Maggot pun tidak mengenal diet. Selama 24 jam, sampah akan terus dilahap.

Baca Juga: Bebila dan Jalak Anguci, Tarian Sunyi Komunitas Kolok dari Desa Bengkala

“Bahkan, pernah 100 kilogram lebih sampah habis terurai hanya dalam 1 hari,” kata Yanto.

Kehadiran Bu Manik di Cipamokolan membuat warga hidup nyaman tanpa perlu menutup hidung karena bau tak sedap yang dihasilkan sampah yang menumpuk.

Suasana tempat Budidaya Maggot dan Pupuk Organik BU MANIK. ()

Aang Suhara, pengurus RW 02 di Kelurahan Cipamokolan mengatakan, dengan adanya budidaya maggot sebanyak 50 persen total sampah yang dihasilkan warganya dapat terurai dengan cepat.

“Dahulu sampah bisa sampai empat kali diangkut untuk dibawa ke tempat pembuangan akhir (TPA). Sejak adanya sistem pengolahan sampah dengan maggot BSF, truk sampah hanya dua kali datang,” ujarnya.

Tak hanya itu, pupuk organik yang dihasilkan maggot berhasil menjadi ladang penghasilan baru. Selain itu, lalat BSF terus menghasilkan larva yang cukup banyak. Kelebihan maggot dapat dijadikan pakan ayam dan ikan lele.

Baca Juga: Deretan Destinasi untuk Menikmati Petualangan Luar Biasa di Indonesia

“Terkadang yang terlihat jelek dan menjijikkan, justru jadi pembawa keberuntungan,” kata Yanto.  

Langkah PT Pertamina (Persero) memberikan bantuan kepada Yayasan Muka Geni dan menginisasi program Bu Manik ini menjadi bentuk dukungan perseroan terhadap tujuan pembangunan berkelanjutan atau Sustainable Development Goals (SDGs).

Terutama, pada poin melindungi, memulihkan, dan mendukung penggunaan yang berkelanjutan terhadap ekosistem daratan.