Nationalgeographic.co.id – Sore itu, iringan musik gamelan khas Bali mengiringi setiap gerakan dua gadis dengan pakaian serba putih serta selendang indah yang melingkar di sekitar pinggul mereka.
Kedua gadis itu tampak menunjukkan posisi tapak sirang pada yang sempurna. Dalam bahasa Bali, tapak sirang pada artinya telapak kaki menyerong dengan tumit kaki kiri dan kanan saling menempel
Sesekali, kedua gadis itu melebarkan selendangnya seolah sedang mengepakkan sayap sambil berputar-putar dengan indah. Gerakan mereka begitu lihai dan tersinkronisasi.
Gerakan tersebut terinspirasi dari burung Jalak Bali yang merupakan ikon Pulau Dewata. Kedua gadis yang bergerak saling mengiringi satu sama lain, melambangkan kesetiaan burung Jalak yang setia untuk selalu terbang bersama pasangannya. Itulah sebabnya, tarian ini dinamai Tari Jalak Anguci.
Baca Juga: Rencanakan Liburan Lebih Bermakna, Kunjungi 4 Destinasi Ekowisata di Bali Ini
Namun, siapa sangka, kedua gadis itu bergerak menari tanpa mengandalkan ritme musik sama sekali. Justru yang terjadi adalah sebaliknya—penabuh musik yang menyesuaikan tiap lenggokan para penari.
Sebab, kedua penari tersebut adalah bagian dari komunitas kolok, yang dalam bahasa Bali berarti tuli bisu. Bak seorang profesional, mereka menari dalam kesunyian.
Tari Jalak Anguci diakhiri dengan gerakan mengitari satu sama lain dengan selendang yang dikepakkan bagai sayap, sebelum akhirnya kedua gadis tadi bergerak lengser dari panggung pertunjukkan.
Namun, panggung pertunjukkan seni tari Desa Bengkala belum berakhir. Setelah dua gadis tadi lengser, delapan pria yang juga berpakaian serba putih muncul mengambil alih pertunjukkan.
Satu pria diantaranya berperan sebagai komando atau pemimpin kelompok. Sementara, tujuh lainnya bergerak mengikuti sang komando dengan mengepakkan tangan mereka bak seekor bebek.
Baca Juga: Memahami Wisata Minat Khusus yang Menyasar Pejalan-pejalan Berkualitas
Tidak heran, sebab tarian tersebut bernama Tari Bebek Bingar Bengkala atau Bebila. Tarian ini menggambarkan semangat dari masyarakat kolok yang tetap ceria melakoni apa saja yang ada dalam hidup mereka.
Penulis | : | Yussy Maulia |
Editor | : | Sheila Respati |
KOMENTAR