Tak Hanya Sebabkan Krisis Kesehatan dan Ekonomi, Covid-19 Turut Ancam Keberlangsungan Ekosistem Laut

By Sheila Respati, Minggu, 27 Desember 2020 | 11:03 WIB
pandemi Covid-19 memicu peningkatan pencemaran lingkungan laut dari limbah plastik bekas alat pelindung diri (APD). (Shutterstock)

Nationalgeographic.co.id - Pandemi Coronavirus Disease 2019 (Covid-19) yang masih bergulir hingga saat ini telah memberikan dampak besar di berbagai sektor.

Tidak hanya sektor kesehatan, sektor lain seperti ekonomi, sosial, dan lingkungan juga menerima dampak serius akibat pandemi ini.

Dari segi ekonomi, banyak negara di dunia mengalami siklus resesi yang ditandai dengan penurunan secara signifikan pertumbuhan ekonomi dalam dua kuartal secara berturut-turut.

Kondisi tersebut terjadi lantaran penyokong produk domestik bruto (PDB) anjlok, seperti industri terkontraksi dalam periode panjang, peningkatan pengangguran, penurunan penghasilan, serta penurunan penjualan grosir dan ritel.

Dari segi lingkungan, Covid-19 bisa diibaratkan sebagai pisau bermata dua yang punya sisi negatif dan positif.

Baca Juga: Manusia Berisiko Tularkan COVID-19 ke Hewan, Perlu Jaga Jarak

Untuk sisi positif, tingkat polusi udara sempat mengalami penurunan saat negara-negara memberlakukan kebijakan lockdown atau pembatasan sosial.

Catatan dari Centre for Research on Energy and Clean Air (CREA) pada Maret 2020 menyebut, selama masa pandemi, terdapat penurunan gas polutan nitrogen dioksida sebesar 40 persen jika dibandingkan pada 2019.

Temuan dari European Space Agency (ESA) juga mendukung pernyataan CREA dengan menyebut ada penurunan tingkat gas polutan udara selama Maret 2020 di sejumlah kota besar, seperti Beijing, Paris, Madrid, dan Roma.

Untuk sisi negatif, pandemi Covid-19 memicu peningkatan pencemaran lingkungan laut dari limbah plastik bekas alat pelindung diri (APD).

Berdasarkan laporan dari South China Morning Post, pada Sabtu (9/8/2020), semenjak Covid-19 mewabah, krisis sampah plastik kian bergejolak. Hal ini ditandai dengan banyaknya sampah medis sekali pakai di laut.

Baca Juga: Pandemi COVID-19, Sampah Masker dan APD Banyak Ditemukan di Pantai

Melansir Kompas.com, Selasa (22/12/2020), Pendiri Oceans Asia Gary Stokes mengungkapkan kepada AFP, pihaknya menemukan tumpukan limbah masker sekali pakai di pantai-pantai Hong Kong.

“Para Konservasionis kami menemukan 70 sampah masker di sepanjang 100 meter garis pantai. Ada sekitar 30 masker lain yang hanyut ke laut,” papar Gary.

Situs Ocean Conservancy mencatat, terdapat 129 miliar masker sekali pakai dan 65 miliar sarung tangan medis yang digunakan di seluruh dunia setiap bulan. Jumlah ini dilaporkan terus meroket setelah Covid-19 mewabah dari awal Maret 2020.

Tren belanja online dan food delivery meningkat

Tidak hanya limbah medis, meningkatnya aktivitas belanja online dan food delivery ditengarai juga jadi penyebab bertambahnya sampah plastik di laut sepanjang masa pandemi.

Perusahaan layanan transportasi GoJek mengungkapkan, transaksi daring mengalami peningkatan signifikan. Transaksi di berbagai jenis layanan ini sebagian besar melibatkan penggunaan plastik.

“Transaksi layanan pada Maret sampai Mei 2020 untuk GoFood dan GoMart naik hingga tiga kali lipat dibandingkan periode sebelumnya, yakni Desember 2019 sampai Februari 2020,” jelas Chief of Corporate Affairs Nila Martina , dikutip dari Kompas.com, Senin (13/7/2020).

Untuk mengakali penggunaan plastik berlebih, GoJek telah menyiapkan insulated bag atau tas pengantar makanan khusus kepada mitra pengemudi.

Baca Juga: Daur Ulang Baju Wisuda Sebagai APD, Beramal Membantu Tenaga Medis

Insulated bag ini dirancang guna memudahkan mitra driver dalam mengantarkan pesanan dan mengurangi penggunaan kantong plastik,” terang Vice President Ops & Jabodetabek Gede Manggala kepada Kompas.com, (8/3/2020).

Namun sayangnya, insulated bag ini masih belum bisa diterima seluruh mitra GoJek. Banyak driver GoJek mengaku belum mendapatkan tas pesan-antar ini lantaran persediaannya terbatas.

Mengutip Kompas.com, Selasa (22/12/2020), Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) menyebut, selain tren makanan pesan-antar, intensitas belanja online meningkat tajam selama masa work from home (WFH) atau masa Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB), khususnya di wilayah Jabodetabek.

Menurut LIPI, masyarakat Jabodetabek setidaknya melakukan 1 sampai 10 kali transaksi belanja daring tiap hari, meningkat drastis dibandingkan sebelum pandemi yang hanya 1 sampai 5 kali transaksi setiap hari.

Baca Juga: Pakai APD Seadanya, Tukang Cukur Ini Tetap Layani Pelanggannya di Tengah Wabah

LIPI juga menemukan bahwa hampir 96 persen pembungkus produk dalam transaksi daring tersebut menggunakan plastik tebal dengan tambahan bubble wrap dan selotip plastik.

Temuan LIPI lainnya terkait penggunaan plastik selama pandemi, kebanyakan konsumen memilih untuk menyiagakan plastik tambahan guna melindungi diri dari risiko tertular Covid-19.

Limbah plastik membunuh biota laut

Selain membahayakan petugas kebersihan di tempat pembuangan akhir (TPA), peningkatan limbah plastik hasil pandemi juga berpotensi “terlepas” ke lautan jika tidak dikelola dengan benar di darat.

Perlu diketahui, masker medis sekali pakai memiliki kandungan polipropilena (PP) yang merupakan jenis plastik kedua terbanyak digunakan di seluruh dunia.

Plastik jenis ini memiliki rentan umur sekitar 450 tahun untuk bisa terurai. Ketika terurai pun, plastik PP tidak akan langsung hilang dan akan berubah menjadi partikel yang lebih kecil, atau biasa disebut mikroplastik.

Berdasarkan laporan Jenna Jambeck dalam Jurnal Science yang berjudul Plastic Waste Inputs from Land into the Ocean yang terbit pada Februari 2015, Indonesia berada pada peringkat kedua di bawah China sebagai negara paling bertanggung jawab atas lebih dari 50 persen keseluruhan sampah plastik di lautan.

Baca Juga: Apakah Ekonomi Sirkular Bisa Menjadi Solusi Permasalahan Lingkungan?

Data tersebut memaparkan, terdapat sekitar 187,2 juta ton polusi sampah di pesisir Indonesia dengan komposisi 3,22 ton di antaranya belum terkelola dengan baik. Hal ini diperkirakan mengakibatkan kebocoran 0,48 sampai 1,29 juta ton metrik sampah plastik per tahun ke lautan.

Sementara itu, Publikasi Statistik Lingkungan Hidup Indonesia tentang Pengelolaan Sampah Tahun 2018 yang dilakukan Badan Pusat Statistik (BPS) dan Asosiasi Industri Plastik Indonesia (INAPLAS) mengungkapkan, Indonesia menghasilkan 64 juta ton sampah plastik per tahun. Sebanyak 3,2 juta ton di antaranya merupakan sampah plastik yang dibuang ke laut.

Sumber yang sama menyebutkan, kantong plastik yang terbuang ke lingkungan laut sebanyak 10 miliar lembar per tahun atau 85.000 ton kantong plastik.

Bila kondisi ini dibiarkan, akan membahayakan biota laut, khususnya perairan Indonesia. Pasalnya, sampah plastik yang telah menjadi mikroplastik bisa tak sengaja turut termakan oleh biota laut. Hal ini bisa membunuh fauna laut perlahan-lahan.

Perlu penanganan konkret

Masalah sampah plastik harus menjadi perhatian serius. Dibutuhkan kerja sama berbagai pihak untuk menanggulanginya, termasuk kesadaran masyarakat.

Salah satu cara yang bisa dilakukan dalam kehidupan sehari-hari adalah memilah sampah dan mendaur ulang.

“Masih sedikit warga yang melakukan aksi daur ulang dan membatasi diri untuk tidak menggunakan plastik,” kata Peneliti Pusat Oseanografi LIPI Intan Suci Nurhati dalam keterangan tertulisnya kepada Kompas.com, Selasa (28/5/2020).

Baca Juga: Kolaborasi Usaha Rintisan Mampu Tangani Sampah Plastik Pascakonsumsi?

Menurut Intan, perlu ada langkah konkret dari masyarakat dan pembuat kebijakan untuk menangani kasus serius ini.

Intan mencontohkan, masyarakat bisa memulai dengan membeli barang tanpa pembungkus plastik, meminta penjual mengurangi bungkus plastik, membeli barang dalam kemasan besar, memanfaatkan kembali pembungkus plastik setelah dibersihkan, melakukan daur ulang, dan berbelanja barang di lokasi yang lebih dekat.

Selain upaya kecil dalam kegiatan sehari-hari, stakeholder yang terkait langsung dengan laut pun bisa ikut berkontribusi. Contohnya, PT Angkutan Sungai Danau dan Penyeberangan (ASDP) Indonesia Ferry (Persero).

Perusahaan pelat merah tersebut menggandeng NGI untuk menginisiasi program “Merajut Indonesia”. Lewat program ini, ASDP akan membangun kesadaran masyarakat akan bahaya sampah plastik bagi biota laut.

Pada periode 24-26 Desember 2020 ASDP Indonesia Ferry (Persero) dan tim National Geographic Indonesia akan menggelar acara berkonsep edutainment yang diisi dengan talkshow dan stand up comedy di Pelabuhan Merak, Banten.

Baca Juga: Indonesia Masih di Posisi Kedua Terbanyak Hasilkan Sampah di Lautan

Talk show akan membahas mengenai dampak sampah laut terhadap kelestarian biota laut, keberlanjutan sumber daya laut, dan kesehatan masyarakat. Sementara stand up comedy akan diisi dengan topik edukasi pentingnya menjaga laut dari pencemaran sampah dengan gaya yang santai dan sederhana.

Kemudian, ASDP juga akan menyediakan tempat penukaran sampah plastik. Penumpang kapal ASDP dapat memperoleh beragam merchandise saat menukarkan sampah plastik mereka.

Pada program Merajut Indonesia, ASDP menyediakan drop box sampah plastik di berbagai sudut kapal dan pelabuhan. Berbagai drop box sampah plastik ini nantinya akan ditempatkan di tiga pelabuhan, yakni Merak, Bakauheni, dan Ketapang.

Sebagai informasi, sebelum program Merajut Indonesia, ASDP juga telah melakukan berbagai program bina lingkungan terkait pengurangan sampah plastik di laut. Upaya tersebut sesuai dengan instruksi dalam United Nations Conventions on the Law of the Sea (UNCLOS) 1982.

Melalui program Bina Lingkungan, ASDP selalu berupaya untuk mencegah (prevent), mengurangi (reduce), dan mengontrol (control) berbagai upaya pencemaran laut, sesuai instruksi dalam UNCLOS 1982.

Beberapa langkah konkret yang telah dilakukan ASDP di antaranya adalah bantuan kapal pengeruk sampah yang diterjunkan di perairan Maluku, penerapan waste management di dalam kapal, dan penggunaan bahan bakar ramah lingkungan untuk beroperasi.