Nationalgeographic.co.id—Perempuan pribumi Indonesia baru diizinkan masuk ke sekolah kedokteran pada tahun 1912. Sebelum tahun itu yang diperbolehkan bersekolah di School tot Opleiding van Indische Artsen (STOVIA) atau sekolah kedokteran pada masa Hindia Belanda hanyalah kaum lelaki.
Adalah Marie Thomas, murid perempuan pertama yang berhasil masuk ke STOVIA pada 1912. Perempuan asal Sulawesi Utara itu merupakan satu-satunya murid perempuan di antara 180 murid laki-laki di masanya. Barulah setelah dua tahun Marie bersekolah di STOVIA, Anna Warouw terdaftar juga sebagai murid di sana. Marie dan Anna kemudian menjadi teman dekat dan bahkan disebut sebagai “de Tweeling” atau ”si Kembar”.
Sama-sama berasal dari Minahasa
Marie Thomas dan Anna Warouw adalah perempuan yang sama-sama berasal dari Minahasa. Marie Thomas yang bernama lengkap Maria Josephine Catherine Maramis lahir pada 17 Februari 1896 di Likupang, Minahasa, Sulawesi Utara. Sedangkan Anna Warouw lahir di Amurang, Minahasa, Sulawesi Utara, pada 23 Februari 1898 dengan nama panjang Anna Adeline Warouw Karamoy.
Dikutip dari Huygens ING, Marie Thomas adalah putri dari seorang tentara profesional bernama Adriaan Thomas. Dia punya satu saudara kandung laki-laki dan mereka berdua dibesarkan dalam keluarga Kristen Protestan. Karena ayahnya adalah seorang tentara yang kerap dipindahtugaskan ke beberapa tempat, Marie dan keluarganya jadi sering berpindah-pindah tempat tinggal. Akibatnya, Marie juga sering berpindah-pindah sekolah.
Baca Juga: Perempuan Nusantara dalam Lingkungan Patriarki Hindia Belanda
Adapun Anna Warouw, sebagaimana dikutip dari website resmi Museum Kebangkitan Nasional, adalah putri seorang guru yang bercita-cita agar anak-anaknya, termasuk anak perempuannya, dapat memperoleh pendidikan setinggi mungkin. Anna sudah menyelesaikan pendidikan dasarnya di kampung halamannya di Minahasa pada 1912. Anna hendak melanjutkan studinya ke Batavia namun harus menunggu dua tahun terlebih dulu karena harus menunggu adik laki-lakinya menyelesaikan sekolah sehingga dapat bersama-sama berangkat ke Batavia. Ayahnya tidak mengizinkan Anna Warouw pergi sendiri ke Batavia.
Anna Warouw akhirnya masuk STOVIA bersama adik laki-lakinya yang bernama Semuel Jusof Warouw pada 1914. Sedangkan kakak perempuan Anna Warouw belajar menjadi perawat. Dikarenakan hanya pelajar laki-laki yang dapat tinggal di asrama, selama studi di Batavia, Anna Warouw tinggal bersama salah satu kerabatnya, yakni pamannya. Saat berada di STOVIA, Anna Warouw bersahabat dengan Marie Thomas, yang merupakan murid perempuan pertama di STOVIA.
Baca Juga: Wabah COVID-19, Peluang Perempuan Indonesia untuk Akrabi Teknologi
Sama-sama menikah dengan dokter lulusan STOVIA
Marie Thomas dan Anna Warouw sama-sama menemukan jodohnya di STOVIA. Dikutip dari Java Post, Marie bertemu suaminya Mohamad Joesoef di STOVIA, mereka duduk kelas yang sama selama bertahun-tahun dan lulus pada tahun yang sama pula.
Marie Thomas lulus dari dengan nilai yang memuaskan pada 26 April 1922 dan berhak menyandang gelar Indische Arts. Kelulusannya menjadi bahan berita di Hindia Belanda, karena Marie Thomas menjadi dokter perempuan pertama di tanah air. Pemerintah menugaskannya berdinas sebagai dokter pemerintah di Centrale Burgerlijke Ziekeninrichting (CBZ), rumah sakit pemerintah di Batavia.
Tujuh tahun setelah kelulusan mereka, Marie dan Joesof akhirnya menikah pada 16 Maret 1929. Mohammad Joesoef berasal dari Solok, Sumatra Barat. Dari nama dan asalnya, ia kemungkinan besar bukan seorang Kristen seperti Marie. Sebab, satu-satunya ELS di Solok pada akhir tahun 1910 hanya menerima anak laki-laki non-Kristen asli dan anak laki-laki dan perempuan Eropa. Pernikahan mereka istimewa dalam dua hal: keduanya memiliki agama yang berbeda dan etnis yang berbeda. Mereka masing-masing berasal dari bagian Indonesia yang berbeda.
Saat menikah, Joesoef telah bekerja sebagai dokter mata di Padang. Setelah menikah dengan Joesoef, Marie memantapkan dirinya untuk bekerja sebagai dokter pemerintah di Padang. Dia pindah dari CBZ di Batavia, rumah sakit pemerintah yang kini disebut Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo.
Baca Juga: Marie Thomas, Dokter Wanita Indonesia Pertama yang Kini Jarang Dikenal
Pasangan yang dikaruniai satu putri dan satu putra bernama Sonya dan Eri itu sempat pindah ke Weltevreden, Batavia, pada awal 1930-an. Pada tahun 1931, Mohamad Joesoef dinyatakan bangkrut. Pada saat itu dia adalah seorang dokter swasta di Weltevreden. Tentu ini merupakan peristiwa dramatis bagi perjalanan keluarga mereka.
Pada 1950, Marie dan keluarganya kembali lagi ke Sumatra Barat. Di Bukittinggi Marie mendirikan sekolah kebidanan. Sekolah tersebut merupakan sekolah kebidanan yang pertama di Sumatra dan yang kedua di Indonesia. Ia terus berpraktik sebagai dokter dan bidan hingga ia mengembuskan napas terakhirnya pada 29 Oktober 1966 di Bukittinggi.
Marie adalah sosok yang penuh talenta dengan berbagai pencapaian yang ia terima dalam kariernya sebagai dokter, termasuk spesialisasinya dalam bidang ginekologi dan kebidanan. Selain itu, Marie merupakan salah satu dokter yang pertama kali terlibat dalam kebijakan mengontrol kelahiran bayi lewat metode kontrasepsi Intrauterine Device (IUD).
Baca Juga: The Sin Nio dan Ho Wan Moy, Srikandi Tionghoa untuk Kemerdekaan
Dua tahun setelah Marie Thomas lulus dari STOVIA, Anna Warouw akhirnya lulus juga dari sana pada 1924. Di STOVIA inilah Anna Warouw bertemu dengan Jean Eduard Karamoy yang kelak menjadi suaminya. Setelah lulus dari STOVIA, mereka menikah dan memiliki dua orang anak. Yang pertama adalah laki-laki bernama Alex Karamoy yang menjadi petenis terkenal dan seorang kedua adalah perempuan Lalisang Karamoy yang kelak menjadi dokter juga seperti ayah dan ibunya.
Setelah lulus dan menikah pada 1924, Anna Warouw menemani suaminya ke Belanda untuk memperoleh sertifikat dokter. Ini adalah kesempatan untuk semua dokter lulusan STOVIA untuk memperoleh sertifikat dokter Belanda namun sifatnya sukarela.
Eduard Karamoy kemudian melanjutkan pendidikan sampai tingkat doktor di Jerman sementara Anna Warouw mengambil spesialisasi otorinolaringologi yang ada di Leiden University antara 1933-1935.
Setelah selesai melanjutkan kuliahnya, pasangan suami istri ini kembali ke Hindia Belanda dan ditempatkan di berbagai wilayah sebagai dokter pemerintah. Anna Warouw selalu mendampingi suaminya di semua tempat penugasannya. Ia sekaligus menjadi guru untuk kedua anaknya yang menjalani home schooling.
Baca Juga: Sekolah di India, Bayar Biaya Sekolah Hanya dengan Sampah Plastik
Dokter Eduard Karamoy pernah jatuh sakit cukup keras ketika ditempatkan di Martapura, Kalimantan. Beliau harus dirawat di Banjarmasin karena keterbatasan sarana pengobatan. Selama itu Anna Warouw selalu mendampingi suaminya.
Sebagai pendamping suaminya, Anna Warouw tidak dapat menjadi pegawai negeri karena ada aturan bahwa suami istri dilarang bekerja di instansi pemerintah dengan status sama-sama sebagai pegawai negeri. Meski begitu, Anna Warouw tetap berpraktik sebagai dokter.
Di zaman pendudukan Jepang, Anna Warouw sempat menjadi dokter partikelir ahli hidung di kompleks rumah sakit Semarang (sekarang RS Dr. Kariadi) bersama dokter Sardjito. Setelah itu Anna Warouw mengikuti suaminya yang ditempatkan di Kudus selama satu tahun kemudian pindah ke Tegal. Mereka pernah pula tinggal di Dabo Singkep, dan kemudian berpindah ke Bandung.
Baca Juga: Kisah Perempuan Penyintas Tragedi 1965 : Ada Kekuasaan di Atas Pemerkosaan
Saat di Bandung, Anna Warouw sempat bekerja di Lembaga Pasteur. Selesai bertugas, pasangan suami istri ini memutuskan untuk kembali ke Manado. Anna Warouw bekerja di laboratorium Rumah Sakit Umum Gunung Wenang yang sekarang menjadi Hotel Peninsula. Di sinilah Anna Warouw dapat memenuhi “passion”-nya bekerja di laboratorium. Selain itu Anna Warouw juga mengajar di Universitas Sam Ratulangi.
Setelah suaminya meninggal. Anna Warouw tinggal bersama anak laki-lakinya, yakni Alex Karamoy. Anna Warouw diminta ke Jakarta saat menderita sakit dan ia akhirnya meninggal di Jakarta pada 3 Oktober 1979.