Tameichi Hara, Kesaksian Kapten Jepang dalam Pertempuran Laut Jawa

By Mahandis Yoanata Thamrin, Minggu, 7 Maret 2021 | 20:13 WIB
Pertempuran Laut Jawa menjadi pertempuran yang menentukan kuasa Jepang atas Jawa, juga tamatnya Hindia Belanda. (US NAVAL INSTITUTE)

Pertempuran ini begitu penting dalam linimasa sejarah Nusantara. Sejak kemenangan armada Jepang di perairan Laut Jawa, nasib pulau ini sudah ditentukan menjadi kuasa mereka. Ujungnya, penaklukkan Jepang atas Jawa datang cepat. Satu minggu sejak Pertempuran Laut Jawa, riwayat Hindia Belanda pun tamat.Sampai 1 Maret 1942, sejumlah 2.100 pelaut Sekutu tewas, termasuk 220 awaknya yang asal Indonesia. Sekutu memiliki 14 kapal (9 kapal perusak) dalam pertempuran itu, sementara Jepang sebanyak 28 kapal (14 kapal perusak).Betapa heroik menit demi menit Pertempuran Laut Jawa kerap dikisahkan dari sudut pandang Sekutu, namun sedikit catatan pihak Jepang tentang peristiwa bersejarah ini. Salah satu dari sedikit catatan itu adalah autobiografi Tameichi Hara (1900-1980). Dia adalah seorang kapten dari kapal perusak seberat 2.500 ton yang bernama Amatsukaze — dalam bahasa Indonesia 'Angin Surga'.

 

Hara tetapi tidak mengisahkan jalannya pertempuran juga rahasia dapur armada Jepang. Hara mengikuti hampir di setiap pertempuran laut. Dia adalah satu-satunya kapten kapal perusak Angkatan Laut Jepang yang sejak Perang Dunia Kedua, yang selamat dari maut perang. Dia menggunakan kesempatan ini sebagai satu-satunya teman dalam beberapa pertemuan dan pertemuan tentang sejarah Perang Pasifik.

Dia dikenal sebagai kapten yang selalu membawa kapal perusaknya ke medan pertempuran yang hebat dan kembali tanpa kerusakan berat. Pascaperang, orang-orang Jepang yang memberinya gelar 'Tak Dapat Ditenggelamkan'. Studi dan taktik serangan torpedonya pun menjadi buku babon resmi Angkatan Laut Jepang.

Autobiografinya bertajuk Japanese Destroyer Captain: Pearl Harbor, Guadalcanal, Midway - The Great Naval Battles as Seen Through Japanese Eyes. Terbit perdana dalam bahasa Inggris oleh Ballantine Books pada 1961. Ketika buku itu pertama kali terbit di Jepang, 2.500.000 eksemplar ludes hanya dalam dua bulan.

Setahun sebelum Hara wafat, edisi bahasa Indonesia terbit dengan judul Perang Laut Pasific, alih bahasa oleh Henky K., yang dirilis Penerbit Indah Jaya di Bandung pada 1979.

Baca Juga: Penuturan Dua Penyintas: Bagaimana Cara Mandi dan Makan di Kamp Tawanan Jepang?

Peta Rekonstruksi Pertempuran Laut Jawa, 27-28 Februari 1942. (Naval History and Heritage Command Image)

Suatu siang pada 27 Februari 1942 di Laut Jawa. Hara berkisah, dua pesawat B-17 atau lebih populer dengan julukan Flying Fortress, terbang di atas formasi kapal-kapal Jepang. “Hari kemarin, kami melihat pembom itu sebelum menyerang. Hari ini, kami tak siap sama sekali. ”“Flying Fortress ini telah membuat suatu kejutan.” Bidikannya terhadap kapal-kapal perang yang berlayar teratur dan siaga, sangat mengherankan Hara.

Sekutu telah membuat kesalahan, demikian menurutnya, karena tidak memilih kapal-kapal pengangkut yang lamban. Apabila pesawat itu menjatuhkan bom ke kapal pengangkut, begitu mudah kapal itu tenggelam, sehingga mengacaukan seluruh rencana Jepang.Namun, "Jepang juga membuat satu kesalahan besar, dengan melancarkan operasi ini tanpa lindungan udara yang baik untuk armada lautnya." Akan tetapi, ungkap Hara, “kesalahan itu diimbangi oleh taktik-taktik tidak efektif dan tidak bijaksana yang dilakukan oleh pesawat-pesawat Sekutu.”

Pesawat pembom B-17 yang berjulukan Flyeing Fortress atau benteng terbang. Pesawat bermesin empat ini diproduksi oleh United States Army Air Corps. Peluncuran perdananya pada 1935. (HCA)
Armada Jepang bergerak ke Barat—gerak tipu mereka. Sepuluh menit sesudah serangan B-17, konvoi Hara mengubah arah 90 derajat ke Surabaya.Ketika konvoi Hara telah berada 60 mil di utara Surabaya, rupanya armada Sekutu bergerak menghadang armada Jepang. Saat itu satuan musuh yang terdiri atas lima kapal penjelajah dan sepuluh kapal perusak. Mereka bergerak terus pada arah armada Jepang. “Musuh pasti lebih kuat dari pengawal-pengawal kami,” tulis Hara.

Armada Jepang berada dalam jebakan. Admiral Tagaki Takeo segera memerintahkan kapal-kapal pengangkut untuk berputar ke arah utara. Andai saja musuh segera menaikkan kecepatannya, pastilah armada Jepang dapat ditenggelamkan dengan mudah. Apabila itu terjadi, barangkali peristiwa itu akan mengubah sejarah rencana pendaratan Jepang ke Jawa. Pada kenyataannya, armada Sekutu tidak mengejar konvoi Jepang.

Baca Juga: Selidik Tjamboek Berdoeri dan Catatan Terlupakan Revolusi Indonesia

Kapal Perusak milik Kekaisaran Jepang, Amatsukaze, yang bermakna Angin Surga. Bersama Kapten Tameichi Hara, kapal ini telah bertempur di hampir seluruh Perang Pasifik. (Wikimedia Commons)

“Saya heran mengapa armada Sekutu ini tetap berlayar dengan kecepatan 12 knot saja,” tulis Hara dalam autobiografinya.

Hara mendapat laporan mengherankan dari pesawat pengintai Jepang bahwa armada Sekutu berbalik dan menuju ke Surabaya. Tampaknya, kapal-kapal Sekutu hanya membebaskan diri dari serangan udara kita atas Surabaya.

Armada Jepang tetap berjalan menurut rencana semula, berbalik dan kembali ke selatan lagi menuju Surabaya.

Namun, sekitar satu jam kemudian, armada kapal Sekutu berputar kembali dan membentuk formasi garis lurus. Kali ini Sekutu benar-benar menaikkan kecepatan dan bergerak lurus ke arah konvoi armada Jepang.

Hara jengkel dengan pergerakan kapal-kapal pengangkut yang lamban di armadanya. “Mereka kebanyakan kapal-kapal dagang yang dimobilisasi dan awak-awaknya tidak terlatih. Sangat menjengkelkan melihat mereka dalam kekacauannya. Banyak yang tidak mengerti pada perintah, mengulang pembalikan arah kapal-kapal, dan mereka tidak bisa melakukannya dengan cepat.”

Pesawat pemburu Zero bermesin Mitsubishi. Ketika Pertempuran Laut Jawa 1942, pesawat-pesawat Zero didatangkan dari Balikpapan. (Public Domain)

Dua kapal penjelajah berat, yakni Nachi dan Haguro, juga masih tertinggal bermil-mil di belakang konvoi. Hara mencatat kejengkelannya, “Tanpa mereka saya tak dapat melihat bagaimana kami dapat bertempur melawan musuh yang lebih kuat itu.” Dia lalu menambahkan, “Jika musuh menaikkan kecepatan menjadi 30 knot, mereka dapat tiba setiap saat. Jika terjadi, apa yang dapat kami perbuat?”

Sore tiba. Kapal-kapal pengangkut meneruskan membentuk formasi yang teratur, dikawal oleh kapal-kapal patroli dan penyapu ranjau. Di belakang iringan kami, empat perusak lainya mengikuti. Satuan lain, termasuk penjelajah Naka dan tujuh perusak membentuk barisan belakang. Kapal-kapal perang Jepang kini bergerak dengan kecepatan 24 knot, dan siap untuk bertempur.

Hara menyelidiki horizon, ketika armada Jepang berlayar dalam lingkaran yang panjangnya 2 mil, tetapi tak menemui tanda-tanda dari dua penjelajah berat mereka—Nachi dan Haguro. “Saya memaki dengan kesal,” tulis Hara dalam autobiografinya.

Baca Juga: Roti Berbiang Air Kencing di Kamp Tawanan Jepang untuk Bertahan Hidup

Kapal penjelajah berat Haguro pada 1932. Kapal ini duduga yang menghabisi De Ruyter dengan torpedonya pada Pertempuran Laut Jawa 28 Februari 1942. (Public Domain)

Seorang perwira menunjukkan arah datangnya kapal musuh. Lalu, Hara melihat ke arah yang ditunjukkannya.

“Saya melihat beberapa tiang di selatan. Segera tiang-tiang itu menjadi jelas buat setiap orang di atas kapal,” kenangnya. “Tiang-tiang itu akhirnya jelas dikenal milik penjelajah Belanda, De Ruyter” yang kian mendekat dengan cepat.

Kemunculan kapal perang De Ruyter yang tiba-tiba itu membuat ketegangan seisi kapalnya. “Segala keributan di kapal tiba-tiba diam, kami maju untuk pertempuran laut terbesar yang pertama!”

Kembali armada Jepang melihat keanehan strategi Sekutu. Hara mencatat, “Kapal-kapal musuh tiba-tiba mengubah arahnya ke barat dan mulai bergerak sejajar dengan kapal-kapal kami. Ini adalah gerakan yang lain yang mengherankan, musuh tentunya telah melihat formasi lingkaran bulat panjang kami.”

Hara bertanya-tanya, mengapa Sekutu tidak mau bergerak lurus ke muka? Menurutnya, apabila Sekutu tetap pada arahnya, Sekutu dapat memilih sasaran-sasaran kapal-kapal Jepang yang bergerak melebar, namun tetap menjaga dirinya mengecil dari tembakan-tembakan Jepang.

Baca Juga: Suasana Ketika Hindia Belanda Sekarat

Kapal penjelajah milik Belanda, Java, dalam gempuran serangan udara Kekaisaran Jepang pada Pertempuran Laut Jawa, Februari 1942. (Wikimedia Commons)

“Gerakan musuh itu lagi-lagi memberi kesempatan pada kami untuk mendapat keuntungan waktu,” tulisnya.

Perintah tempur kembali diumumkan di armada Jepang. Mereka melebar dalam tiga formasi kolom dan maju ke arah selatan.

Penjelajah Jintsu bersama empat perusaknya berputar keluar. Lalu, Jintsu menembakkan enam meriamnya kepada De Ruyter yang berada 1.800 meter jauhnya. “Peluru-peluru itu meleset,” kenang Hara. “Keempat perusak memperhatikan dengan perasaan kecewa.”

Kapal penjelajah berat Nachi dan Haguro, yang dating kesiaangan, mulai menembakkan meriam-meriam pada jarak 25.000 meter. Peluru-peluru mereka meleset. Penjelajah Nishimura dan ketujuh perusaknya meluncurkan 43 torpedo ke arah musuh. Torpedo-torpedo ini juga meleset!

Baca Juga: Berhasil Lepas dari Jugun Ianfu Karena Menyamar Sebagai Lelaki

Kapal penjelajah berat Nachi pada 1929. Bersama Haguro, Nachi turut dalam penyerangan terhadap De Ruyter dalam Pertempuran Laut Jawa, sampai pengejaran Exeter hingga di Selat Sunda. (Wikimedia Commons)

Sementara itu di angkasa Laut Jawa menjelang senja. Delapan pesawat Sekutu muncul dan bergerak ke arah kapal-kapal pengangkut armada Jepang. Namun, kemunculan itu disambut pesawat-pesawat pemnburu Zero, yang telah dipanggil dari Balikpapan. Semua pesawat-pesawat musuh ditembak jatuh, sebelum mereka melepaskan bomnya ke kapal-kapal Pengangkut. “Percobaan serangan udara oleh musuh ini, juga merupakan hal-hal lain yang mengherankan pada hari itu.”

Komando armada Jepang memerintahkan semua kapal untuk merapat dan menghancurkan musuh.

Ketika armada Sekutu berbelok ke barat, kapal-kapal Jepang juga bergerak ke barat dengan senjata-senjata meriam yang menyalak. Hara mencatat, penjelajah Inggris Exeter terbakar, yang menyebabkan kekacauan tiba-tiba dalam formasi musuh.

Belakangan Tameichi mengetahui bahwa satu peluru kaliber 20 sentimeter milik Nachi atau Haguro mengenai tempat peluru kapal penjelajah Exeter. Kapal malang itu kehilangan kecepatan dengan segera. Dia keluar dari formasi, bahkan nyaris menabrak penjelajah Amerika Houston yang mengikutinya dari belakang.

“Kejadian yang mengherankan,” lagi-lagi Hara mencatat, “Ketika Houston juga berbelok ke kiri, dan semua kapal berbuat yang sama. Kapal bendera De Ruyter sendiri yang terus ke depan, dan beberapa menit kemudian baru diketahuinya bahwa di belakangnya telah berbelok.”

Baca Juga: Editorial Edisi Agustus 2020: Relik Suram Pascaperang Asia Timur Raya