Nagari Sijunjung: Emas Hitam Tuan De Greve sampai Jejak Jepang

By National Geographic Indonesia, Sabtu, 10 April 2021 | 12:00 WIB
Seorang pria sedang bersampan di Batang Kuantan. Di sungai ini perahu ekspedisi De Greve dihantam riam. (Zulkifli/National Geographic Indonesia)

Di tengah jalan pada lereng bukit, saya berpapasan dengan dua peladang yang hendak pulang. “Kama arah ka Ngalau Talago, Pak?” tanya saya kepada peladang pria. Saya dan beberapa kawan sedang berdiam diri, menimbang-nimbang untuk pulang atau tidak, ketika kami tak menemukan petunjuk arah ke ngalau yang dikatakan oleh pemilik lapau tadi. Ngalau Talago. “Baliak liak. Beko ado duo jalan, ambiak yang kanan. Saketek mandaki lainyo,” jawab peladang pria.

Saya terhibur, juga waswas mendengar jawaban itu. Tinggal mendaki sedikit lagi. “Sedikit” menurut seorang peladang bisa saja berarti dua bukit lagi. Saya dan dua orang kawan mengikuti arah yang ditunjuk peladang. Ardi, kawan yang lain, memilih turun setelah mendengar kalimat “saketek mandaki lainyo” dari peladang tadi.

Baca Juga: Mengelak dari Sang Ombak: Berkaca dari Bencana demi Kesiapan Kita

Delapan belas ekor kerbau yang akan disembelih dalam ritual Bantai Adaik di Nagari Sijunjung. (Zulkifli/National Geographic Indonesia)

 

Benar yang saya kira, jalan ke Ngalau Talago tak seperti jalan di antara ladang-ladang yang dilewati tadi. Akar pohon melintang di mana-mana. Beberapa kali baju saya tersangkut duri belukar yang tumbuh liar. Jalan yang saya lalui semakin lama semakin menanjak. Curam ke atas, juga ke bawah. Ketika niat untuk pulang membayang, Rafi bersorak. “Itu cadas sudah tampak,” katanya. Saya menghela napas panjang. Berpuluh langkah di depan, di puncak bukit, sebuah lubang menganga ke arah Timur.

Ngalau ini lembap. Hawanya sejuk. Batangan kapur berujung runcing menggantung di langit-langit gua. Beberapa onggokan stalakmit membatu di dasar gua. Satu dinding ngalau berwarna kehijauan. Motif garis-garis terukir tak beraturan. Motif itu terbentuk karena cucuran air. Di sisi paling dalam ada satu stalakmit yang bentuknya menyerupai kursi. Sebentuk kursi itu berada di atas dua bidang berjenjang. Seperti singgasana, saya bergumam.

“Di daerah ini memang banyak ngalau. Dan beberapa ngalau ada yang saling terhubung,” kata Geri, pria Sijunjung, suatu ketika kepada saya. “Rencananya daerah ini, Silokek dan Sisawah, akan dikenalkan sebagai Destinasi Seribu Ngalau,” sambung pria yang bekerja di salah satu instansi pemerintahan Sijunjung itu. Seperti sebutan “seribu” di tempat lain, pernahkah seseorang benar-benar menghitungnya?

Berbagai klaim, juga latah pada sebutan, adalah salah satu penyebab yang bisa melahirkan kekecewaan bagi orang-orang yang mendatangi sebuah destinasi. Tapi, apa hendak dikata? Inilah tipikal pariwisata hari ini. Mudah mengklaim dan latah pada sebutan. Tak ingin merusak apa yang sedang saya pandangi dari mulut ngalau ini, secepatnya pikiran itu saya hiraukan.

Di hamparan dalam ngalau, dua kawan saya sudah hilir mudik. Mereka tampak kecil di permukaan seluas setengah lapangan bola itu. Sebelum matahari benar-benar tenggelam, saya sudah beranjak turun. Meninggalkan Ngalau Talago yang sedang tidak “bertelaga” itu.

***

eorang anak berlari di pekarangan rumah gadang di Nagari Durian Gadang. Hanya pada daerah berstatus sebagai nagari, rumah gadang boleh dibangun. (Zulkifli/National Geographic Indonesia)

Baca Juga: Rumah-rumah Gadang nan Meradang

Kampung ini berjarak kurang lebih 15 menit dari lapau yang saya singgahi tadi. Pintu-pintu rumah di kampung ini banyak yang tertutup. Jalan di tengah kampung lengang. Hanya saya dan beberapa kawan serta satu dua warga yang berlalu-lalang. Di satu sisi jalan sebuah besi rongsokan teronggok. Karat tumbuh di tiap bidang besi. Dari bentuknya besi itu adalah bagian kepala sebuah lokomotif. Sisa lokomotif itu dipagari terali besi.

“Lokomotif Uap Bekas Jajahan Jepang”, saya membaca tulisan pada papan nama yang dipancang di bagian depan terali. Jepang. Nama bangsa itu mengusik pikiran saya. Bukankah Belanda yang merintis jalur kereta api di Sumatra Barat? Mengapa Jepang? Sebuah cetak biru yang dikeluarkan oleh pemerintah Hindia Belanda pada 1875 adalah sebabnya.

Pasca diterbitkannya Het Ombilien-kovenveld in de Padangsche Bovenlanden en het Transportstelsel op Sumatra’s Westkust, pemerintah Hindia Belanda mulai merancang proyek raksasa di Sumatra Barat. Pabrik tambang di Ombilin, Pelabuhan Emmahaven (Teluk Bayur sekarang) di Padang, dan melanjutkan pembukaan jalur kereta api di Padangsche Bovelanden (dataran tinggi pedalaman Minangkabau). Benang merah proyek ambisius itu adalah batu bara yang ditemukan De Greve di Batang Ombilin.