Nagari Sijunjung: Emas Hitam Tuan De Greve sampai Jejak Jepang

By National Geographic Indonesia, Sabtu, 10 April 2021 | 12:00 WIB
Seorang pria sedang bersampan di Batang Kuantan. Di sungai ini perahu ekspedisi De Greve dihantam riam. (Zulkifli/National Geographic Indonesia)

 

Musyawarah pembentukan pengurus baru dilakukan setelah hari keenam Syawal. Kata Pak Zul, tobo konsi ini terbuka untuk siapa saja warga Nagari Sijunjung yang ingin menjadi anggota. Aturan yang mengikat anggota dalam tobo konsi, seperti iuran dan denda, dihasilkan dari kesepakatan bersama dan berlaku dua belas bulan penuh. Kemudian, aturan itu bisa dipakai lagi atau diganti sesuai kata sepakat para anggota. Begitu seterusnya. “Dan jika ada anggota yang keluar karena tidak bisa dipercaya, maka ia tidak akan diterima oleh tobo konsi yang lain,” lanjut Pak Zul yang mulai menjadi anggota tobo konsi pada 1989.

Pacik arek-arek, egang kuek-kuek,” sorak beberapa orang di antara anggota tobo konsi yang sedang merebahkan kerbau. Merebahkan seekor kerbau memang bukan pekerjaan yang mudah. Lebih-lebih ketika dilakukan malam hari. Mata dan tangan bekerja lebih awas dibanding biasanya. Kerbau yang telah rebah kepalanya dihadapkan ke kiblat. Lalu, imam nagari masuk gelanggang dengan parang di tangan kanan. Setelah disembelih, ikatan kaki kerbau dibuka.

Baca Juga: Taprobana, Sebutan Penjelajah Eropa untuk Sumatra

Suasana pagi di pinggir Batang Sukam, lokasi dilakukannya Bantai Adaik. (Zulkifli/National Geographic Indonesia)

“Kerbau tidak boleh mati terikat. Kerbau-kerbau ini juga punya hak untuk mati terhormat,” kata Rajo Endah, imam nagari, setelah menyembelih kerbau ketujuh. Tahun ini adalah tahun ketujuh belas ia bertugas menyembelih kerbau dalam bantai adaik. “Tahan! Tahan!” sorak orang-orang dari balai-balai lain. Rajo Endah berjalan ke arah suara sambil mengangkat parang yang basah oleh darah. Pukul tiga pagi semua kerbau telah dikuliti. 

Kabut melingkup dataran di antara sungai dan sawah ini. Dingin subuh membekap saya, juga orang-orang yang menunggu daging dibagikan. Pak Zul berdiri di tengah balai-balai dengan tas berselempang di badan. Ia menghitung banyak kantong yang berisi daging kerbau. Kemudian, telunjuknya beralih ke catatan yang berisi nama-nama anggota tobo konsi Surau Kelok Laban. Bagi orang-orang di dalam tobo konsi, hari ini adalah batobo terakhir mereka. Paripurna dari arisan tenaga kerja yang dilakukan selama setahun. Sambil sesekali menaikkan kacamata, ia memanggil nama-nama yang tertera dalam catatan di tangan kirinya. Satu per satu kantong plastik diserahkan.

Tradisi bantai adaik ini tidak hanya ritual kurban kerbau semata. Iuran bersama untuk membeli kerbau yang dibayar selama setahun juga merupakan upaya mengantisipasi kenaikan harga daging pada bulan puasa. Sebab itu, orang-orang Nagari Sijunjung pulang menjinjing kantong berisi daging dengan senyum semringah di wajah. 

Dataran di pinggir Batang Sukam ini sudah lengang ketika matahari naik menghalau kabut. Yang tersisa hanya beberapa anggota tobo konsi yang sedang membereskan balai-balai mereka. Arus sungai yang membelah Nagari Sijunjung ini membawa darah kerbau ke ngarai di ujung timur. Di bawah ngarai, di antara tebing-tebing, Batang Sukam bersua dengan Batang Ombilin, juga ujung sungai lain. Batang-batang itu bersalin rupa membentuk sungai baru berarus deras, Batang Kuantan, yang menamatkan De Greve berabad lampau.