Nagari Sijunjung: Emas Hitam Tuan De Greve sampai Jejak Jepang

By National Geographic Indonesia, Sabtu, 10 April 2021 | 12:00 WIB
Seorang pria sedang bersampan di Batang Kuantan. Di sungai ini perahu ekspedisi De Greve dihantam riam. (Zulkifli/National Geographic Indonesia)

Namun, tidak semuanya berjalan sesuai apa yang diinginkan. Memilih antara membuka jalur kereta api ke pesisir timur atau pesisir barat adalah muara perdebatan antarinsinyur dalam pemerintahan Hindia Belanda waktu itu. Pesisir Timur yang melewati Sawahlunto dan Riau memang menjanjikan karena ada Singapura, salah satu pemakai batu bara terbesar, di ujung sana. Sedangkan Pesisir Barat nantinya berujung ke Pelabuhan Emmahaven yang sedang dibangun. Pada 1879, Belanda memutuskan membangun jalur kereta ke Pesisir Barat. Seketika orang-orang menghiraukan cetakan peta jalur yang menembus ke timur Sumatra. Dokumen itu dilupakan. Hingga Jepang datang.

Baca Juga: Berhasil Lepas dari Jugun Ianfu Karena Menyamar Sebagai Lelaki

Sebuah diorama yang menggambarkan para romusha yang sedang membangun jalur kereta api dalam pengawasan tentara Jepang. Sumatra Barat memiliki riwayat pembangunan rel kereta terkait dengan batu bara. (Zulkifli/National Geographic Indonesia)

 

“Tenaga romusha didatangkan dari Jawa dan bagian lain Indonesia. Mereka dibawa dengan kapal ke Emmahaven untuk selanjutnya diangkut ke Muaro (Sijunjung),” tulis Jan de Bruin dalam bukunya Het Indische Spoor In Oorlogstijd. Enam puluh tahun lebih sejak Belanda memulai proyek raksasa, Jepang menemukan dokumen yang berisi peta jalur kereta api dari pedalaman Sumatra Barat hingga ke Pesisir Timur Sumatra. Mereka, bangsa Jepang, meyakini bahwa jalur ini, selain sebagai jalur ekspor untuk menjual batu bara, adalah penghubung pasukan mereka di Sumatra dengan prajurit-prajurit Jepang di Burma sana. “Pekerjaan dimulai dari Muaro pada tahun 1943,” lanjut de Bruin dalam bukunya itu.

Kemudian, sejarah mencatat pembukaan jalur itu sebagai Death Railways Sumatra. Sebuah sebutan yang mengerikan. Entah berapa ribu orang yang bernasib nahas di kamp-kamp kerja paksa di lembah itu. Mereka, telah dipaksa bekerja dalam suatu neraka hijau, penuh ular, lintah darat dan harimau, lebih buruk lagi miliaran nyamuk malaria, di bawah pengawasan kejam orang-orang Jepang. Begitu Henk Hovinga menggambarkan kerja paksa itu dalam bukunya The Sumatra Railroad: Final Destination Pakan Baroe 1943-1945. Rute kereta api itu selesai pada 15 Agustus 1945. Namun, rute itu tak sempat digunakan sebagaimana tujuan awal Jepang. 

Rel-rel yang disambung dari derita para romusha tak pernah berderit lagi. Jejaknya lenyap, nyaris menguap oleh waktu. Di tahun 80-an, beberapa warga Silokek yang sedang bergotong royong membuat jalan dalam kampung menemukan sebuah bangkai lokomotif. Sisa lokomotif itulah yang sedang berdiam diri di tengah kampung yang sepi di bawah terik ini. Durian Gadang, nama kampung ini yang letaknya tak jauh dari lokasi nahasnya insinyur yang memulai semua perkara itu. Willem Hendrik De Greve.

***