Nagari Sijunjung: Emas Hitam Tuan De Greve sampai Jejak Jepang

By National Geographic Indonesia, Sabtu, 10 April 2021 | 12:00 WIB
Seorang pria sedang bersampan di Batang Kuantan. Di sungai ini perahu ekspedisi De Greve dihantam riam. (Zulkifli/National Geographic Indonesia)

Cerita dan Foto oleh Zulkifli

 

Nationalgeographic.co.id—Batang Kuantan mengular di bawah ngarai. Kiri kanan berdinding tebing-tebing tinggi. Tebing ini beberapa bagiannya bercadas. Sisanya, pohon-pohon tumbuh menghijau. Ruas jalan kecil di kaki tebing bersisian langsung dengan sungai. Sungai yang berwarna cokelat. Entah oleh sebab apa, saya tak tahu. Tersiar kabar bahwa kampung-kampung di ngarai ini acap terisolasi oleh longsoran tebing dan luapan air sungai. Namun, kabar itu tak menyurutkan orang-orang untuk melawat ke ngarai ini.

Di puncak ngarai, kabut masih bergelayut. Belum ada tanda-tanda matahari bakal tampak. Sepertinya, pagi tak tepat waktu kali ini. Hawa dingin berembus ketika pintu mobil saya buka. Saya meninggikan kerah jaket, melawan dingin yang menegakkan bulu roma. Sambil mengarah ke bibir sungai, telepon genggam saya angkat kian kemari mencari jaringan selular.

“Ndak ado sinyal di siko, da,” saya berseru kepada Rafi. Kata-kata saya dibawa angin lalu. Kawan dari Padang yang semula berdiri tak jauh dari saya itu sudah menghilang. Berpindah ke bebatuan di bibir Batang Kuantan. Melompat dari satu batu ke batu yang lain. Entah ia tahu atau tidak, sungai ini pernah menahaskan satu rombongan ekspedisi yang dipimpin oleh seorang insinyur Belanda dulunya.

 

Hari selasa, bertanggal 22 Oktober 1872. Sebuah perahu kayu terhuyung-huyung dihantam riam sungai di Nagari Silokek. Usai menyentak Eropa dengan Het Ombilien-kovenveld in de Padangsche Bovenlanden en het Transportstelsel op Sumatra’s Westkust, laporan yang berisi penemuan batu bara di Batang Ombilin Sawahlunto, Willem Hendrik de Greve tak hendak berhenti.

Ambisi keinsinyurannya harus dituntaskan. Menemukan ladang “emas hitam” lain di sepanjang Batang Kuantan yang oleh Syafii Ma’arif disebut sebagai “sungai yang perkasa” dalam memoarnya. Namun, nahas tak bisa dikira. Bahkan, oleh seorang insinyur Belanda sekalipun. Batang Ombilin, sungai di Sawahlunto, adalah pancang kejayaan De Greve. Di Batang Kuantan Silokek, ambisinya pupus oleh jeram sungai. Sungai yang beberapa saat lalu membuai kawan saya itu.

Bias matahari menguat di sela-sela tebing. Beberapa kendaraan roda dua silih berganti melintas. Saya sedang berada di sebuah lapau di sisi lain Batang Kuantan, sungai yang dalam Islamic Revivalism in a Changing Peasant Economy Central Sumatra 1784-1847 dicatat oleh Christine Dobbin sebagai jalur dagang emas berabad-abad lampau.

Baca Juga: Kapur Barus, Cerita Rempah dari Kedatuan Sriwijaya Kian Pupus

Seorang pria berdiri di mulut di atas batu-batu dalam Ngalau Talago. (Zulkifli/National Geographic Indonesia)

Dari beranda lapau, saya melihat sebuah sampan melintas di sungai yang sedang tenang ini. Sampan itu, kata pemilik lapau, bisa dipakai oleh para wisatawan. Tentunya dengan harga yang sesuai pula. Saya tak berniat untuk mencobanya. Mengingat apa yang menimpa De Greve.

“Di atas situ ada Ngalau Talago,” kata perempuan pemilik lapau. Lantai gua itu, lanjutnya, akan digenangi air ketika hujan. Sebab itu namanya Ngalau Talago, gua yang bertelaga. “Tak sampai 30 menit jalan kaki sudah sampai di sana,” kata pemilik lapau sambil menunjuk arah ke ngalau yang diceritakannya itu. “Kita ke sana?” tanya Rafi kepada saya. Saya mengangguk setuju.

***

Di tengah jalan pada lereng bukit, saya berpapasan dengan dua peladang yang hendak pulang. “Kama arah ka Ngalau Talago, Pak?” tanya saya kepada peladang pria. Saya dan beberapa kawan sedang berdiam diri, menimbang-nimbang untuk pulang atau tidak, ketika kami tak menemukan petunjuk arah ke ngalau yang dikatakan oleh pemilik lapau tadi. Ngalau Talago. “Baliak liak. Beko ado duo jalan, ambiak yang kanan. Saketek mandaki lainyo,” jawab peladang pria.

Saya terhibur, juga waswas mendengar jawaban itu. Tinggal mendaki sedikit lagi. “Sedikit” menurut seorang peladang bisa saja berarti dua bukit lagi. Saya dan dua orang kawan mengikuti arah yang ditunjuk peladang. Ardi, kawan yang lain, memilih turun setelah mendengar kalimat “saketek mandaki lainyo” dari peladang tadi.

Baca Juga: Mengelak dari Sang Ombak: Berkaca dari Bencana demi Kesiapan Kita

Delapan belas ekor kerbau yang akan disembelih dalam ritual Bantai Adaik di Nagari Sijunjung. (Zulkifli/National Geographic Indonesia)

 

Benar yang saya kira, jalan ke Ngalau Talago tak seperti jalan di antara ladang-ladang yang dilewati tadi. Akar pohon melintang di mana-mana. Beberapa kali baju saya tersangkut duri belukar yang tumbuh liar. Jalan yang saya lalui semakin lama semakin menanjak. Curam ke atas, juga ke bawah. Ketika niat untuk pulang membayang, Rafi bersorak. “Itu cadas sudah tampak,” katanya. Saya menghela napas panjang. Berpuluh langkah di depan, di puncak bukit, sebuah lubang menganga ke arah Timur.

Ngalau ini lembap. Hawanya sejuk. Batangan kapur berujung runcing menggantung di langit-langit gua. Beberapa onggokan stalakmit membatu di dasar gua. Satu dinding ngalau berwarna kehijauan. Motif garis-garis terukir tak beraturan. Motif itu terbentuk karena cucuran air. Di sisi paling dalam ada satu stalakmit yang bentuknya menyerupai kursi. Sebentuk kursi itu berada di atas dua bidang berjenjang. Seperti singgasana, saya bergumam.

“Di daerah ini memang banyak ngalau. Dan beberapa ngalau ada yang saling terhubung,” kata Geri, pria Sijunjung, suatu ketika kepada saya. “Rencananya daerah ini, Silokek dan Sisawah, akan dikenalkan sebagai Destinasi Seribu Ngalau,” sambung pria yang bekerja di salah satu instansi pemerintahan Sijunjung itu. Seperti sebutan “seribu” di tempat lain, pernahkah seseorang benar-benar menghitungnya?

Berbagai klaim, juga latah pada sebutan, adalah salah satu penyebab yang bisa melahirkan kekecewaan bagi orang-orang yang mendatangi sebuah destinasi. Tapi, apa hendak dikata? Inilah tipikal pariwisata hari ini. Mudah mengklaim dan latah pada sebutan. Tak ingin merusak apa yang sedang saya pandangi dari mulut ngalau ini, secepatnya pikiran itu saya hiraukan.

Di hamparan dalam ngalau, dua kawan saya sudah hilir mudik. Mereka tampak kecil di permukaan seluas setengah lapangan bola itu. Sebelum matahari benar-benar tenggelam, saya sudah beranjak turun. Meninggalkan Ngalau Talago yang sedang tidak “bertelaga” itu.

***

eorang anak berlari di pekarangan rumah gadang di Nagari Durian Gadang. Hanya pada daerah berstatus sebagai nagari, rumah gadang boleh dibangun. (Zulkifli/National Geographic Indonesia)

Baca Juga: Rumah-rumah Gadang nan Meradang

Kampung ini berjarak kurang lebih 15 menit dari lapau yang saya singgahi tadi. Pintu-pintu rumah di kampung ini banyak yang tertutup. Jalan di tengah kampung lengang. Hanya saya dan beberapa kawan serta satu dua warga yang berlalu-lalang. Di satu sisi jalan sebuah besi rongsokan teronggok. Karat tumbuh di tiap bidang besi. Dari bentuknya besi itu adalah bagian kepala sebuah lokomotif. Sisa lokomotif itu dipagari terali besi.

“Lokomotif Uap Bekas Jajahan Jepang”, saya membaca tulisan pada papan nama yang dipancang di bagian depan terali. Jepang. Nama bangsa itu mengusik pikiran saya. Bukankah Belanda yang merintis jalur kereta api di Sumatra Barat? Mengapa Jepang? Sebuah cetak biru yang dikeluarkan oleh pemerintah Hindia Belanda pada 1875 adalah sebabnya.

Pasca diterbitkannya Het Ombilien-kovenveld in de Padangsche Bovenlanden en het Transportstelsel op Sumatra’s Westkust, pemerintah Hindia Belanda mulai merancang proyek raksasa di Sumatra Barat. Pabrik tambang di Ombilin, Pelabuhan Emmahaven (Teluk Bayur sekarang) di Padang, dan melanjutkan pembukaan jalur kereta api di Padangsche Bovelanden (dataran tinggi pedalaman Minangkabau). Benang merah proyek ambisius itu adalah batu bara yang ditemukan De Greve di Batang Ombilin.

Namun, tidak semuanya berjalan sesuai apa yang diinginkan. Memilih antara membuka jalur kereta api ke pesisir timur atau pesisir barat adalah muara perdebatan antarinsinyur dalam pemerintahan Hindia Belanda waktu itu. Pesisir Timur yang melewati Sawahlunto dan Riau memang menjanjikan karena ada Singapura, salah satu pemakai batu bara terbesar, di ujung sana. Sedangkan Pesisir Barat nantinya berujung ke Pelabuhan Emmahaven yang sedang dibangun. Pada 1879, Belanda memutuskan membangun jalur kereta ke Pesisir Barat. Seketika orang-orang menghiraukan cetakan peta jalur yang menembus ke timur Sumatra. Dokumen itu dilupakan. Hingga Jepang datang.

Baca Juga: Berhasil Lepas dari Jugun Ianfu Karena Menyamar Sebagai Lelaki

Sebuah diorama yang menggambarkan para romusha yang sedang membangun jalur kereta api dalam pengawasan tentara Jepang. Sumatra Barat memiliki riwayat pembangunan rel kereta terkait dengan batu bara. (Zulkifli/National Geographic Indonesia)

 

“Tenaga romusha didatangkan dari Jawa dan bagian lain Indonesia. Mereka dibawa dengan kapal ke Emmahaven untuk selanjutnya diangkut ke Muaro (Sijunjung),” tulis Jan de Bruin dalam bukunya Het Indische Spoor In Oorlogstijd. Enam puluh tahun lebih sejak Belanda memulai proyek raksasa, Jepang menemukan dokumen yang berisi peta jalur kereta api dari pedalaman Sumatra Barat hingga ke Pesisir Timur Sumatra. Mereka, bangsa Jepang, meyakini bahwa jalur ini, selain sebagai jalur ekspor untuk menjual batu bara, adalah penghubung pasukan mereka di Sumatra dengan prajurit-prajurit Jepang di Burma sana. “Pekerjaan dimulai dari Muaro pada tahun 1943,” lanjut de Bruin dalam bukunya itu.

Kemudian, sejarah mencatat pembukaan jalur itu sebagai Death Railways Sumatra. Sebuah sebutan yang mengerikan. Entah berapa ribu orang yang bernasib nahas di kamp-kamp kerja paksa di lembah itu. Mereka, telah dipaksa bekerja dalam suatu neraka hijau, penuh ular, lintah darat dan harimau, lebih buruk lagi miliaran nyamuk malaria, di bawah pengawasan kejam orang-orang Jepang. Begitu Henk Hovinga menggambarkan kerja paksa itu dalam bukunya The Sumatra Railroad: Final Destination Pakan Baroe 1943-1945. Rute kereta api itu selesai pada 15 Agustus 1945. Namun, rute itu tak sempat digunakan sebagaimana tujuan awal Jepang. 

Rel-rel yang disambung dari derita para romusha tak pernah berderit lagi. Jejaknya lenyap, nyaris menguap oleh waktu. Di tahun 80-an, beberapa warga Silokek yang sedang bergotong royong membuat jalan dalam kampung menemukan sebuah bangkai lokomotif. Sisa lokomotif itulah yang sedang berdiam diri di tengah kampung yang sepi di bawah terik ini. Durian Gadang, nama kampung ini yang letaknya tak jauh dari lokasi nahasnya insinyur yang memulai semua perkara itu. Willem Hendrik De Greve.

***

“Orang luar sering mengatakan kalau warga Nagari Sijunjung suka berlebih-lebihan jelang Ramadhan. Berlagak di dalam kampung sambil membawa daging berkantong-kantong,” kata Zulkamri Sutan Sandaro, 57 tahun, kepada saya di kediamannya. Kurang lebih setengah jam lalu saya masih mencari alamat yang tercatat di telepon genggam saya. 

Berkendara di jalan kecil dalam kampung, celengak celunguk di tiap persimpangan. Hingga akhirnya seorang pria berseru menyebut nama anaknya dari beranda rumah. Rupanya ia sudah menunggu kedatangan saya. Dari Noverdy, anak Pak Zul, saya tahu bahwa setiap jelang Ramadhan orang-orang di kampungnya akan melakukan penyembelihan puluhan kerbau.

“Ritual itu lah ado sajak lamo, Da,” katanya di Padang beberapa waktu lalu. “Padahal,” lanjut Pak Zul “kerbau-kerbau itu dibeli dari iuran anggota masing-masing tobo konsi selama setahun. Itu yang orang luar Nagari Sijunjung ini tidak tahu.” Dengan saksama, saya mendengar tuturan Pak Zul sambil sesekali menyeruput hidangan kopi buatan istrinya.

Surau, selain lapau dan rantau, dalam kehidupan Minangkabau merupakan tempat olah rasa dan pikiran lelaki Minang yang telah baligh. “Satu segi penting dalam kehidupan desa Minangkabau adalah surau,” kata Christine Dobbin dalam bukunya Islamic Revivalism in a Changing Peasant Economy Central Sumatra 1784-1847. Tidak hanya sebagai tempat beribadah, surau juga menjadi tempat belajar adat. Pekarangannya adalah lapak latihan silek (silat) pemuda kampung. Belum khatam seorang pemuda Minang jika tak merasakan dialektika yang terjadi di surau, lapau, dan rantau. Ide-ide acap lahir dari silang pendapat di dalam surau. Dan tobo konsi, perkongsian masyarakat tani Nagari Sijunjung, lahir dari surau.

Baca Juga: Peneliti LIPI Menemukan Katak Mini Jenis Baru di Pulau Sumatra

Anggota dari masing-masing tobo konsi sedang menguliti kerbau. Pada pukul tiga pagi semua kerbau telah dikuliti. (Zulkifli/National Geographic Indonesia)

 

Mulanya batobo, aktivitas dalam tobo konsi, adalah kerja bahu-membahu yang dilakukan oleh masyarakat Nagari Sijunjung di sawah. Silih berganti sawah-sawah milik petani digarap bersama-sama. Ahmad Syafii Ma’arif akrab dengan aktivitas turun ke sawah itu.

“Pernah juga aku mencangkul sawah (batobo) bersama Pak Enek A. Wahab. Itu terjadi antara tahun 1947-1950, sewaktu aku belum belajar ke madrasah,” tulis Buya yang lahir di Sijunjung itu dalam memoarnya Titik-Titik Kisar Di Perjalananku.

Namun, makna batobo pada masa sekarang telah meluas. Dari gotong royong di sawah, membersihkan kampung, hingga membuat pagar rumah. “Tobo konsi ini bisa dikatakan sistem arisan tenaga kerja,” Hendri Edison, pria dari tobo Surau Gantiang, menjelaskan kepada saya. “Masing-masing surau punya konsi-nya sendiri,” lanjut pria yang juga menjabat sebagai Sekretaris Kerapatan Adat Nagari (KAN) Sijunjung itu.

Selepas zuhur, beberapa anggota tobo konsi mulai mendirikan balai-balai bambu di pinggir Batang Sukam, sungai yang mengalir di Nagari Sijunjung. Satu-dua balai-balai menggunakan pelepah kelapa sebagai atap. Sisanya, terpal bermacam warna. “Sebenarnya ada 20 tobo konsi di Nagari Sijunjung ini. Tapi, tak semuanya yang melakukan kurban,” kata Pak Zul kepada saya di balai-balai tobo-nya, Surau Kelok Laban. Saya menghitung ada delapan belas balai-balai yang telah dibangun. Dua tobo konsi tidak melakukan kurban tahun ini. Tak berapa lama kemudian kerbau-kerbau datang. Lalu, kerbau-kerbau itu diikat di pitanggau, bilah kayu yang dipancang di samping balai-balai. Beberapa jam lagi mereka akan dikurbankan.

***

Warga dan keluarga tobo konsi menunggu pembagian daging kerbau. (Zulkifli/National Geographic Indonesia)

Baca Juga: Tradisi Kapur Sirih dalam Tarian Sangkan Siheh di Tepian Lematang

Dua pria bersila di tengah panggung. Posisi duduk mereka lebih tinggi dari orang-orang sekitar. Jari kedua pria itu mengetuk-ngetuk dulang dari kuningan yang bertopang di paha masing-masing mereka. Syair-syair religi didendangkan bergantian. Dua pria itu sedang melakukan sebuah tradisi sastra lisan Minangkabau.

Konon, tradisi ini dimulai oleh seorang Syekh pada akhir abad ke-17 di Pariaman. Dalam sebuah jamuan makan, Syekh itu mengambil sebuah dulang yang tadinya digunakan mengangkut makanan. Dulang ia tabuh bak gendang. Kemudian, dakwah ia lantunkan. Sejak itu sastra lisan yang berisi ajaran Islam serta kisah para nabi berkembang menjadi tradisi di Minangkabau. Dan, jelang dini hari Salawat Dulang, sastra lisan yang berawal dari sebuah jamuan makan itu, masih dimainkan di pinggir Batang Sukam. Sastra lisan itu mengisi malam para anggota tobo konsi di balai-balai kiri kanan panggung. Juga hiburan untuk masyarakat yang berbondong-bondong datang menunggu kerbau-kerbau direbahkan.

Bantai adaik sudah dilakukan oleh orang-orang Nagari Sijunjung jauh sebelum Belanda datang. Begitu kata beberapa warga yang saya temui di padang pinggir sungai ini. Bantai adaik, ritual kurban kerbau, adalah paripurna dari aktivitas batobo yang telah dilakukan selama satu tahun di Nagari Sijunjung. Orang-orang yang mengurusi tobo konsi setelah bantai adaik ini akan diganti.

 

Musyawarah pembentukan pengurus baru dilakukan setelah hari keenam Syawal. Kata Pak Zul, tobo konsi ini terbuka untuk siapa saja warga Nagari Sijunjung yang ingin menjadi anggota. Aturan yang mengikat anggota dalam tobo konsi, seperti iuran dan denda, dihasilkan dari kesepakatan bersama dan berlaku dua belas bulan penuh. Kemudian, aturan itu bisa dipakai lagi atau diganti sesuai kata sepakat para anggota. Begitu seterusnya. “Dan jika ada anggota yang keluar karena tidak bisa dipercaya, maka ia tidak akan diterima oleh tobo konsi yang lain,” lanjut Pak Zul yang mulai menjadi anggota tobo konsi pada 1989.

Pacik arek-arek, egang kuek-kuek,” sorak beberapa orang di antara anggota tobo konsi yang sedang merebahkan kerbau. Merebahkan seekor kerbau memang bukan pekerjaan yang mudah. Lebih-lebih ketika dilakukan malam hari. Mata dan tangan bekerja lebih awas dibanding biasanya. Kerbau yang telah rebah kepalanya dihadapkan ke kiblat. Lalu, imam nagari masuk gelanggang dengan parang di tangan kanan. Setelah disembelih, ikatan kaki kerbau dibuka.

Baca Juga: Taprobana, Sebutan Penjelajah Eropa untuk Sumatra

Suasana pagi di pinggir Batang Sukam, lokasi dilakukannya Bantai Adaik. (Zulkifli/National Geographic Indonesia)

“Kerbau tidak boleh mati terikat. Kerbau-kerbau ini juga punya hak untuk mati terhormat,” kata Rajo Endah, imam nagari, setelah menyembelih kerbau ketujuh. Tahun ini adalah tahun ketujuh belas ia bertugas menyembelih kerbau dalam bantai adaik. “Tahan! Tahan!” sorak orang-orang dari balai-balai lain. Rajo Endah berjalan ke arah suara sambil mengangkat parang yang basah oleh darah. Pukul tiga pagi semua kerbau telah dikuliti. 

Kabut melingkup dataran di antara sungai dan sawah ini. Dingin subuh membekap saya, juga orang-orang yang menunggu daging dibagikan. Pak Zul berdiri di tengah balai-balai dengan tas berselempang di badan. Ia menghitung banyak kantong yang berisi daging kerbau. Kemudian, telunjuknya beralih ke catatan yang berisi nama-nama anggota tobo konsi Surau Kelok Laban. Bagi orang-orang di dalam tobo konsi, hari ini adalah batobo terakhir mereka. Paripurna dari arisan tenaga kerja yang dilakukan selama setahun. Sambil sesekali menaikkan kacamata, ia memanggil nama-nama yang tertera dalam catatan di tangan kirinya. Satu per satu kantong plastik diserahkan.

Tradisi bantai adaik ini tidak hanya ritual kurban kerbau semata. Iuran bersama untuk membeli kerbau yang dibayar selama setahun juga merupakan upaya mengantisipasi kenaikan harga daging pada bulan puasa. Sebab itu, orang-orang Nagari Sijunjung pulang menjinjing kantong berisi daging dengan senyum semringah di wajah. 

Dataran di pinggir Batang Sukam ini sudah lengang ketika matahari naik menghalau kabut. Yang tersisa hanya beberapa anggota tobo konsi yang sedang membereskan balai-balai mereka. Arus sungai yang membelah Nagari Sijunjung ini membawa darah kerbau ke ngarai di ujung timur. Di bawah ngarai, di antara tebing-tebing, Batang Sukam bersua dengan Batang Ombilin, juga ujung sungai lain. Batang-batang itu bersalin rupa membentuk sungai baru berarus deras, Batang Kuantan, yang menamatkan De Greve berabad lampau.