Nagari Sijunjung: Emas Hitam Tuan De Greve sampai Jejak Jepang

By National Geographic Indonesia, Sabtu, 10 April 2021 | 12:00 WIB
Seorang pria sedang bersampan di Batang Kuantan. Di sungai ini perahu ekspedisi De Greve dihantam riam. (Zulkifli/National Geographic Indonesia)

“Orang luar sering mengatakan kalau warga Nagari Sijunjung suka berlebih-lebihan jelang Ramadhan. Berlagak di dalam kampung sambil membawa daging berkantong-kantong,” kata Zulkamri Sutan Sandaro, 57 tahun, kepada saya di kediamannya. Kurang lebih setengah jam lalu saya masih mencari alamat yang tercatat di telepon genggam saya. 

Berkendara di jalan kecil dalam kampung, celengak celunguk di tiap persimpangan. Hingga akhirnya seorang pria berseru menyebut nama anaknya dari beranda rumah. Rupanya ia sudah menunggu kedatangan saya. Dari Noverdy, anak Pak Zul, saya tahu bahwa setiap jelang Ramadhan orang-orang di kampungnya akan melakukan penyembelihan puluhan kerbau.

“Ritual itu lah ado sajak lamo, Da,” katanya di Padang beberapa waktu lalu. “Padahal,” lanjut Pak Zul “kerbau-kerbau itu dibeli dari iuran anggota masing-masing tobo konsi selama setahun. Itu yang orang luar Nagari Sijunjung ini tidak tahu.” Dengan saksama, saya mendengar tuturan Pak Zul sambil sesekali menyeruput hidangan kopi buatan istrinya.

Surau, selain lapau dan rantau, dalam kehidupan Minangkabau merupakan tempat olah rasa dan pikiran lelaki Minang yang telah baligh. “Satu segi penting dalam kehidupan desa Minangkabau adalah surau,” kata Christine Dobbin dalam bukunya Islamic Revivalism in a Changing Peasant Economy Central Sumatra 1784-1847. Tidak hanya sebagai tempat beribadah, surau juga menjadi tempat belajar adat. Pekarangannya adalah lapak latihan silek (silat) pemuda kampung. Belum khatam seorang pemuda Minang jika tak merasakan dialektika yang terjadi di surau, lapau, dan rantau. Ide-ide acap lahir dari silang pendapat di dalam surau. Dan tobo konsi, perkongsian masyarakat tani Nagari Sijunjung, lahir dari surau.

Baca Juga: Peneliti LIPI Menemukan Katak Mini Jenis Baru di Pulau Sumatra

Anggota dari masing-masing tobo konsi sedang menguliti kerbau. Pada pukul tiga pagi semua kerbau telah dikuliti. (Zulkifli/National Geographic Indonesia)

 

Mulanya batobo, aktivitas dalam tobo konsi, adalah kerja bahu-membahu yang dilakukan oleh masyarakat Nagari Sijunjung di sawah. Silih berganti sawah-sawah milik petani digarap bersama-sama. Ahmad Syafii Ma’arif akrab dengan aktivitas turun ke sawah itu.

“Pernah juga aku mencangkul sawah (batobo) bersama Pak Enek A. Wahab. Itu terjadi antara tahun 1947-1950, sewaktu aku belum belajar ke madrasah,” tulis Buya yang lahir di Sijunjung itu dalam memoarnya Titik-Titik Kisar Di Perjalananku.

Namun, makna batobo pada masa sekarang telah meluas. Dari gotong royong di sawah, membersihkan kampung, hingga membuat pagar rumah. “Tobo konsi ini bisa dikatakan sistem arisan tenaga kerja,” Hendri Edison, pria dari tobo Surau Gantiang, menjelaskan kepada saya. “Masing-masing surau punya konsi-nya sendiri,” lanjut pria yang juga menjabat sebagai Sekretaris Kerapatan Adat Nagari (KAN) Sijunjung itu.

Selepas zuhur, beberapa anggota tobo konsi mulai mendirikan balai-balai bambu di pinggir Batang Sukam, sungai yang mengalir di Nagari Sijunjung. Satu-dua balai-balai menggunakan pelepah kelapa sebagai atap. Sisanya, terpal bermacam warna. “Sebenarnya ada 20 tobo konsi di Nagari Sijunjung ini. Tapi, tak semuanya yang melakukan kurban,” kata Pak Zul kepada saya di balai-balai tobo-nya, Surau Kelok Laban. Saya menghitung ada delapan belas balai-balai yang telah dibangun. Dua tobo konsi tidak melakukan kurban tahun ini. Tak berapa lama kemudian kerbau-kerbau datang. Lalu, kerbau-kerbau itu diikat di pitanggau, bilah kayu yang dipancang di samping balai-balai. Beberapa jam lagi mereka akan dikurbankan.

***

Warga dan keluarga tobo konsi menunggu pembagian daging kerbau. (Zulkifli/National Geographic Indonesia)

Baca Juga: Tradisi Kapur Sirih dalam Tarian Sangkan Siheh di Tepian Lematang

Dua pria bersila di tengah panggung. Posisi duduk mereka lebih tinggi dari orang-orang sekitar. Jari kedua pria itu mengetuk-ngetuk dulang dari kuningan yang bertopang di paha masing-masing mereka. Syair-syair religi didendangkan bergantian. Dua pria itu sedang melakukan sebuah tradisi sastra lisan Minangkabau.

Konon, tradisi ini dimulai oleh seorang Syekh pada akhir abad ke-17 di Pariaman. Dalam sebuah jamuan makan, Syekh itu mengambil sebuah dulang yang tadinya digunakan mengangkut makanan. Dulang ia tabuh bak gendang. Kemudian, dakwah ia lantunkan. Sejak itu sastra lisan yang berisi ajaran Islam serta kisah para nabi berkembang menjadi tradisi di Minangkabau. Dan, jelang dini hari Salawat Dulang, sastra lisan yang berawal dari sebuah jamuan makan itu, masih dimainkan di pinggir Batang Sukam. Sastra lisan itu mengisi malam para anggota tobo konsi di balai-balai kiri kanan panggung. Juga hiburan untuk masyarakat yang berbondong-bondong datang menunggu kerbau-kerbau direbahkan.

Bantai adaik sudah dilakukan oleh orang-orang Nagari Sijunjung jauh sebelum Belanda datang. Begitu kata beberapa warga yang saya temui di padang pinggir sungai ini. Bantai adaik, ritual kurban kerbau, adalah paripurna dari aktivitas batobo yang telah dilakukan selama satu tahun di Nagari Sijunjung. Orang-orang yang mengurusi tobo konsi setelah bantai adaik ini akan diganti.