Selidik Kisah dan Filosofi di Balik Corak Keindahan Batik Lasem

By Agni Malagina, Senin, 19 April 2021 | 13:00 WIB
Batik Lasem berlanggam aneka puspa dan bingkai kuning National Geographic Indonesia. Hawien Wilopo, pembatik asal Rembang, membingkiskan untuk redaksi. (Lambok E. Hutabarat/National Geographic Indonesia)

Kontak budaya Tionghoa Jawa meninggalkan hasil karya berupa batik pesisir utara yang terkenal dengan sebutan Batik Lasem. Perkembangan batik di Lasem, konon dimulai sejak masa Na Li Ni atau Si Putri Campa istri Bi Nang Un, seorang anggota ekspedisi Cheng He (1405-1433) yang memperkenalkan teknik membatik pada abad ke-15. Masa keemasan perusahaan batik yang dibangun oleh orang-orang Tionghoa Lasem dimulai sekitar 1860-an. Perusahaan batik saat itu merupakan usaha yang paling menguntungkan setelah perdagangan candu. Pengusaha batik Lasem mengandalkan 2.000-an pekerja untuk proses artistik dan 4.000-an pekerja untuk proses lainnya.

Tak heran motif batik Lasem mendapat pengaruh corak simbolik tradisi Tionghoa yang bersanding dengan motif lokal. Mereka pun membuat kain batik panjang dan kain tokwi sebagai penutup meja altar persembahan. Batik Lasem masa itu diekspor secara besar-besaran ke Singapura dan Sri Lanka. Jelang 1970-an batik Lasem mulai mengalami kemunduran. Fakta menarik bahwa industri batik pada tahun 1970an mencapai titik tertinggi hingga mencapai 144 perusahaan batik dan pada tahun 2015 hanya terdapat 30 perusahaan batik tulis Lasem di seluruh Kabupaten Rembang.

Setelah batik diakui sebagai warisan dunia oleh UNESCO pada tahun 2009, batik Lasem yang sempat mengalami penurunan kini mulai bergairah kembali. Tahun ini, hanya beberapa keluarga di kota tua (pecinan) Lasem yang masih berjuang melanjutkan usaha batik warisan keluarganya. Kini terdapat setidaknya enam rumah batik di kota tua Lasem yang masih bercirikan batik peTionghoan dan 120 rumah batik di seluruh Kabupaten Rembang. Begitu banyak motif khas batik kota tua Lasem yang memiliki aneka jenis penamaan dan kisah dalam selembar kain belum tercatat dan hanya menjadi pola turun temurun.

 

Baca Juga: Hikayat Toleransi: Mengenal Tasamuh di Ponpes Al Hidayat Lasem

Proses membatik di Lasem, Rembang, Jawa Tengah. (Hafidz Novalsyah/National Geographic Indonesia)

“Pola itu diturunkan dari generasi sebelumnya lewat pembatik-pembatik yang sepuh-sepuh,” ujar Reny pewaris Batik Ong’s Art Maranatha.

Lebih lanjut ia menyatakan,"Batik Lasem juga khas karena warna merahnya. Disebut getih pitik ‘darah ayam’. Bukan dari darah ayam, tapi jaman dulunya bubuk pewarna yang rata-rata dari Jerman atau Eropa itu dicampur dengan air Lasem warnanya jadi demikian. Kalau sekarang warna merahnya agak beragam walaupun dekat dengan warna klasiknya Lasem.”